Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi siap
menguraikan lebih lanjut pada proses persidangan terkait aliran dana
proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-e) yang dialokasikan kepada partai
politik tertentu.
"Memang ada bagian dalam dakwaan di mana dijelaskan di sana salah
seorang saksi menyampaikan kepada terdakwa bahwa ada rencana atau akan
dialokasikan sejumlah dana sekitar Rp500 miliar yang disebut oleh
seorang saksi tersebut ada alokasi kepada partai politik tertentu dan
sejumlah orang," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK,
Jakarta, Senin.
Tentu saja, kata Febri, rencana dan alokasi itu akan diuraikan
lebih lanjut pada proses persidangan mengenai sejauh mana realisasi dari
rencana tersebut.
"Selanjutnya, tentu kami akan lihat lebih jauh kalau memang ada
realisasinya, realisasinya sudah diterima siapa saja apakah organisasi
yang menerima dalam hal ini institusi atau pun personal-personal yang
ada di institusi tersebut," tuturnya.
Hal tersebut, menurut Febri perlu dibedakan lebih lanjut karena
jika bicara soal pidana korporasi maka akan bicara banyak hal.
"Apalagi terkait dengan partai politik tentu kami juga perlu
pertimbangkan Undang-Undang tentang Partai Politik di satu sisi dan di
sisi lain Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi," ucapnya..
Ia
mengatakan, KPK tidak ingin berandai-andai dan akan dilakukan
klarifikasi kembali beberapa informasi yang sudah ada didakwaan kasus
proyek KTP-e itu.
"Kemajuannya bagaimana dan hal yang lebih rinci dari klarifikasi
itu nanti bisa kita lihat bersama-sama di persidangan," katanya..
Sebelumnya, KPK dijadwalkan menghadirkan delapan saksi dalam sidang
kedua terkait tindak pidana korupsi pengadaan paket KTP-e tahun anggaran 2011-2012.
"Karena tidak ada eksepsi dari pihak terdakwa kami berencana akan
menghadirkan delapan saksi dalam persidangan kedua. Belum kami bisa
sebutkan namanya," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK,
Jakarta, Jumat (10/3).
Ia mengatakan dari koordinasi yang sudah dilakukan KPK bahwa
pemeriksaan saksi-saksi akan dilakukan dalam 90 hari kerja ke depan.
"Jadi, 90 hari kerja ke depan mulai dari pembacaan dakwaan, kami akan hadirkan total 133 saksi pada persidangan," tuturnya.
Menurut dia, KPK akan mendalami beberapa fakta-fakta yang memang
sudah dimunculkan dalam dakwaan dan informasi-informasi lain yang kami
harap bisa selesai dalam waktu 90 hari kerja.
Dalam persidangan pertama terungkap ada puluhan anggota DPR periode
2009-2014, pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), staf
Kemendagri, auditor BPK, swasta hingga korporasi yang menikmati aliran
dana proyek KTP-e tersebut.
Pemeriksaan saksi nantinya juga untuk membuktikan imbalan yang
diperoleh oleh anggota DPR dan pihak lain karena menyetujui anggaran
KTP-e pada 2010 dengan anggaran Rp5,9 triliun yang proses pembahasannya.
Adapun kesepakatan pembagian anggarannya adalah:
Pertama, 51 persen atau sejumlah Rp2,662 triliun dipergunakan untuk belanja modal atau riil pembiayaan proyek.
Kedua,
Rp2,558 triliun akan dibagi-bagikan kepada beberapa pejabat Kemendagri
termasuk Irman dan Sugiharto sebesar 7 persen atau Rp365,4 miliar.
Lalu, anggota Komisi II DPR sebesar 5 persen atau sejumlah Rp261
miliar, Setya Novanto dan Andi Agustinus sebesar 11 persen atau sejumlah
Rp574,2 miliar, Anas Urbaningrum dan M Nazarudin sebesar 11 persen
sejumlah Rp574,2 miliar.
Sedangkan keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan sebesar 15 persen sejumlah Rp783 miliar.
Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan
Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan
Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2
ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan
perekonomian negara.
Selanjutnya memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi
dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1
miliar. (*)
KPK Siap Uraikan Aliran Dana KTP-e ke Parpol
Selasa, 14 Maret 2017 9:39 WIB