Balikpapan (ANTARA Kaltim) -  Konfederasi Serikat Pekerja Minyak dan Gas Indonesia terus menggalang dukungan dari berbagai pihak untuk perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas.

"UU itu sudah terbukti tidak mampu meningkatkan kemandirian dan ketahanan energi kita sebagai negara," kata Presiden Konfederasi SP Migas, Faisal Yusuf Rasyid, kepada wartawan di Balikpapan, Minggu.

Fasial menjelaskan, yang ada kemudian dari 14 tahun undang-undang tersebut justru membuat iklim investasi mencari dan menemukan minyak tidak kondusif, karena investor harus bayar pajak terlebih dahulu, dapat atau tidak dapat minyak dan gasnya.

Selain itu, juga tumpang tindih kewenangan dan akhirnya liberalisasi yang mengakibatkan 85 persen cadangan minyak dan gas dikuasai pihak asing.

Sedikitnya upaya mencari dan menemukan cadangan-cadangan migas baru, akhirnya Indonesia yang dulunya adalah negara pengekspor minyak, kini betul-betul menjadi negara pengimpor minyak.

Produksi harian dalam negeri yang mencapai 900 ribu barel per hari jauh di bawah kebutuhan nasional yang mencapai 1,5 juta barel per hari.

"Impor minyak itu menjadi ladang bagi sejumlah orang yang kemudian disebut sebagai pemburu rente, yang membuat negara membayar lebih mahal daripada seharusnya," kata Faisal.

Ia menambahkan, sebagai solusi dan sudah menjadi kebijakan sejumlah negara adalah memperkuat NOC atau "National Oil Company" yang dianggap sebagai representasi dari negara itu.

Malaysia misalnya dengan Petronas, Chevron oleh Amerika Serikat, Total dari Prancis, Petrochina dari China, Inggris dengan British Petroleum.

"Kita punya Pertamina, yang hari ini masih lebih banyak diremehkan kemampuannya bahkan oleh pejabat-pejabat kita sendiri," tambah Faisal.

Dengan dasar undang-undang, NOC diberi wewenang mengintegrasikan atau menggabungkan industri hulu migas (mencari dan menemukan minyak dan gas) dan bagian hilir (trading, penjualan dan distribusi) migas.

NOC, jelas Faisal, juga diberi hak-hak istimewa untuk menegakkan kedaulatan negara di bidang energi, seperti mendapat hak menjadi penawar utama dari wilayah kerja baru baru.

"Kalau Pertamina tidak sanggup misalnya, baru dialihkan ke pihak-pihak lain," tandas Faisal.(*)

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015