Balikpapan (ANTARA Kaltim) - Akademisi Universitas Balikpapan Rendy Siswoho Ismail mengatakan, Kalimantan Timur masih bisa memperjuangkan otonomi khusus di wilayah itu setelah ditolaknya permintaan revisi UU No.33/2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah oleh Mahkamah Konstitusi.
"Kaltim bisa berjuang agar menjadi daerah istimewa, seperti Aceh, Papua, Yogyakarta, atau Jakarta," kata Rendy Siswoho Ismail di Balikpapan, Minggu.
Rendy Ismail juga mengatakan, hal lain yang bisa diperjuangkan Kaltim adalah otonomi khusus seperti yang didapatkan Nangroe Acheh Darussalam dan Papua. Bahkan UU Nomor 33 sendiri masih bisa diubah dengan revisi oleh DPR.
"Tinggal bagaimana Kaltim menggerakkan anggota-anggota DPR untuk mengajukan hak inisiatif guna perubahan undang-undang tersebut," lanjut Rendy yang ditemui di acara Sosialisasi Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara di Hotel Yayang, Sekretariat Rumah Aspirasi bagi anggota Komisi V DPR RI asal Kaltim Hetifah Sjaifudian.
Ia juga menegaskan bahwa pengajuannya harus dengan hak inisiatif dari DPR karena bila menunggu dari pemerintah, kemungkinannya sangat kecil.
Perjuangan menjadi daerah istimewa memiliki beberapa dasar, terutama dari aspek sejarah. Kaltim sekarang adalah wilayah Kerajaan Kutai, dan ketika Islam masuk menjadi Kesultanan Kutai, kerajaan yang diketahui sebagai kerajaan tertua di Indonesia.
"Kutai dengan sukarela bergabung dengan Indonesia salah satunya karena janji Presiden Soekarno untuk menjadikannya sebagai Daerah Istimewa Kutai," cerita Rendy Ismail yang juga Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Balikpapan itu.
Dengan menjadi daerah istimewa, Kutai yang kaya sumber daya alam berharap mendapat hak-hak istimewa pula, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya.
Demikian pula halnya dengan otonomi khusus. Sebagai daerah yang memiliki itu, Aceh dan Papua mendapatkan bagi hasil hingga 70 persen dari pengelolaan sumber daya alamnya sementara Kaltim yang tidak otonomi khusus hanya mendapat 15 persen.
Padahal Kaltim adalah daerah penghasil minyak dan gas seperti Papua dan Acheh dan menyumbang hingga Rp400 triliun per tahun kepada pemerintah pusat.
Tentang 15 persen jatah Kaltim dari migas itu sendiri disebutkan oleh banyak ahli perminyakan, terutama Dr Kurtubi dari Universitas Indonesia, sebagai angka yang tidak ada dasar kajiannya.
Karena itu, katanya, Kaltim berjuang secara konstitusional, melalui judicial review tersebut untuk mendapatkan perubahan dan pembagian hasil sumber daya alamnya sendiri.
Menurut perhitungan Pemprov Kaltim, adalah adil bagi Kalimantan Timur bila Benua Etam ini mendapatkan 30-50 persen dari migas atau bila sekarang Kaltim mendapat Rp25 triliun untuk pembangunan wilayah seluas satu setengah kali Pulau Jawa, maka mestinya Kaltim mendapatkan minimal Rp50-70 triliun dari APBN sehingga bisa membangun lebih baik.
"Semua itu masih bisa diperjuangkan. Tinggal para elit di Kaltim ini bersatu, bahu membahu satu tujuan perjuangan. Itu dulu syaratnya. Judicial review kemarin gagal selain karena keputusan politis MK, juga karena kita sendiri tidak bersatu memperjuangkannya," demikian Rendy.
Permintaan Kalimantan Timur untuk menghapus pasal 14 huruf e dan f dari UU No 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi Agustus lalu.
Penolakan MK antara lain dengan alasan bila permohonan Kaltim dikabulkan maka akan mengguncang stabilitas ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 14 huruf e dan huruf f adalah pasal yang memuat ketentuan bagi hasil minyak bumi sebesar 15,5 persen dan 30,5 persen bagi daerah penghasil seperti Kalimantan Timur. (*)
Akademisi: Kaltim Bisa Perjuangkan Otonomi Khusus
Minggu, 7 Oktober 2012 16:43 WIB