Kukar (ANTARA) - Pj Kepala Desa Lekaq Kidau, Adang mengatakan menyangkut tentang kebudayaan tidak bisa dilepaskan dengan kepercayaan leluhur dulu.
Karena ada kepercayaan leluhur dulu yang bertentangan dengan agama dan hukum sekarang.
"Makanya ada beberapa kebudayaan yang ditinggalkan. Kita melestarikan budaya tetapi harus perhatikan ajaran agama dan hukum berlaku di negeri ini," ujar Pj Kepala Desa Lekaq Kidau, Adang.
Kebudayaan yang dilestarikan seperti seni tari, seni ukir, anyaman dan pernikahan adat. Tetapi seperti ritual sakral yakni tradisi Ngayau atau berburu kepala manusia yang kami hilangkan, sebab dilarang menurut agama yang dianut 685 jiwa dengan jumlah 154 KK yang tinggal di Desa Budaya Lekaq Kidau, Kecamatan Sebulu, Kutai Kartanegara itu.
Kebudayaan yang ditampilkan saat Diskominfo Kukar bersama awak media berkunjung ke Desa Lekaq Kidau tepatnya sebelum masuk ke rumah adat Lamin adalah dengan adat Terima sakai.
Adat Terima Sakai dilakukan ketika ada tamu yang datang berombongan dari daerah lain, yang mempunyai tujuan dan maksud baik seperti melihat desa dan mempelajari sejarah maka akan dilakukan adat Terima Sakai.
Di dalam adat Terima Sakai terdapat air yang ditebarkan perwakilan kepala adat kepada rombongan.
“Makna simbur air seperti mengusir virus yang mengikuti rombongan saat berkunjung ke Desa Lekaq Kidau. Kemudian supaya kita dapat hidup yang baik, sehat dan kuat. Selain itu kami menganggap bahwa orang datang ke sini adalah satu nenek satu kakek jadi kita semua adalah bersaudara,” ungkap perwakilan kepala adat Dayak Kenyah Lepoq Ben, Imang Laing.
Ada tiga tarian atau kancet yang ditampilkan yakni Kancet Nyemalai Sakai yang merupakan tarian khusus untuk menyambut tamu yang berkunjung ke desa.
“Tarian ini melambangkan keramahan dan ketulusan hati menerima para tamu yang datang ke desa budaya Lekaq Kidau,” ujar Adang.
Selanjutnya Kancet Pepatai yaitu tarian yang memperebutkan seorang wanita yang cantik jelita oleh dua orang pemuda yang gagah perkasa dan pemberani.
Yang ketiga adalah Kancet Kreasi Temengang Madang. Filosofi dari tarian ini diambil dari burung khas Kalimantan yakni burung enggang yang terbang tinggi di angkasa sebagai simbol perdamaian antar masyarakat Dayak Kenyah.
“Jadi anak-anak muda kami kaderkan untuk melestarikan budayanya sendiri,” pungkas Adang.