Samarinda (ANTARA Kaltim) - Teror bom di halaman Gereje Oikumene, Kelurahan Loa Janan Hilir, Samarinda, Kalimantan Timur, pada Minggu pagi, 13 November 2016, tidak pernah diduga masyarakat Kota Tepian.
Peristiwa ledakan bom berdaya ledak rendah itu tidak saja mengagetkan banyak pihak, tetapi juga membangkitkan rasa emosional masyarakat terhadap pelakunya.
Apalagi setelah diketahui ada empat orang anak yang menjadi korban ledakan dengan luka cukup serius, bahkan seorang di antaranya bernama Intan Olivia Marbun yang masih berusia 2,5 tahun meregang nyawa saat menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Umum Daerah AW Sjahranie Samarinda, sehari berselang.
Intan meninggal dunia akibat mengalami luka bakar di sekujur tubuhnya hingga 70 persen dan pembengkakan pada paru-parunya. Tiga balita lainnya yang juga mengalami luka bakar masih menjalani pemulihan fisik dan psikis hingga saat ini.
Pelaku pelemparan bom berinisial "J" yang beberapa tahun lalu pernah dibui karena kasus teror bom, berhasil ditangkap warga saat berusaha melarikan diri setelah melakukan aksinya.
Beberapa orang lainnya yang diduga menjadi anggota jaringan teroris bom Samarinda juga diciduk Detasemen Khusus 88 Anti-Teror Polri, beberapa hari kemudian.
"Peledakan bom itu dilakukan (anggota) kelompok teroris," kata Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Polisi Safaruddin.
Peristiwa teror bom di rumah ibadah yang terjadi bersamaan maraknya protes umat Muslim terhadap kasus penistaan agama yang diduga dilakukan salah satu calon gubernur di DKI Jakarta, sempat memunculkan isu adanya sentimen agama dan upaya memecah belah umat beragama di Kota Samarinda serta Kaltim.
Akan tetapi, masyarakat tidak terprovokasi melakukan aksi balasan, kendati pelaku yang tertangkap warga sempat dihujani pukulan hingga babak belur sebelum diserahkan kepada aparat kepolisian.
Emosi warga tetap terjaga dan muncul rasa empati dari seluruh masyarakat Indonesia terhadap empat anak yang menjadi korban perilaku tidak manusiawi orang tidak bertanggung jawab tersebut.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang sempat mengunjungi korban di rumah sakit di sela kunjungan kerjanya di Samarinda, sama-sama mengutuk aksi teror bom tersebut.
"Ini perbuatan keji dan saya minta pelakunya dihukum seberat-beratnya, karena korbannya adalah anak-anak," kata Muhadjir.
Intan Olivia Marbun (2,5), Triniti Hutahaya (3), Alvaro Aurelius Tristan Sinaga (4), dan Anita Kristobel Sihotang (2) adalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa soal terorisme, tetapi mereka telah menjadi korban kebiadaban dari aksi kelompok radikal.
Radikalisme bisa diartikan sebagai suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.
Namun, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menegaskan bahwa terorisme atau radikalisme tidak mewakili siapa-siapa atau agama apapun, karena tidak ada agama apapun di dunia yang membenarkan melakukan aksi teror, apalagi sampai menimbulkan korban jiwa.
"Terorisme bisa dilakukan orang dengan agama apapun, tetapi terorisme tidak mewakili agama apapun, kecuali hal itu adalah bentuk kejahatan dari diri sendiri," tegasnya.
Penanganan masalah terorisme juga harus dilakukan mulai hulu hingga hilir, karena bisa jadi pemicunya tidak melulu soal agama tetapi ada kemungkinan motif lain dari para pelakunya, semisal masalah ekonomi, sosial atau politik.
Persembunyian Teroris
Jauh sebelum peristiwa teror bom Gereja Oikumene, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah mengingatkan bahwa Provinsi Kalimantan Timur menjadi salah satu daerah yang rawan terhadap penyebaran paham radikal, termasuk tempat persembunyian teroris karena letak geografisnya yang strategis.
Dugaan itu agaknya terbukti benar, menyusul penangkapan seorang terduga anggota jaringan teroris di Balikpapan, sehari setelah peristiwa teror di Jalan MH Thamrin Jakarta pada 14 Januari 2016.
Terduga teroris berinisial FS yang ditangkap di Jalan Swadaya 1, Kelurahan Sepinggan Baru, Balikpapan Selatan, itu, diketahui sudah sekitar dua tahun tinggal di daerah tersebut.
Tidak berbeda jauh dengan anggota jaringan bom Samarinda yang ternyata juga telah menetap di Kelurahan Loa Janan Ilir cukup lama dan selama ini tidak pernah menimbulkan kecurigaan warga sekitar tempat tinggalnya.
Direktur Pencegahan Terorisme BNPT Brigjen Pol Hamidin saat pertemuan terbatas dengan jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Kaltim pada akhir Januari 2016 di Samarinda, mengungkapkan bahwa sejarah mencatat Provinsi Kaltim menjadi daerah perlintasan, bahkan daerah tempat persembunyian teroris.
"Jika dicermati sejarah perjalanan terorisme secara global di kawasan Asia Tenggara, maka Provinsi Kaltim memiliki potensi itu," jelasnya.
Sebagian wilayah Kaltim, khususnya Kabupaten Mahakam Ulu dan Berau memang berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia dan Filipina.
Kegiatan operasi terorisme di Indonesia terbagi menjadi empat mantigi (sebutan wilayah operasi kelompok terorisme), di mana Kaltim masuk mantigi tiga dengan jaringan Filipina bagian selatan dan Sulawesi Tenggara, kemudian di Poso, sebagai tempat latihan.
Aparat kepolisian dan TNI bersama pemerintah daerah serta elemen masyarakat Kaltim sebenarnya juga telah berupaya meningkatkan kewaspadaan terhadap keberadaan kelompok-kelompok radikal itu, tapi akhirnya kecolongan juga dengan peristiwa bom Samarinda.
Kendati hanya sebuah bom "kecil", namun aksi teror bom yang baru pertama kali terjadi ini tak urung menodai ketentraman yang selama ini dirasakan umat beragama dan masyarakat Benua Etam.
"Kejadian ini (teror bom) harus menjadi yang pertama dan terakhir di Kaltim. Tidak boleh ada lagi," kata Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak.
Mantan Bupati Kutai Timur ini tampak sangat terpukul dan sedih dengan peristiwa teror bom yang terjadi di daerahnya, apalagi sampai merenggut korban jiwa anak balita.
Selama ini, Awang Faroek sangat membangga-banggakan situasi kondusif di Kaltim, yang diibaratkannya sebagai "Indonesia Mini" dengan keberagaman kultur, suku dan agama masyarakatnya yang bisa hidup harmonis tanpa ada perpecahan atau konflik.
Dalam berbagai kesempatan bertemu pejabat pemerintah pusat maupun tamu-tamu asing yang berkunjung ke Kaltim, Awang Faroek hampir selalu bercerita mengenai harmonisasi kehidupan umat beragama dan masyarakat di daerahnya.
Forkopimda dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kaltim secara rutin mengadakan pertemuan atau silaturahmi untuk membicarakan isu-isu terkini yang terjadi di provinsi setempat.
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika para pimpinan daerah dan tokoh agama serta masyarakat sangat terpukul dengan munculnya aksi teror bom di rumah ibadah di Kota Samarinda.
"Aksi teror itu tidak bisa ditoleransi. Selama ini kita hidup damai dan berdampingan, tidak ada gesekan antar-umat beragama di Kaltim," tegas Ketua Majelis Ulama Indonesia KH Hamri Has.
Bagaimanapun, teror bom di Gereja Oikumene Samarinda telah memberikan pelajaran berharga kepada masyarakat Kaltim untuk terus menjaga kerukunan dan kebhinnekaan yang selama ini telah terjalin.
Paling penting lagi, kewaspadaan dini di lingkungan masyarakat harus ditingkatkan, karena pelaku teror bom bisa ada di mana saja dan di tengah-tengah masyarakat. (*)
Catatan Akhir Tahun: Teror Bom Oikumene Mengusik Ketenangan Kaltim
Jumat, 9 Desember 2016 12:36 WIB
terorisme atau radikalisme tidak mewakili siapa-siapa atau agama apapun