Jakarta (ANTARA News) - Dua pria mundur perlahan saat tahu Hartini
positif terinfeksi HIV, virus penyerang sistem kekebalan tubuh manusia.
Tapi Muhammad Nur Firmansyah berbeda.
Dua minggu setelah Hartini mengungkap statusnya sebagai orang dengan HIV
dan AIDS (ODHA), pria yang akrab disapa Firman itu melamar dia.
Cinta dan pengetahuan soal ODHA membuat Firman menerima Hartini, yang saat itu seorang janda dengan satu anak berusia 15 tahun.
"Yang saya tahu soal ODHA, mereka bisa hidup normal. Saya cinta dia dan mau berkeluarga," katanya.
Firman yang ketika itu bekerja di perusahaan saham menikahi Hartini pada
9 November 2013. Kini mereka telah memiliki seorang anak berusia 15
bulan yang HIV negatif.
"Sejak menikah dengan dia saya juga aktif ikut sosialisasi. Saya
sekarang bekerja di LSM dan terus belajar tentang HIV-AIDS," jelas pria
berusia 34 tahun itu.
Firman telah membawa kehidupan baru bagi Hartini, yang ketika mulai
berpacaran dengan Firman sudah aktif di Ikatan Perempuan Positif
Indonesia (IPPI).
"Tetapi saya belum berani ungkap status saya meskipun saat itu sudah
sering melibatkan Firman ikut acara-acara HIV-AIDS," ujar Hartini.
Dia
belum mengungkapkan statusnya sebagai ODHA karena khawatir Firman akan
meninggalkannya sampai suatu hari Firman sengaja meminjam sikat giginya.
"Saya
tidak kasih. Lalu kami rebutan sikat gigi," ungkap Hartini, konselor
Pencegahan Penularan Ibu dan Anak (PPIA) yang akrab disapa Tini.
"Lalu saya bilang 'Kalau saya HIV positif bagaimana?' Dia malah jawab
'Memang kamu HIV positif kan'. Saat itu saya gemetar, saya takut
ditinggalkan dia," katanya.
Ketakutan Tini itu tidak terjadi. Pria yang dia cintai tak pernah meninggalkannya sampai saat ini.
Bukan akhir segalanya
Pernikahan Tini sebelumnya gagal dan mewarisinya virus HIV.
Ia adalah satu dari ribuan ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suami
tak setia mereka.
Data Kementerian Kesehatan tahun 2012 menunjukkan terdapat sekitar 6,7
juta pria membeli seks dan mengakibatkan 4,9 juta perempuan menikah
dengan pria berisiko tinggi terinfeksi HIV.
Hingga tahun 2015 tercatat ada 9.000 ibu rumah tangga terserang HIV. Ibu
rumah tangga menempati posisi sebagai kelompok penderita AIDS tertinggi
kedua setelah karyawan dengan jumlah kasus 1.044 tahun 2014.
Tini tahu dia HIV positif setelah anak lelakinya yang berusia sembilan bulan meninggal dunia dan divonis HIV positif.
"Sebelumnya, saya tidak percaya anak saya terinfeksi karena dulu
mikirnya HIV itu penyakit seks yang hanya menginfeksi pekerja seks dan
pecandu narkoba sedangkan saya seorang ibu rumah tangga yang sangat
percaya dengan suami saya," ujar Tini.
Waktu itu suami Tini menolak diajak menjalani tes HIV dan menganggap anaknya tertular virus tersebut di rumah sakit.
Sampai tahun 2008, kesehatan Tini terus menurun. Ia mengalami gejala HIV
positif seperti pilek berkepanjangan, jamur di mulut, fungsi lever
menurun, anemia berat serta persentase sel darah putih yang merosot
tajam.
"Begitu tahu HIV positif saya mengurung diri sebulan di kamar," kata Tini.
Namun kemudian dia sadar bahwa tidak ada cara lain untuk melanjutkan hidup selain berdamai dengan HIV.
"Saya
cepat berdamai, bukan mencari-cari ini virus dari mana. Keterbukaan ini
juga bukan untuk menolong diri sendiri tetapi bagaimana menolong orang
lain," ujar Tini.
Tini memutuskan membuka statusnya sebagai ODHA tahun 2011.
"Tadinya hanya keluarga yang tahu. Tetapi saya tidak ingin ada lagi
perempuan seperti saya," katanya perempuan berusia 35 tahun itu.
Tampil di muka umum sebagai ODHA, menurut Tini, bukan hal yang mudah.
"Orang-orang bertanya, 'Kamu pakai jilbab kok kena HIV? Kamu
jadi pekerja seks? Kamu pakai narkoba? Kok ODHA gemuk ya'?" tutur Tini.
Tetapi Tini bertekad menghapus pandangan yang salah di masyarakat
tentang ODHA, dan menyampaikan bahwa ODHA juga punya hak yang sama
sebagai warga negara Indonesia.
"Dengan saya memunculkan diri, orang bisa melihat ODHA baik-baik saja bahkan bisa meningkatkan kualitas hidup," ujarnya.
Bahkan, Tini mengaku memiliki visi misi hidup sejak menjadi ODHA.
Tadinya, ia menyebut dirinya hanya seorang ibu rumah tangga yang naif.
"Setelah jadi ODHA, saya punya visi misi hidup, dulu enggak. Walaupun
hidup sebagai perempuan bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa.
HIV bukan akhir dari segalanya," tuturnya.
Tini menikmati hidupnya meskipun harus konsisten meminum obat
anti-retroviral (ARV) seumur hidup untuk menekan pertumbuhan virus.
Ia juga menjalani proses melahirkan secara normal dan tetap memberikan
air susu ibu (ASI) kepada bayinya di tengah kontroversi pemberian ASI di
kalangan ODHA.
"Saya bahagia, seperti bahagianya mereka yang lain. Saya
berdamai dengan virus HIV, bahkan sudah bersahabat. Virus ini baik-baik
saja dan di bawah kendali saya," tutur Tini. (*)
Menikahi Pengidap HIV Positif
Kamis, 3 Desember 2015 10:33 WIB