Balikpapan (ANTARA) - Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Balikpapan menggelar worshop Pemerhati Anak untuk memperkuat upaya pencegahan kekerasan terhadap anak yang digelar di Balikpapan, Rabu (13/8).
“Dengan memberikan perhatian, paling tidak kita bisa membentuk karakter anak menjadi lebih baik, yang nantinya akan menciptakan generasi muda yang tangguh,” kata Kepala DP3AKB Balikpapan Heria Prisni.
Dia menjelaskan, workshop bertema 'Pencegahan dan Penanganan Perlindungan Khusus Anak Secara Berkelanjutan', menghadirkan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maryati Solihah sebagai narasumber utama serta melibatkan unsur aparat penegak hukum, akademisi, organisasi masyarakat, dan anak-anak sebagai peserta.
Ia berharapkan kepada para peserta menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam menyebarkan pengetahuan dan materi yang diperoleh.
“Kami tidak bisa menjangkau semua pihak secara langsung, sehingga mereka yang hadir bisa menyampaikan informasi ini kepada masyarakat luas,” ujarnya.
Menurut Heria, tren kasus kekerasan anak di Balikpapan saat ini memang meningkat, namun hal itu juga menandakan semakin banyak warga yang berani melapor.
“Dulu banyak yang tidak berani melapor ke OPD terkait. Sekarang, masyarakat mulai percaya pemerintah hadir untuk mendampingi, dan identitas pelapor dijaga sehingga mereka merasa aman untuk speak up,” katanya.
Maryati Solihah menegaskan, komitmen pemerintah daerah dalam perlindungan anak harus memiliki milestone yang jelas.
Ia mengemukakan, bila sudah berada pada tahap memiliki regulasi dan sumber daya, maka layanan harus ditingkatkan. Setelah layanan meningkat, seluruh pranata sosial terutama pada pemenuhan hak anak harus berjalan optimal.
"Pemenuhan itu tidak hanya menyangkut pencegahan kekerasan, tetapi juga memastikan tidak ada anak yang terlewat sejak lahir," ucapnya.
Misalnya, di bidang kesehatan, semua anak harus mendapatkan ASI eksklusif dan imunisasi lengkap. Di bidang pendidikan, harus dipastikan tidak ada anak yang tidak bersekolah, termasuk anak disabilitas yang masih kesulitan mendapatkan guru dengan kemampuan bahasa isyarat dan layanan pendukung lainnya. Ini menjadi tantangan yang harus diatasi.
Ia menekankan, angka anak korban kekerasan yang trennya meningkat di Balikpapan juga harus menjadi perhatian. Menurutnya, 100 persen korban memang telah memperoleh layanan, namun perlu ditanyakan apakah sudah ada anak yang benar-benar pulih.
Menurutnya, pemulihan bukan sekadar selesai secara medis atau psikologis, tetapi juga mencakup pemenuhan hak lainnya. Misalnya, anak korban kekerasan seksual yang telah menjalani rehabilitasi, apakah ia sudah kembali bersekolah dan dapat menikmati kehidupannya lagi.
Maryati menuturkan, langkah menuju Kota Layak Anak harus memastikan seluruh layanan publik, regulasi, program, dan pelibatan anak benar-benar memberi dukungan optimal. Ia mengingatkan agar pencapaian predikat utama tidak membuat pemerintah terlena.
“Yang menguatkan peran itu bukan hanya peringkat, tetapi konfirmasi langsung ke anak-anaknya. Coba tanyakan, apakah mereka bahagia menjadi anak di Kota Balikpapan? Itu kuncinya,” katanya..
Ia juga mengusulkan terobosan seperti “sehari menjadi wali kota” untuk memberi ruang anak menyampaikan ide. Menurutnya, anak harus diperlakukan sebagai pemilik gagasan, bukan sekadar pelengkap acara seremonial.
Maryati mengajak penerapan konsep 4F akronim dari faster, friendly, follow up, dan feedback dalam mengakomodasi aspirasi anak.
“Untuk anak-anak di Kota Balikpapan, penerapan 4F ini penting agar pengakomodasian aspirasi mereka menjadi bagian dari pembangunan berkelanjutan, bukan hanya saat perayaan tertentu seperti 17 Agustus,” katanya.
Maryati berharap Balikpapan dapat menjadi pionir perlindungan anak di Kalimantan dengan membangun pandangan positif anak sejak dari pengasuhan di rumah, komunikasi keluarga, hingga pemenuhan hak-hak dasar tanpa terlewat. (Adv).
