Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami dugaan adanya penukaran uang ke mata uang asing oleh tersangka dugaan korupsi proyek fiktif dan tindak pidana pencucian uang (TPPU), yakni mantan Direktur Utama PT Amarta Karya, Catur Prabowo (CP).
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Jumat mengatakan tim penyidik KPK juga mendalami adanya penerimaan fee atas penempatan dana proyek fiktif di PT Amarta Karya.
Lembaga antirasuah mendalami hal tersebut kepada ibu rumah tangga bernama Amelia Rinayanti yang diperiksa sebagai saksi untuk tersangka CP. Pemeriksaan bertempat di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (24/8).
"Dari saksi, didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan dugaan adanya penukaran uang ke bentuk mata uang asing dan adanya penerimaan fee atas penempatan dari dana proyek fiktif di PT AMKA Persero (PT Amarta Karya, red.)," kata Ali.
Kemudian, penyidik KPK mendalami dugaan adanya aliran uang yang dialirkan oleh tersangka CP ke sejumlah pihak. Hal ini, didalami penyidik dari seorang wiraswasta bernama Adi Firmansyah.
"Saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan dugaan adanya sejumlah uang yang dialirkan Tersangka CP ke beberapa pihak," imbuh Ali.
KPK telah menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan proyek fiktif di PT Amarta Karya Tahun 2018-2020, yakni mantan Direktur Utama Catur Prabowo (CP) dan mantan Direktur Keuangan PT Amarta Karya Trisna Sutisna (TS).
KPK melakukan penahanan kepada Trisna Sutisna pada tanggal 11 Mei 2023, sementara penahanan terhadap Catur dilakukan pada tanggal 17 Mei.
Penyidik KPK kemudian kembali menetapkan Catur Prabowo sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada Senin (21/8).
Kasus tersebut, ungkap penyidik lembaga antirasuah, berawal pada tahun 2017. Saat itu, tersangka Trisna menerima perintah dari Catur Prabowo yang kala itu masih menjabat Direktur Utama PT Amarta Karya.
Catur memerintahkan Trisna dan pejabat di bagian akuntansi PT Amarta Karya untuk mempersiapkan sejumlah uang untuk kebutuhan pribadinya dengan sumber dana yang berasal dari pembayaran berbagai proyek yang dikerjakan PT Amarta Karya.
Tersangka TS bersama dengan beberapa staf di PT Amarta Karya kemudian mendirikan badan usaha berbentuk CV yang digunakan menerima pembayaran subkontraktor dari PT Amarta Karya tanpa melakukan pekerjaan alias fiktif.
Pada tahun 2018, dibentuk beberapa badan usaha CV fiktif sebagai vendor yang akan menerima berbagai transaksi pembayaran dari kegiatan proyek PT Amarta Karya. Hal ini sepenuhnya atas sepengetahuan tersangka CP dan TS.
Untuk pengajuan anggaran pembayaran vendor, tersangka CP selalu memberikan disposisi "lanjutkan" dibarengi dengan persetujuan surat perintah membayar (SPM) yang ditandatangani tersangka TS.
Buku rekening bank, kartu ATM, dan bonggol cek dari badan usaha CV fiktif itu dipegang staf bagian akuntansi PT Amarta Karya yang menjadi orang kepercayaan CP dan TS untuk memudahkan pengambilan dan pencairan uang sesuai dengan permintaan tersangka CP.
Uang yang diterima tersangka CP dan TS kemudian diduga, antara lain, digunakan untuk bayar tagihan kartu kredit, pembelian emas, perjalanan pribadi ke luar negeri, pembayaran member golf, dan pemberian kepada beberapa pihak terkait lainnya.
Perbuatan kedua tersangka tersebut diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp46 miliar.
Atas perbuatannya kedua tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.