Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Jumat, mengatakan Pertamina sebagai perusahaan pelat merah terbesar di Indonesia berkomitmen untuk mempercepat transisi energi sesuai dengan target pemerintah.
"Kemitraan ini merupakan langkah strategis bagi Pertamina dan Chevron untuk saling melengkapi kekuatan masing-masing, serta mengembangkan proyek dan solusi energi rendah karbon untuk mendorong kemandirian dan ketahanan energi dalam negeri," kata Nicke.
"Kemitraan ini merupakan langkah strategis bagi Pertamina dan Chevron untuk saling melengkapi kekuatan masing-masing, serta mengembangkan proyek dan solusi energi rendah karbon untuk mendorong kemandirian dan ketahanan energi dalam negeri," kata Nicke.
Pertamina dan Chevron berencana untuk mempertimbangkan teknologi baru panas bumi; penyeimbangan karbon melalui solusi berbasis alam; penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon (CCUS); serta pengembangan, produksi, penyimpanan, dan transportasi hidrogen dengan rendah karbon.
Indonesia telah mengembangkan panas bumi sebagai energi sejak 1974 dan kini menjadi negara kedua terbesar yang memiliki kapasitas terpasang listrik panas bumi.
Pertamina melalui anak usahanya Pertamina New Renewable Energy (NRE) memiliki total kapasitas terpasang listrik panas bumi mencapai 1.877 megawatt yang berasal dari 13 area kerja panas bumi.
Sebanyak 672 megawatt berasal dari area kerja yang dioperasikan sendiri dan 1.205 merupakan kontrak operasi bersama atau joint operation contract (JOC).
Area kerja yang dioperasikan sendiri dengan total kapasitas 672 megawatt tersebut mencakup area Sibayak 12 megawatt, Lumut Balai 55 megawatt, Ulubelu 220 megawatt, Kamojang 235 megawatt, Karaha 30 megawatt, dan Lahendong 120 megawatt.
Selain itu, Pertamina juga melakukan diversifikasi pengembangan panas bumi. Saat ini proyek percontohan yang sedang berjalan adalah hidrogen hijau yang dikembangkan di area Ulubelu dengan target produksi 100 kilogram per hari dan brines to power yang dikembangkan di area Lahendong serta memiliki potensi kapasitas 200 megawatt dari beberapa area kerja lainnya.
Perseroan juga tengah mengembangkan penerapan CCS) dan CCUS sebagai salah satu strategi perseroan mengurangi emisi karbon di dua lapangan migas, yakni Gundih dan Sukowati. Pertamina juga sedang mengkaji komersialisasi penerapan teknologi CCUS di Sumatra.
Kerja sama Pertamina dengan Chevron merupakan bagian dari upaya kedua perusahaan untuk mendukung target netralitas karbon Pemerintah Indonesia pada 2060. Pertamina berkomitmen meningkatkan bauran energi terbarukan dari 9,2 persen pada 2019 menjadi 17,7 persen di tahun 2030.
"Melalui potensi kerja kami di Indonesia, dan seluruh kawasan Asia Pasifik, kami berharap dapat menyediakan energi yang terjangkau, andal, dan selalu bersih, serta membantu industri dan konsumen yang menggunakan produk kami untuk mencapai tujuan rendah karbon mereka," kata Presiden Chevron New Energies Jeff Gustavson.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan Pemerintah Indonesia telah memiliki peta jalan transisi energi yang tertuang dalam Grand Strategi Energi Nasional.
Dalam peta jalan tersebut, penggunaan energi terbarukan ditargetkan mencapai 23 persen pada 2025. Pemerintah menyadari pentingnya pendekatan yang bersifat kolaboratif untuk mencapai tujuan rendah karbon.
"Tentunya upaya untuk meningkatkan proyek energi rendah karbon tidak bisa dilakukan sendiri. Kami harap perusahaan minyak dan gas kelas dunia, seperti Pertamina dan Chevron dapat bermitra untuk memangkas emisi karbon dan mendorong transisi energi sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Pemerintah Indonesia," pungkas Luhut.