Samarinda (ANTARA Kaltim) - Pengamat politik dan hukum Universitas Mulawarman Samarinda Herdiansyah Hamzah mengemukakan politik patron menjadi salah satu penyebab minimnya pasangan calon yang mendaftar sebagai peserta pemilihan kepala daerah serentak tahap pertama 9 Desember 2015.
"Salah satu penyebab minimnya pasangan calon pada pemilihan kepala daerah yang akan digelar secara serentak yakni politik patron, dimana partai politik di tingkat pusat menentukan calon dengan mahar tinggi. Akibatnya, kader yang kompeten di daerah kalah dari yang berduit," ungkap Herdiansyah Hamzah kepada Antara di Samarinda, Kalimantan Timur, Senin malam.
Ia mengemukakan hal itu menanggapi kemungkinan penundaan pelaksanaan Pilkada Kota Samarinda akibat hanya ada satu pasangan calon yang resmi mendaftar di KPU setempat.
Faktor lain penyebab minimnya calon peserta pilkada, jelas Herdiansyah, yakni ketatnya syarat pencalonan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 juncto Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015.
"Sistem pemilihan umum, bukan hanya tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum, tetapi juga pembuat aturan (DPR) serta pemerintah. Memang masih banyak kekurangan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 juncto Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015, salah satunya mengenai syarat pencalonan yang cukup ketat," katanya.
"Tetapi, minimnya pasangan calon juga menjadi tanggung jawab partai politik. Mereka (partai politik) gagal mencetak kader untuk mengisi pos-pos penting pemerintahan, termasuk yang saya maksud di atas yakni politk patron," tambah alumnus Fakultas Pascasarjana Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu.
Terkait kemungkinan ditundanya Pilkada Kota Samarinda hingga 2017, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman itu menilai, secara kontestasi akan merugikan pasangan bakal calon yang telah mendaftar, yakni Syaharie Jaang-Nusyirwan Ismail sebagai calon petahana yang saat ini masih menjabat sebagai Wali Kota dan wakil Wali Kota Samarinda.
"Namun, secara prinsip rakyat yang paling dirugikan karena tidak bisa menggunakan hak politiknya. Pada sisi lain, penundaan itu menguntungkan pihak yang tidak ikut bertarung, sebab mereka memiliki waktu yang cukup untuk menaikkan elektabilitas selama dua tahun ke depan," ujar Herdiansyah Hamzah.
Penundaan pemilihan kepala daerah yang berimplikasi pada lamanya Kota Samarinda akan dipimpin oleh seorang penjabat (Pj), menurut Herdiansyah, tidak menjadi masalah.
"Menurut saya, tidak ada masalah jika dua tahun ke depan Samarinda dipimpin pejabat sementara, sepanjang punya kewenangan mengambl keputusan strategis. Makanya, Mendagri harus segera membuat aturan dalam bentuk Permendgri yang mengatur kewenangan penjabat sementara tersebut," jelasnya.
Sebelumnya, Ketua KPU Samarinda Ramaon Dearnov Saragih mengungkapkan Pilkada Kota Samarinda berpeluang besar ditunda hingga pilkada serentak berikutnya (2017), karena hingga akhir masa perpanjangan pendaftaran pada Senin pukul 16.00 Wita, hanya ada satu calon yang resmi mendaftar.
Satu-satunya calon peserta pilkada yang telah resmi mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum Kota Samarinda adalah pasangan petahana Syaharie Jaang-Nusyirwan Ismail (Wali Kota dan Wawali Samarinda saat ini).
Keputusan resmi terkait kelanjutan Pilkada Kota Samarinda rencananya dirapatkan secara pleno oleh KPU setempat pada Selasa (4/8).
Sebenarnya lanjut Ramaon, telah ada dua tim yang melakukan pendaftaran pasangan cawali-cawawali sebelum batas akhir masa perpanjangan pukul 16.00 Wita.
Namun, pendaftaran yang dilakukan oleh dua tim tersebut dianggap telah mencabut pendaftaran, karena keduanya hanya mendaftarkan secara lisan tanpa menyerahkan berkas persyaratan.
"Keputusan ini merupakan hasil rapat bersama anggota KPU Samarinda, Panwaslu Samarinda dan sesuai arahan KPU Provinsi," jelas Ramaon. (*)