Samarinda (ANTARA) - Ketua Ikatan Psikologi Klinis Himpunan Psikologi (IPK HIMPSI) Kalimantan Timur (Kaltim) Ayunda Ramadhani menyoroti isu penanganan kekerasan pada anak menyambut Hari Anak Nasional (HAN) yang diperingati setiap 23 Juli.
Ayunda di Samarinda, Selasa, mengungkapkan kekerasan pada anak merupakan fenomena gunung es dengan kasus yang terlaporkan tak selalu sebanding kejadian sebenarnya di lapangan.
Psikolog di UPTD PPA Kota Samarinda itu menjelaskan hingga Mei 2025 tercatat lebih dari 50 kasus kekerasan anak di Samarinda. Angka tersebut belum termasuk korban yang mungkin lebih dari satu dalam setiap kasus yang dilaporkan.
"Kasus kekerasan pada anak tidak hanya yang terpampang di televisi, tapi sangat sering terjadi di lingkungan kita sehari-hari," ujar dosen Psikologi Universitas Mulawarman (Unmul) itu.
Ia mengatakan kekerasan seksual menduduki peringkat pertama kasus kekerasan pada anak, kemudian kekerasan fisik yang sering kali terjadi dalam konteks Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan kekerasan psikologis.
Mirisnya, kata dia, sekitar 90 persen kasus kekerasan pada anak dilakukan oleh orang yang dikenal atau orang terdekat korban. Hal ini memperparah dampak psikologis anak karena pelaku seharusnya menjadi pelindung. "Bisa dibayangkan ketika dunia yang mereka bergantung itu ternyata jahat sama mereka," kata Ayunda.
Ia menyebut dampak kekerasan pada anak harus segera ditangani secara komprehensif dan lintas sektor, melibatkan berbagai profesional serta OPD terkait. Penanganan yang cepat sangat krusial mengingat anak-anak belum memiliki kemampuan berpikir panjang dan membuat keputusan seperti orang dewasa.
Ayunda menekankan pentingnya peran keluarga sebagai tempat pertama tumbuhnya rasa aman dan cinta. Orang tua perlu membekali diri dengan ilmu mengendalikan emosi dan mengendalikan stres sebelum memiliki anak, karena membesarkan anak adalah tantangan yang besar.
"Orang tua yang memilih memiliki anak, maka sudah semestinya mereka juga lebih matang dalam pengendalian emosinya," tegas Ayunda.
Jika anak menunjukkan perubahan sikap atau rewel, orang tua disarankan untuk tidak panik atau menunjukkan reaksi negatif. Sebaliknya, orang tua harus menenangkan diri dan menggunakan pendekatan yang lembut untuk mendapatkan cerita dari anak.
Ayunda menyambut baik pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di tingkat satuan pendidikan, baik SD, SMP, maupun SMA di Samarinda. Ini menunjukkan adanya kesadaran yang masif tentang pentingnya pencegahan dan penanganan kekerasan.
Jika kasus kekerasan terjadi di sekolah, lanjutnya, orang tua dapat melapor ke TPPK di sekolah masing-masing. Namun apabila terjadi di luar lingkungan sekolah, seperti di rumah atau oleh tetangga, pelaporan dapat dilakukan ke UPTD PPA Kota Samarinda.
"Kontribusi harus dari seluruh masyarakat, kita harus saling bahu-membahu," ucap Ayunda.
