Samarinda (ANTARA) -
Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur Salehuddin, menanggapi kebijakan penghapusan skripsi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) bahwa hal itu mesti diikuti kewajiban penyusunan publikasi ilmiah oleh mahasiswa.
“Saya tahu itu bagian dari kebijakan yakni membebaskan bagi mahasiswa untuk tidak membuat skripsi, tesis, maupun disertasi,” ujar Salehuddin di Samarinda, Senin.
Saleh mengatakan skripsi merupakan salah satu bentuk karya ilmiah yang menunjukkan kemampuan mahasiswa dalam melakukan penelitian dan menghasilkan pengetahuan baru.
“Kecuali, proses ujian akhir itu bisa merangkum dalam tahapan setiap semester tanpa harus skripsi. Saya sepakat kalau ditiadakan, tetapi beberapa tahapan semester itu harus menggambarkan semacam publikasi ilmiah tanpa harus skripsi,” tambahnya.
Baca juga: Kemendikbudristek: Skripsi tidak dihapus!
Sebelumnya, aturan penghapusan skripsi dan diganti dengan tugas akhir, tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
Peraturan terbaru tersebut diluncurkan Mendikbudristek Nadiem Makarim dalam Merdeka Belajar episode 26, transformasi standar nasional dan akreditasi pendidikan tinggi pada 29 Agustus 2023.
Saleh menyarankan mahasiswa diberi tugas untuk membuat jurnal pada semester sebelum lulus, sehingga tidak terbebani pada semester akhir.
Pihak kampus, lanjutnya, mesti memberikan poin kredit kepada mahasiswa yang berhasil mempublikasikan karya ilmiah pada jurnal yang terakreditasi.
Baca juga: Nadiem: Merdeka Belajar wujud semangat gotong royong Indonesia
“Waktunya cukup panjang, dari awal sudah mengacu apa yang diteliti, apa yang menarik bagi dia,” katanya.
Saleh berharap kebijakan penghapusan skripsi tidak akan menurunkan kualitas pendidikan dan lulusan perguruan tinggi di Indonesia.
“Kita harus tetap menjaga mutu pendidikan. Jangan sampai ada kesan, lulusan Indonesia tidak mampu bersaing dengan lulusan negara lain karena tidak punya karya ilmiah,” ujarnya.
Baca juga: Tradisi Menulis Karya Akademis