Samarinda (ANTARA) -
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai tidak ada yang baru dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-XXI/2023 terkait kampanye pemilu.
“Menurut saya, tidak ada yang baru dari putusan MK 65/2023 itu (kecuali soal rumah ibadah). MK hanya memindahkan bagian penjelasan ke batang tubuh Pasal 280 ayat (1) huruf h UU pemilu,.jadi tetap sama seperti sebelumnya, kampus boleh dijadikan tempat adu gagasan, tapi bukan untuk kampanye,” ujar Herdiansyah Hamzah di Samarinda, Senin.
Putusan MK tersebut mengubah Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang sebelumnya melarang pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan satuan pendidikan untuk kegiatan kampanye.
Setelah perubahan, kampanye pemilu hanya boleh dilaksanakan di fasilitas pemerintah dan satuan pendidikan dengan izin dan tanpa atribut kampanye. Sementara itu, tempat ibadah tetap dilarang untuk kegiatan kampanye.
Ia menjelaskan, yang boleh masuk kampus adalah idenya, bukan atribut kampanyenya. Partai-partai juga tidak bisa seenaknya menentukan waktu, tapi ditentukan sendiri oleh kampusnya. Makanya dipakai frase “izin”. Jangan dimaknai kampanye seenaknya di kampus.
“Bagi saya, isi kepala calon memang mesti diperiksa di kampus, biar ilmiah dan verified. Ini hal yang lumrah di negara-negara Eropa dan Amerika. Ini bagus untuk membangun perspektif dan kesadaran politik mahasiswa di kampus,” tutur pengamat yang akrab disapa Castro itu.
Ia menambahkan, kita tidak boleh alergi dengan politik, tentu dengan politik yang bermartabat. Politik yang lebih fokus kepada adu ide dan gagasan, bukan simbolik.
“Kita harus bisa membedakan antara politik dan kampanye. Politik itu lebih luas dan lebih substantif daripada kampanye. Kampanye itu hanya salah satu cara untuk berpolitik. Kita harus bisa mengedepankan politik yang berbasis ide dan gagasan, bukan politik yang berbasis atribut dan simbol,” tutup Castro.