Jakarta (ANTARA) - Pakar keamanan siber dari lembaga riset keamanan siber CISSReC Dr. Pratama Persadha mengingatkan bahaya kebocoran data pribadi yang terjadi di Indonesia, termasuk pencurian data pribadi yang diklaim berasal dari Direktorat Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.
Data pribadi yang diklaim didapatkan oleh hacker berinisial “RRR" tersebut berjumlah 337 juta data terkait penduduk Indonesia yang berhasil didapatkannya dari server Dukcapil.
Pratama dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa, mengungkapkan informasi kebocoran data tersebut diunggah pada sebuah forum yang biasa dipergunakan untuk melakukan jual beli kebocoran data.
RRR juga diketahui berhasil mendapatkan total 7 tabel yang salah satunya ditawarkan untuk dijual saat ini.
Menanggapi kabar tersebut, Chairman CISSReC tersebut menilai peristiwa itu bisa sangat berbahaya bagi masyarakat yang terdampak kebocoran data karena diduga terdapat informasi nama ibu kandung. Nama lengkap ibu kandung biasanya dipergunakan sebagai lapisan keamanan tambahan di sektor perbankan.
"Dapat dibayangkan betapa berbahayanya data nama ibu kandung tersebut jika sampai data ini jatuh ke tangan orang yang akan melakukan tindakan kriminal dan penipuan terutama jika data tersebut digabungkan dengan kebocoran data lainnya," katanya.
Bahaya terjadi karena bisa mendapatkan profil data yang cukup lengkap dari calon korban penipuan seperti Nama, NIK, No KK, Alamat, No HP, Alamat Email, No Rekening, Nama Ibu Kandung, dan lain-lain sehingga pelaku kejahatan bisa leluasa melakukan penipuan dengan metode social engineering menggunakan data tersebut,.
“Yang lebih berbahaya lagi jika data pribadi tersebut dipergunakan untuk membuat identitas palsu yang kemudian dipergunakan untuk melakukan tindakan terorisme sehingga pihak serta keluarga yang data pribadinya dipergunakan akan mendapat tuduhan sebagai teroris atau kelompok pendukungnya,” imbuhnya.
Mantan Direktur Pam Sinyal BSSN itu juga menambahkan jika kebocoran data yang terjadi juga dapat merugikan pemerintah. Sebab jika sumber kebocoran diklaim berasal dari salah satu lembaga pemerintahan, pihak lain akan menyimpulkan bahwa faktor keamanan siber sektor pemerintahan adalah cukup rendah.
Oleh sebab itu, Pratama berharap pemerintah bisa segera membentuk Komisi Pelindungan Data Pribadi, yang berada di bawah Presiden, sesuai dengan amanat Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi.
“Dengan melakukan pembentukan lembaga atau otoritas tersebut proses penegakan hukum serta pemberian sanksi bisa segera diterapkan sehingga diharapkan dengan diterapkan sanksi administratif serta sanksi hukum yang ada di UU PDP, pihak-pihak yang terkait dengan data pribadi lebih perhatian terhadap keamanan data pribadi," kata Pratama.