Surabaya (ANTARA) - Polemik yang sering muncul setiap mendekati pemilihan presiden atau pilpres adalah isu PKI atau komunis, SARA, dan isu antara yang pro dan anti terhadap para calon. Seharusnya, berbagai polemik itu tidak seharusnya muncul, karena pemilu, dalam hal ini pilpres, sejatinya tidak jauh berbeda dengan urusan kuliner.
Ada orang yang suka soto, ada yang suka rawon, pecel, sop, dan sebagainya. Masak selera itu harus sama? Masak orang yang suka soto itu bisa berubah menjadi suka rawon?
Karena itu, mari kita nikmati selera masing-masing dan jangan memaksa harus sama, karena selera itu soal rasa dan rasa itu berasal dari-NYA. Begitu pula pilihan capres, ya santai saja dan syukuri tanpa perlu harus menyamakan "selera" pada calon tertentu.
Misalnya, para pedagang yang tergabung dalam Pedagang Pejuang Indonesia Raya (Papera) di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, mendukung Prabowo Subianto (kini Menteri Pertahanan) untuk maju capres dengan tiga harapan, yakni infrastruktur, akses modal, dan akses barang.
Dukungan yang berbasis massa di pasar itu disampaikan Ketua Umum DPP Papera Don Muzakir setelah pelantikan pengurus DPC Papera Kabupaten Temanggung di Graha Mina Bhakti, Pasar Ikan Dangkel Parakan, Kabupaten Temanggung, Rabu (12/7/2023).
Lain halnya dengan bakal calon presiden (bacapres) dari PDI Perjuangan (PDIP) Ganjar Pranowo yang memilih "turun" menyambangi lokasi nongkrong generasi milenial di M Bloc Space, Jakarta Selatan, dan melayani foto bersama muda-mudi yang ada di lokasi itu, Sabtu (24/6/2023).
"Ganjar, Ganjar, Ganjar," teriak para penonton acara musik yang didominasi oleh generasi milenial. Sesekali, Ganjar juga menyapa para milenial yang terlihat duduk asyik. "Sudah pada ngopi?," tanya Ganjar yang kompak dijawab, "Sudah" oleh para milenial tersebut.
Sementara dukungan untuk Anies Baswedan datang dari Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan (FSPPP) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang mendeklarasikan dukungan di Perkebunan Tebu, Desa Ngepongrojo, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Dalam deklarasi dukungan, Sabtu (15/7/2023) itu, Ketua Umum FSPPP SPSI Achmad Mundji menilai Anies peduli terhadap sektor pertanian dan perkebunan, juga rekam jejaknya dalam memperjuangkan hak-hak pekerja. Anies didukung karena berani, cerdas, dan pro pada kaum pekerja.
Nah, perbedaan "selera" dukungan pada capres dari berbagai elemen masyarakat itu tidak harus dipaksa sama, karena ketiga capres yang didukung itu justru tidak mungkin sama-sama menang. Mengutip anekdot viral di media sosial, kalau semua capres itu menang, "Nggak bahaya tah?"
Ya, pilpres adalah ajang "menjual" gagasan dan ide, yang tidak mungkin sama, namun tujuannya sama, yakni kesejahteraan masyarakat. Meski gagasan dan idenya bisa beragam, semuanya berujung pada upaya menyejahterakan warga bangsa.
Adu gagasan
Jika ajang menjual gagasan atau ide itu melenceng dan terjebak pada pemaksaan, maka pemilu tidak elok lagi jika dikatakan sebagai pesta demokrasi. Apalagi kalau pemaksaan "selera" itu dilakukan dengan memunculkan isu-isu yang "bahaya", seperti PKI, SARA, pelanggaran HAM, dan lainnya, sehingga konflik antarpendukung bacapres akan membuat ramai dan gaduh.
Karena itu, cara yang dilakukan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) dengan mengundang ketiga bacapres untuk adu gagasan pada Rapat Kerja Nasional XVI APEKSI di Makassar, Sulawesi Selatan (13/7/2023), menjadi menarik untuk kita memasuki fase-fase menuju Pilpres 2024.
Dalam Rakernas APEKSI yang merupakan organisasi wali kota se-Indonesia itu, Anies Baswedan menyampaikan masa depan akan ditandai dengan jumlah penduduk yang lebih banyak di kota daripada di desa, sehingga perlu perencanaan yang lebih komprehensif.
Oleh karena itu, mantan Gubernur DKI Jakarta ini menilai perlu ada badan khusus atau bahkan kementerian, seperti Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, agar pembangunan kota tanpa masalah, seperti polusi, sampah, hingga ketimpangan sosial.
Di tempat yang sama, bakal calon presiden Prabowo Subianto menyampaikan bahwa pihaknya menunggu rekomendasi yang dilahirkan dalam Rakernas APEKSI tersebut dan siap merealisasikan penataan dan pencitraan kota melalui tim terkait.
Sementara bakal calon presiden Ganjar Pranowo yang kini juga Gubernur Jawa Tengah, siap melayani masyarakat yang menjadi prioritas pemerintah, seperti infrastruktur yang mesti menghasilkan nilai tambah.
Adu gagasan dalam pilpres itu penting untuk menepis isu-isu "bahaya" yang kuno dan "itu-itu saja", sehingga gagasan yang diperdebatkan akan bermanfaat untuk publik dalam kepentingan bangsa sepanjang lima tahun ke depan.
Tanpa isu-isu "bahaya" itu, maka anekdot "Nggak bahaya tah?" akan hilang, apalagi pengalaman pilpres-pilpres sebelumnya menunjukkan bahwa isu-isu "bahaya" itu justru mengancam pecah belahnya persaudaraan, persatuan, dan kemajemukan bangsa ini.
Tidak hanya itu, isu-isu "bahaya" yang kontra produktif itu akan semakin runyam bila "ditiupkan" di era digital, karena era digital itu memang mudah menjebak masyarakat masuk dalam 'framing' (pembelokan/plesetan wacana). Lagi-lagi pertanyaan anekdot "Nggak bahaya tah ?" menjadi kembali relevan.
Setidaknya, pilpres tanpa isu-isu "bahaya" akan menumbuhkan masyarakat yang siap berbeda, tidak suka memaksakan "selera" yang mustahil untuk sama, dan menggantikan anekdot "Nggak bahaya tah ?" dengan "kesalehan digital" dan kesalehan sosial.
Walhasil, pilpres yang disikapi dengan cara dan gagasan yang mendorong kesalehan secara digital dan sosial akan menjadi ajang untuk berkhidmat kepada negara, tentu khidmat itu tak ada artinya bila prosesnya justru menimbulkan perpecahan dan polarisasi yang berlanjut saat "pesta" sudah selesai.
Pilpres adalah pesta demokrasi. Maka sudah sewajarnya kalau prosesnya berjalan dalam "rel" penuh keriangan, yang para pelakunya berpegang teguh pada tali persaudaraan sesama bangsa.