Pengacara Agus Amri mewakili kliennya para orangtua siswa dari sekolah-sekolah di bawah Yayasan Tunas Cahaya Bangsa, menuntut yayasan tersebut dan manajemen SD Harapan Bangsa yang beralamat di Jalan Indrakila RT 04 Nomor 99G Balikpapan, untuk membayar ganti rugi Rp5, meminta maaf pada para kliennya, dan menerima kembali anak-anak kliennya bersekolah di SD, SMP, dan SMA di bawah yayasan tersebut.
“Tapi sebelum itu kami sudah mengirim somasi, yang ancamannya terakhir kemarin, Rabu (8/7),” kata Agus Amri di Balikpapan, Kamis.
Pengacara yang juga aktivis itu menuturkan, ada 7 anak yang ditolak untuk mengikuti tahun pelajaran baru yang akan segera berlangsung Juli ini. Anak-anak ini adalah anak-anak klien Agus Amri, Pengacara Gesta Padang, dan Pengacara Yohannis Maroko.
“Orangtua mereka sudah bayar yang namanya annual fee tapi oleh sekolah lalu dikembalikan, juga ada yang bersama dengan buku rapor diserahkan barang-barang pribadinya,” tutur Amri.
Annual fee (biaya tahunan) adalah uang kegiatan tahunan, lebih kurang seperti SPP pada sekolah lain. Annual fee ini menjadi syarat untuk mengikuti pendidikan di tahun ajaran berikutnya. Menurut Amri, mengembalikan uang pembayaran itu sama saja dengan menolak anak belajar di sekolah tersebut.
Tidak hanya itu, Amri menuturkan, sekolah juga sedemikian rupa memaksa orangtua agar menarik anaknya, mengundurkan diri dari sekolah, dan memintanya mencari sekolah lain.
Karena intimidasi itu, seorang orangtua murid yang masih SD terpaksa memindahkan anaknya ke sekolah lain.
Bila permintaan dalam somasi ini ditolak, Amri juga bersama pengacara Gesta Padang dan Yohannis Maroko, mengancam membawa masalah ini ke ranah hukum dengan tuntutan seperti tersebut di atas.
Walaupun bila mengacu kepada somasi yang ditujukannya kepada Ketua Dewan Pembina dan Ketua Umum Yayasan Tunas Cahaya Bangsa dan Kepala SD Harapan Bangsa, maka semua yang terlibat dalam perkara ini di yayasan dan sekolah diancam dengan pidana 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta sebab telah melakukan perbuatan diskriminatif terhadap anak, sesuai Pasal 77 Undang-Undang Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
“Tapi kami cukup minta anak-anak bisa sekolah lagi, permintaan maaf dari sekolah, dan uang ganti rugi Rp5,” kata Amri.
Pada kesempatan terpisah, pihak sekolah membantah sudah mengeluarkan para siswa tersebut. Bendaraha II Sekolah Widya Disriyati didampingi Kuasa Hukum Yayasan Robert Andarias membantah sekolah sudah mengeluarkan para siswa yang dimaksud. Para siswa tersebut saat ini masih berstatus peserta didik sekolah Harapan Bangsa.
“Karena kami tidak pernah mengeluarkan surat drop out untuk anak-anak itu,” ungkap Widya.
Panjang lebar Widya juga mengatakan bahwa hubungan para orangtua murid dan pihak manajemen sekolah sudah tidak harmonis lagi, pihak sekolah kemudian memutuskan menyarankan para orangtua atau wali murid agar mencari sekolah lain di mana mereka bisa menjadi partner dalam hal pendidikan anaknya, yaitu sekolah yang memiliki kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan yang sesuai dengan maunya orang tua.
Namun demikian, pihaknya tetap membuka pintu apabila orangtua/wali murid menginginkan anaknya tetap bersekolah di Sekolah Harapan Bangsa.
“Namun dengan catatan wali murid harus menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada pihak sekolah lantaran dianggap telah memperkeruh suasana,” tegas Robert.
“Tetapi kalau bersikeras tidak mau maka kita tetap kembalikan anak ini kepada orang tuanya dan silakan mencari sekolah yang dianggap tepat,” tambah Widya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2020