Gabah dari ldang Kepala Adat Long Duhung Samion (novi abdi/Antara)

Ketika kami tiba di Long Duhung, Kelay, Berau,  pekan kedua Maret lalu, panen padi sudah selesai. Orang Mapnan sekarang sedang menghitung berapa banyak beras dan gabah yang didapatnya, dan cukup untuk berapa lama nantinya.

“Panen sedang tidak begitu bagus. Tapi ini cukuplah,” kata Kepala Adat Punan Mapnan  Samion Eng  di pondoknya di tepi Sungai Bluq Glop. Ditemani istri, anak, dan cucunya, Samion, 65 tahun, tengah melepaskan padi dari tangkainya. Seikat tangkai padi ditaruh di atas tikar, lalu diinjak-injak dengan cara yang spesial.

“Tangkainya pertama ditahan dengan satu kaki, baru kaki yang satunya merontokkan bulir padi. Kaki yang tadi merontokkan, kemudian jadi kaki yang menahan, gantian kaki yang menahan naik jadi yang merontokkan,” terang Roslina, istri Samion, menjelaskan gerakan kaki suaminya.

“Kayak joget dong mak,” cetus Ina Sawitri, satu dari dua perempuan di rombongan kami.

“Iya memang, bisa seperti itu. Seperti orang berjoget,” kata Samion tertawa.

Maka Ina, Bambang, dan Zulkaromi pun bergantian ikut berjoget merontokkan bulir-bulir padi dari tangkainya. Suasana halaman pondok sederhana itu pun jadi ceria, mengusir lelah dari perjalanan bermobil lebih kurang 3 jam dari Tanjung Redeb, atau 2 jam dari simpangan besar Labanan.

Di depan pondok di sebelah kanan, dibatasi dengan parit lebar, itulah ladang Samion. Di lahan lebih kurang setengah hektar itu, rumpun-rumpun padi masih menyisakan jerami yang tegak berdiri.

“Di sini kami panen dengan ani-ani,” kata mak Roslina. Kaum perempuan terutama, turun ke ladang untuk memanen plai, padi dalam kosa kata Punan. Tugas mereka memotong tangkai padi dari rumpunnya, lalu memasukkannya ke dalam bakul yang digendong.

Orang Punan menanam padi ladang dari varietas Mayas. Padi ini terkenal di gunung sebab menghasilkan beras yang setelah ditanak menjadi nasi yang wangi dan pulen.

“Kalau mau bisa dimakan begitu saja tanpa lauk,” kata Misakh Lungui, 60 tahun, kepala kampung Long Duhung sebelum dijabat Wesley sekarang.

Namun demikian, seperti dituturkan Misakh, menanam padi bukanlah keahlian alami Orang Punan Mapnan.

“Kami berburu dan mengumpulkan buah-buah hutan,” tuturnya. Karena itu, makanan awal Orang Mapnan juga bukan nasi, tapi daging binatang dan buah-buahan hutan.

Menurut dokumen Profil Kampung Long Duhung, Orang Mapnan mulai mengenal tata cara bertanam padi dan mengolahnya di awal tahun 1970an. Adalah seorang yang disebut Guru Mincai yang memperlihatkan cara berladang dan bertanam padi, dan kemudian mengolahnya untuk mendapatkan beras yang wangi saat dimasak itu.

“Ada juga yang bilang Orang Punan belajar dari Orang Kenyah,” tutur Erick Kelana, relawan  pendamping masyarakat dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara. Termasuk di dalamnya cara berladang sistem gilir balik. Setelah dirasa satu lahan tak subur lagi, Orang Mapnan akan berpindah berladang ke lahan lainnya dan membiarkan lahan pertama kembali ditumbuhi semak belukar.

“Sesuai kesepakatan kami, satu keluarga punya 7 lahan,” kata Misakh. Bila satu lahan ladang digarap selama setahun, maka baru pada tahun ke-8 ladang pertama itu yang sudah kembali menjadi hutan itu dibuka dan ditanami kembali.

“Dan ada kawasan yang tidak boleh ada kegiatan berladang di dalamnya,” timpal Dixon, seorang ranger, jagawana, dan bila di masa lampau, pastilah ia seorang prajurit Punan yang tangguh dan mengenal setiap jengkal hutan di dalam teritori Long Duhung itu.

Hingga hari ini, meski sudah menetap dan berladang, hutan masih dan adalah segala-galanya bagi Orang Mapnan. Mereka mendapatkan hampir semua yang diperlukannya dari hutan. Bagi mereka, hutan bukan sekedar kumpulan tegakan pohon, tapi sumber kehidupan. ***3***

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Novi Abdi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2020