Balikpapan (ANTARA Kaltim) - Apakah pemerintah kabupaten/kota masih bisa mengalokasikan anggaran pendidikan untuk SMA/sederajat? Bisakah insentif bagi guru SMA/sederajat yang diterima selama ini dipertahankan? Bolehkah partisipasi masyarakat dilibatkan untuk pendanaan sekolah? Mengapa akreditasi tak dimasukkan dalam draf Raperda Penyelenggaraan Pendidikan? Bagaimana nasib guru honor yang telah sekian lama mengabdi?

Pertanyaan-pertanyaan di atas mengemuka dalam Uji Publik Raperda Penyelenggaraan Pendidikan yang digagas Komisi IV DPRD Kaltim di Hotel Bumi Senyiur, Balikpapan, Selasa (20/12). Tentu masih banyak lagi pertanyaan dalam acara yang berlangsung “panas” dan mengundang antusiasme tinggi dari mereka yang hadir.

"Raperda ini adalah jawaban atas UU No. 23/2014 yang  mengamanahkan wewenang pengelolaan pendidikan tingkat SMA/sederajat kini diambil alih Pemprov,” kata Ketua Pansus Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Zain Taufik Nurrohman saat membuka uji publik yang menghadirkan dua narasumber dari pusat, yakni Direktur Produk Hukum Daerah Ditjen Otda Kemendagri DR. Kurniasih dan Kabag Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Simul MH.

Atas pertanyaan-pertanyaan di atas, dua narasumber menjawab cukup lugas. Kurniasih menyebut, UU No.23/2014 mengatur pemkab/pemkot wajib membiayai pendidikan tingkat SD dan SMP. Tingkat SMA dan pendidikan khusus dibiayai pemprov. Tapi apakah insentif bagi guru SMA/sederajat yang selama ini didapat dari pemkot/pemkab masih bisa diperoleh? “Selama yang wajib sudah dipenuhi, bisa saja. Bagaimana teknisnya, tinggal diatur daerah. Misalnya ada MoU antara gubernur dengan bupati/wali kota,” kata Kurniasih.

Ia menambahkan, tak dapat dipungkiri, setelah pengelolaan SMA ditarik ke provinsi,  insentif guru justru menjadi kecil. Apalagi dalam kondisi keuangan pemerintah provinsi yang tengah defisit. Meski anggaran pendidikan tetap harus diprioritaskan minimal 20 persen.

Soal pelibatan partisipasi masyarakat, Kurniasih menyatakan, aturan tak melarang untuk tingkat SMA. Simul menambahkan, SMA didanai dengan dana alokasi khusus, Bosda dan APBD provinsi. Jika hal ini dirasa masih kurang, pelibatan masyarakat dimungkinkan. Hal ini bisa terakomodasi dalam perda dan teknisnya bisa dengan peraturan gubernur. “Berapa besarannya? Pemerintah daerah, orang tua siswa dan komite sekolah lebih tahu,” kata Simul dalam sesi dialog yang dimoderatori DR. Sofialeni.

Ia tak menampik, akan sulit mengharapkan kualitas pendidikan yang baik jika tak ada keberpihakan alokasi anggaran. Hal ini juga terakomodasi dalam draf raperda. Tentang akreditasi, Kurniasih menyebut, aturan menyatakan, akreditasi memang wewenang pemerintah pusat. Hal ini sesuai semangat menyeragamkan mutu pendidikan secara nasional.

Lalu bagaimana dengan nasib guru honor yang status kepegawaiannya mengambang? Belum lagi kenyataan, masih banyak gaji guru honor jauh di bawah UMP? Padahal jumlah guru honor lebih banyak dari guru berstatus PNS.

Simul menyatakan, pengangkatan tenaga guru dan kesehatan untuk saat ini masih diperbolehkan.

"Tidak ada moratorium. Silakan usulkan ke pusat (Men-PAN), tentu melalui SKPD terkait di daerah," katanya.

Ia menegaskan, pemerintah daerah tentu paling tahu kebutuhan guru, sehingga rekomendasi tentu diperhatikan pusat. “Yang jelas pengangkatan guru honor tak boleh oleh kepala sekolah. Harus kepala daerah,” katanya.

Raperda Penyelenggaraan Pendidikan direncanakan disahkan sebelum tahun 2016 berakhir, sehingga langsung diterapkan pada 2017, seiring tahun anggaran. Selain sebagian besar anggota DPRD Kaltim, uji publik kemarin dihadiri oleh praktisi pendidikan, LSM pendidikan, tokoh pemuda, masyarakat dan mahasiswa. (Humas DPRD Kaltim/adv)

Pewarta:

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016