Jakarta, 14/2 (Antara) - Kapusdatin dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho mengatakan bencana terus mengancam pada periode musim puncak hujan sepanjang Februari 2016.
"Banyak daerah yang masih dalam kawasan potensi tinggi banjir, longsor, dan puting beliung. Bukan berarti daerah-daerah lain sudah aman, ancaman juga tetap tinggi meskipun hujan lokal akan lebih berperan yang menyebabkan bencana," kata Sutopo di Jakarta, Minggu.
Februari, kata dia, adalah puncak musim hujan 2015/2016. Biasanya Januari merupakan puncak musim penghujan sehingga bencana banjir, longsor dan puting beliung juga paling banyak terjadi selama Januari.
Namun, pengaruh El Nino menyebabkan anomali dan selama Januari tebal hujan lebih rendah dan sebaran hujan tidak merata seperti biasanya.
"Diprediksikan intensitas hujan pada Februari tinggi hingga sangat tinggi, khususnya berpeluang terjadi di sebagian Sumbar, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, seluruh Jawa, Bali, NTB, NTT, Sulsel, Sulbar, Sulteng, Sultra, Papua dan Papua Barat," katanya.
Sesuai dengan data sejarah kebencanaan di Indonesia, kata dia, 96 persen bencana adalah bencana hidrometerorologi yaitu bencana yang disebabkan pengaruh cuaca seperti banjir, longsor, puting beliung, cuaca ektrem, kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan. Banjir, longsor dan puting beliung adalah jenis bencana yang paling dominan.
Trend kejadian ketiga jenis bencana tersebut, lanjut dia, terus meningkat dari tahun ke tahun. Dampak perubahan iklim global secara siginifikan telah merubah pola curah hujan, baik pada perubahan intensitas, durasi dan tebal hujan.
Dia mengatakan saat ini frekuensi hujan dengan intensitas tinggi semakin sering terjadi. Hal ini disebabkan volume awan-awan orografik telah bertambah besar volumenya sehingga uap air yang dikandung oleh awan-awan tersebut semakin besar juga.
"Meningkatnya suhu di atmosfer telah menyebabkan puncak-puncak awan orografik, khususnya awan Cumolonimbus telah makin tinggi sehingga energi yang ada dalam awan tersebut bertambah besar," katanya.
Makin tinggi intensitas hujan, kata dia, maka daya pukul terhadap permukaan tanah juga makin besar. Daya tampung dan daya dukung lingkungan tidak mampu mengalirkan aliran permukaan secara bersamaan sehingga terjadi banjir.
Hujan, kata dia, adalah pemicu terjadinya banjir dan longsor. Namun faktor yang paling berperan menyebabkan banjir dan longsor adalah factor antropogenik atau pengaruh ulah manusia. Makin rusaknya lingkungan seperti meluasnya lahan kritis, daerah aliran sungai kritis, rendahnya persentase ruang terbuka hijau dan hutan, berkembangnya permukiman di dataran banjir, pelanggaran tata ruang, buruknya pengelolaan sampah, sedimentasi, budidaya pertanian di lereng-lereng perbukitan atau pegunungan tanpa kaidah konservasi dan lainnya telah menyebabkan wilayah makin rentan terhadap banjir dan longsor.
Selama kurun 1 Januari 2016 hingga 12 Februari 2016, telah terjadi bencana banjir, longsor dan puting beliung di 290 kabupaten/kota di Indonesia. Dampak yang ditimbulkan 45 orang tewas, 48 orang luka-luka, ribuan rumah rusak dan banyak warga mengungsi. Ini adalah data sementara yang pasti akan meningkat karena pendataan saat darurat bencana seringkali belum dapat dilakukan dengan baik.
Pada periode yang sama terjadi 122 kejadian banjir melanda di 23 provinsi. Sebanyak 14 orang tewas, lebih dari 946 ribu jiwa mengungsi, 1.767 rumah rusak, puluhan ribu rumah terendam banjir dam 281 bangunan fasilitas umun rusak. Begitu pula dengan longsor, terjadi 65 kali di 12 provinsi yang menyebabkan 29 orang tewas, 11 orang luka, 1.319 orang mengungsi dan 387 rumah rusak. Puting beliung juga terjadi 103 kali di 17 provinsi yang menyebabkan dua orang tewas, 34 orang luka, 779 jiwa mengungsi dan 1.660 rumah rusak. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016