Dari kasus lahan bakal rumah sakit di Balikpapan Barat, ternyata hanya 1.860 meter persegi lahan yang bersertifikat dari klaim 5.100 meter persegi oleh Pemkot Balikpapan. Sebagian besar lahan adalah pesisir pantai dan laut. 

Menjelang pukul sembilan pagi Rabu 10 Juli 2024, muara Gang Perikanan di Jalan R Soeprapto, kawasan Kampung Baru Ulu, Balikpapan, ramai oleh personel Satuan Polisi Pamong Praja (Pol PP). Sebelumnya aparat berseragam cokelat kayu muda itu datang dengan bus dan pick up dinasnya.

“Mereka mau ketemu saya,” seloroh Kandarudin alias Haji Kandar, yang sedang memimpin anak buahnya memindahkan tumpukan kabel baja berdiameter seukuran lengan di depan gang itu, di lahan yang ditumbuhi tinggi rumput liar. Di bagian dekat tepi jalan ada bersisian dan bertumpuk setidaknya enam jangkar kapal. Setiap jangkar tinggi atau panjangnya tak kurang dari empat meter dan panjang lengan pengaitnya lebih kurang satu meter lebih. Berat setiap jangkar itu lebih dari dua ton. Barang-barang ini adalah milik dan bisnis Kandar. 

Di dekat tumpukan jangkar searah jalur Gang Perikanan, terbentang seutas rantai yang setiap matanya seukuran batubata. “Melihatnya saja sudah berat,” seloroh Syahril, jurnalis yang baru bergabung.

Jangkar kapal di lahan eksekusi (ANTARA/novi abdi)

Kemudian juga berdatangan puluhan polisi, dan satu regu polisi militer. Para kelompok aparat ini menempatkan dirinya bersama kelompoknya masing-masing dan tidak berbaur. Para Pol PP berkerumun di muara Gang Perikanan dan sebagian berdiri di jangkar-jangkar kapal.

Warga yang tertarik dengan keramaian itu, berkumpul dan memperhatikan dari seberang muara Gang Perikanan di Jalan R Soeprapto. Petugas dari Dinas Perhubungan Kota Balikpapan mengatur lalu lintas.   

“Satpol PP dan teman-teman aparat ini mengawal Panitera Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan melakukan constatering, mengukur dan memastikan lahan sengketa yang mau dieksekusi,” jelas Mauliddin, anggota DPRD Balikpapan 2014-19 yang rumahnya tak jauh dari gang itu.

Pukul sembilan lewat, Panitera pun datang. Munir Hamid SH MH berperawakan kecil namun gempal. Wajahnya merah terpapar sinar matahari. Di tangannya ada map yang berisi surat-surat, yang isinya segera dibacakannya di dalam tiga lapis lingkaran para anggota Pol PP, tak jauh dari muara Gang Perikanan, menghadap lahan tempat jangkar-jangkar itu ditumpuk.

Munir menegaskan bahwa status hukum lahan yang ada di depannya tersebut sudah inkrahct, yaitu oleh pengadilan terbukti legalitasnya sebagai milik Pemerintah Kota Balikpapan dan kehadiran panitera adalah untuk mengeksekusi lahan tersebut dari penguasaan Ismir Norwati, warga setempat. Sebelum eksekusi, panitera juga perlu menggelar constatering, yaitu melakukan penetapan batas, menaruh patok penanda, dan melakukan pengukuran luas.

Maka Munir dengan dikawal para Pol PP mendatangi pojok-pojoknya. Formasi pengawalan itu selintas mirip pasukan pembawa bendera di upacara peringatan hari kemerdekaan. Yang dibawa formasi ini, tentu saja, adalah tiang patok batas yang akan dipasang.

Sebelum Munir datang, posisi patok-patok itu sudah dipastikan bersama, melibatkan para pihak, termasuk warga yang lahannya berbatasan.

Titik terakhir yang didatangi Panitera adalah bagian pertemuan antara daratan dan perairan di Gang Perikanan tersebut.

Pada pukul sepuluh pagi, Teluk Balikpapan sedang pasang, dan air mencapai titik tertinggi, tepat berada di belakang dapur rumah-rumah warga yang sudah runtuh dan ditinggalkan saat pengosongan lahan tersebut di tahun 2022.

“Jadi di sini batasnya. Nah sudah lega saya, sudah jelas batasnya,” kata Kandarudin yang tak lain dan tak bukan adalah bagian dari keluarga Ismir Norwati. Patok di batas air itu menegaskan sertipikat Nomor 17/Kelurahan Baru Ulu hanya memberi alas hak pada lahan daratan dengan ukuran lebar 30 meter dan panjang 62 meter. Luasnya 1.860 meter persegi.

Kandarudin dan patok tanda batas lahan di dekat batas pantai dan laut (ANTARA/novi abdi)

Kandar pun menyesalkan rumah-rumah di atas air di luar lahan 1860 meter persegi yang sudah dirobohkan. “Seharusnya tunggu saja dulu batas-batasnya jelas,” kata Kandar, “Barulah setelah itu membangun atau mau apa.”

Seperti tertulis pada surat pemberitahuan PN Balikpapan kepada pengacara Andi Susilo Mujiono yang mewakili Ismir Norwati, constatering dan sita eksekusi pada Rabu 10 Juli 2024 itu memang atas lahan seluas 1860 meter persegi di RT 16 Jalan R Soeprapto dan Gang Perikanan tersebut.

Rumah-rumah yang sudah dibongkar yang disesalkan Kandar dan sejumlah warga, diketahui berada dalam luasan 5.100 meter persegi, luasan lain dari kawasan lahan tersebut yang diklaim Pemkot Balikpapan. Angka 5.100 berasal dari lebar 30 meter dan panjang dari muara Gang Perikanan hingga ke laut sepanjang 170 meter. Jadi memasukkan laut dan pantai di belakang lahan luasan 1.860.

“Sebab memang begitulah luas hibah yang diterima Pemkot dari Pemprov Kalimantan Timur,” jelas Asisten I Sekretaris Kota (Sekkot) Balikpapan Bidang Tata Pemerintahan Zulkifli yang berbicara pada kesempatan berbeda di tempat yang sama.   

Zulkifli yang sebelum jadi Asisten I Sekkot adalah Kepala Satpol PP menjelaskan bahwa constatering atau penetapan objek sengketa dan  pembacaan sita eksekusi hari itu adalah tindak lanjut dari putusan inkrahct dari  Mahkamah Agung (MA) pada gugatan tingkat kasasi dari Ismir Norwati.

"MA menolak gugatan tersebut, sehingga artinya sah aset ini milik Pemerintah Kota. Hari ini constatering dan pembacaan sita eksekusi, Juga  nanti diberi waktu kepada termohon eksekusi untuk mengosongkan lahan ini," ujar Zulkifli.

Menurut versi Pemkot, seperti dituturkan Zulkifli, lahan yang rencananya akan dibangun rumah sakit ini diperoleh Pemkot  Balikpapan dari hibah Provinsi Kalimantan Timur. Di lahan itu adalah kantor Dinas Perikanan Kelautan lengkap dengan kawasan laut di belakangnya yang digunakan sebagai tempat pendaratan ikan di masanya.

Kantor Dinas itu, sebuah bangunan konstruksi kayu di sisi barat lahan, masih ada walaupun sudah tak terpelihara.

Dalam dokumen hibah dari Pemprov disebutkan kawasan itu luasnya 30X170 meter atau 5.100 meter persegi yang diketahui meliputi lahan bangunan kantor, halamannya, pantai, dan perairan hingga 110 meter dari batas daratan. Menurut Zulkifli, dalam dokumen bertahun 1994, yang tampaknya bagian dari berkas permohonoan Sekretaris Daerah  Pemprov Kaltim kepada Kepala Kantor Badan Pertanahan Provinsi (BPN) Kalimantan Timur untuk menerbitkan sertifikat atas kawasan tersebut. 

"Oleh BPN dikabulkan hanya 30X62 meter atau dengan luasan 1.860 meter persegi. Hanya luasan itu yang disertifikat sebab hanya daratan yang boleh disertifikatkan,” papar Zulkifli. Demikian sebab pesisir pantai, juga pesisir laut, bukan merupakan obyek yang diatur Undang-Undang Pokok Agraria yang menjadi rujukan dan panduan kerja BPN. Kedua jenis pesisir itu diatur oleh UU Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Penataan Ruang, juga UU Lingkungan Hidup.

Sebab itu, Zulkifli melanjutkan, kepada Pemprov Kaltim disarankan mereklamasi terlebih dahulu pesisir pantai tersebut sehingga jadi satu kawasn lahan. Bila sudah ada lahannya, maka akan bisa disertifikatkan.

Lalu kini lahannya dihibahkan ke Pemkot Balikpapan, dan Pemkot ingin membangun rumah sakit di lahan tersebut, maka ada saran alternatif agar lahan perairan itu tetap bisa dimanfaatkan.

Asisten I Tata Pemerintahan Sekkot Balikpapan Zulkifli memperlihatkan peta bidang lahan yang dieksekusi. Tergambar juga di peta bidang kawasan laut yang menjadikan luas keseluruhan kawasan 5100 meter persegi. (ANTARA/novi abdi)

“Jadi tidak perlu direklamasi atau diurug dengan tanah, cukup dengan konstruksi tiang-tiang pancang,” ungkap Zulkifli. Seperti pada konstruksi dermaga atau pelabuhan, di atas tiang-tiang pancang ini bisa dibuat lantai beton tempat orang beraktivitas. Dalam hal ini bahkan dibangun rumah sakit. Bila sudah ada bangunan dan kegiatan, maka sertifikat yang sesuai bisa diterbitkan seperti terjadi pulau-pulau reklamasi di Teluk Jakarta.
 

Gugatan Perdata sampai MA

Dua tahun sebelum eksekusi ini, jurnalis bertemu dengan pengacara Ismir Norwati dan warga lainnya. “Kami sudah masukkan gugatan perdata,” kata pengacara warga Andi Susilo Mujiono, Kamis 28 Juli 2022. Bahkan, pada Senin (25/7} sudah digelar sidang perdana dengan agenda mediasi para pihak.

Dalam gugatan itu, Ismir Wati selaku perwakilan dari 7 keluarga yang tinggal di lokasi tanah tersebut menggugat mulai dari Gubernur Kalimantan Timur, Wali Kota Balikpapan, Kepala Satpol PP Balikpapan, Kepala Kantor Badan Pertanahan Negara (BPN)  Kota Balikpapan, dan Direktur Rumah Sakit Bersalin Sayang Ibu.

Penggugat menyatakan bahwa klaim lahan tersebut dimiliki oleh Pemkot Balikpapan sama sekali tidak berdasar.
Fakta hari ini dan fakta sejarah menyatakan bahwa lahan di Kampung Baru Ulu itu bukan lahan kosong tak berpenghuni. Fakta menegaskan bahwa masyarakat sudah hidup, tinggal, beraktivitas, menguasai lahan yang dimaksud secara turun temurun sejak tahun 1930an.

“Jadi bahkan sejak Republik Indonesia belum ada,” kata Kandarudin pada kesempatan itu seraya memperlihatkan segel bertanggal tahun 1937, yang secara itu secara otentik menyebutkan mengenai keadaan lahan dan nama-nama pemiliknya.

“Saya juga punya peta induk, peta yang jadi rujukan dari sejumlah lahan yang kemudian dibagi-bagi,” ungkap Kandar.

Bahkan, lanjut Pengacara Mujiono saat itu, bila Pemkot mengklaim memiliki bukti kepemilikan atau sertipikat atas lahan tersebut, maka sertipikat tersebut dibuat dengan diam-diam tanpa sepengetahuan mereka yang tinggal dan beraktivitas di dalamnya. Padahal syarat pembuatan sertipikat harus ada pengukuran yang disaksikan dan melibatkan semua yang berbatasan. Setelah itu juga ada pengumuman mengenai pembuatan sertipikat tersebut untuk diketahui khalayak.  

Pada proses persidangan, segel milik warga bukan tandingan sertipikat itu. Upaya banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung, tetap menyatakan lahan tersebut milik Pemkot Balikpapan.

Selain itu, sambil persidangan tuntutan ini berjalan Pemkot melakukan pembayaran terhadap sejumlah warga yang tinggal di rumah sewa di lahan tersebut. Wali Kota Rahmad Mas’ud menegaskan, bahwa uang yang disebut uang kerahiman itu bukan untuk membayar harga lahan, melainkan sekedar untuk ganti kerugian bangunan.

“Mereka penyewa ya senang saja. Bahkan bangunan pun bukan punya mereka, tapi dapat ganti rugi juga,” kata Kandar.

Menurut Kandar, para penyewa itu mendapatkan uang ganti rugi antara Rp36 juta hingga Rp86 juta. Hal yang sama juga mau diterapkan kepada Ismir Wati yang  ditolak tegas.

“Karena kami pemilik lahan. Kalau Pemkot memerlukan lahan ini, maka bukan ganti rugi sebutannya, tapi pembebasan lahan dengan harga yang pantas alias ganti untung,” tegas Kandar pada Juli 2022 tersebut. Pada tahun itu, harga penawaran untuk kawasan tersebut berkisar antara Rp1,6 sampai Rp1,8 juta per meter persegi.

Pada beberapa kesempatan juga Kandar menyebutkan bahwa pihaknya tidak menolak atau mempersulit niat Pemerintah Kota membangun rumah sakit di lahan itu nantinya. Ia membuktikan dengan menyebut eksekusi yang berlangsung lancar dan tanpa hambatan sama sekali. 

“Kami hanya membela hak kami atas lahan ini, yang adalah warisan orangtua kami. Faktanya kami punya segel yang lebih tua 50 tahun lebih dari sertipikat punya Pemkot,” kata Kandar.  

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2024