Wali Kota Balikpapan Rahmad Mas’ud berjanji menyampaikan penolakan para jurnalis Balikpapan atas revisi UU Penyiaran yang sedang dilakukan DPR RI.
“Wali Kota berjanji akan menyampaikannya langsung ke Presiden Jokowi,” kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Balikpapan Teddy Rumengan, Senin.
Presiden Jokowi dijadwalkan menghadiri rapat kerja nasional (rakernas) Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) di Balikpapan yang digelar 4-6 Juni ini.
Tidak hanya itu, pernyataan penolakan oleh para jurnalis juga diterima DPRD Balikpapan. Wakil Ketua DPRD Sabaruddin turut menandatangani, distempel DPRD Balikpapan, dikirim langsung via email ke Sekretariat DPR RI.
Teddy menjelaskan, penolakan jurnalis Balikpapan adalah seiring sejalan dengan aksi penolakan-penolakan serupa yang terjadi di seluruh Indonesia, Para jurnalis melihat revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tersebut akan memasukkan sejumlah pasal yang mengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi warga negara, dan karena itu juga bertentangan dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945.
“Contohnya Pasal 50B ayat (2) huruf (c) yang melarang penayangan eksklusif hasil produk jurnalistik investigasi,” kata Teddy. Padahal, jurnalisme investigasi adalah satu cara pers turut mengontrol kekuasaan agar tidak diselewengkan atau digunakan semena-mena.
Pers, lanjut Teddy, sebagai pilar demokrasi yang keempat, melakukan pemberitaan dengan disiplin verifikasi dan menaati sejumlah etika, sehingga setiap tayangan tak asal tayang.
“Kalau ada yang tidak setuju dengan pemberitaan pers, silakan memberikan hak jawab dengan menyampaikan fakta dan data,” tegasnya. Hal ini sudah diatur di UU Pers Nomor 40/1999.
Karena itu Pasal 50B ayat (2) huruf (k) yang melarang membuat konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik bisa menjadi pasal yang menjerat pembuat tayangan tentang pengungkapan kasus korupsi atau kasus kejahatan luar biasa.
“Takut diinvestigasi = Takut ketahuan ya?” bunyi satu poster yang dibawa para peserta aksi.
Di sisi lain, pasal 50B itu juga melanggar konstitusi karena melanggar hak warga negara untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah informasi seperti disebutkan Pasal 28F.
Ada pula pasal 8A ayat (1) huruf (q) dari rancangan revisi UU Penyiaran tersebut bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik. Padahal, jelas Teddy, kewenangan itu sudah dipegang Dewan Pers, lembaga yang dibentuk negara sebagai amanat UU Nomor 40/1999 tadi.
Juga ada pasal 34F ayat (2) huruf (e) mengatur penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lain, yang mewajibkan konten siarannya harus diverifikasi ke KPI dahulu, apakah sesuai Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS) atau tidak.
Termasuk yang diatur pasal 34F tersebut para pembuat konten (content creator) yang menyiarkan produknya lewat Youtube, TikTok, atau media serupa yang kontennya berasal dari pengguna (user generated content/UGC).
“Jadi pada akhirnya tidak hanya jurnalis yang berpotensi terkena pasal-pasal dari UU Penyiaran ini, tapi juga masyarakat secara umum. Bisa dibilang revisi itu berusaha untuk mengekang hak-hak warga negara demi keamanan segelintir orang,” tandas Teddy.
Para jurnalis beraksi di teras Gedung DPRD Balikpapan dengan berorasi. Bergantian wakil-wakil dari AJI, IJTI, dan PWI bersuara lantang di depan wakil rakyat menyampaikan keberatan atas revisi tersebut.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2024