Samarinda (ANTARA News Kaltim) - Empat terdakwa pembantai orangutan Kalimantan (pongo pygmaeus morio) divonis delapan bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Vonis tersebut dijatuhkan majelis hakim kepada keempat terdakwa pada sidang pembacaan putusan kasus pembantaian orangutan yang berlangsung di PN Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu sore.
Vonis hakim itu lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut satu tahun penjara kepada keempat terdakwa.
Manajer Area Centre for Orangutan Protection (COP) Kalimantan, Arfiana Khairunnisa kepada ANTARA, Rabu malam mengatakan, dengan vonis yang jauh di bawah ancaman maksimal tersebut, akan menjadi preseden buruk bagi penyelamatan satwa langka dan dilindungi tersebut.
"Semestinya, majelis hakim mengambil kesempatan untuk menyelamatkan orangutan yang telah menjadi sorotan dunia internasional. Dengan jatuhnya vonis yang jauh dari hukuman maksimal seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan hukuman penjara maksimal lima tahun dan denda Rp100 juta," ungkap Fian Khairunnisa.
Sehari sebelum pembacaan putusan itu, COP telah menggalang dukungan dengan berunjuk rasa di depan Kantor Pengadilan Negeri Tenggarong agar hakim menjatuhkan vonis maksimal kepada keempat terdakwa.
"Kami tidak tahu apa pertimbangan majelis hakim sehingga menjatuhkan hukuman jauh di bawah ketentuan hukum terkait upaya perlindungan satwa tersebut," kata Arfiana Khairunnisa.
Pada sidang pembacaan putusan kasus pembantaian orangutan tersebut, majelis hakim menjatuhkan vonis delapan bulan penjara dan denda Rp30 juta atau subsider enam bulan kurungan kepada Puah Chuan yang menjabat sebagai Senior Estate Manager Divisi Tengah dan Widiantoro sebagai Asisten Kepala Divisi Selatan, PT Khaleda Agroprima Malindo yang merupakan anak perusahaan asal Malaysia, Metro Kajang Holdings (MKH) Berhad.
Sementara, dua eksekutor di lapangan, Imam Muhtarom dan Mujianto juga divonis delapan bulan penjara dan denda Rp20 juta subsider enam bulan kurungan.
Unjuk rasa
Sehari sebelumnya, 13 aktivis COP menggelar unjuk rasa di depan Kantor Pengadilan Negeri Tenggarong Kutai Kartanegara.
Pada unjuk rasa itu, para aktivis COP yang menggelar aksi teatrikal dengan cara menggunakan kostum orang utan sambil membawa timbangan dengan mata ditutup kain putih yang melambangkan `Dewi Themis` (dewi keadilan dalam mitologi Yunani).
COP juga membentangkan spanduk bertuliskan "Jangan Takut pada Malaysia dan Orangufriends" sebagai bentuk dukungan penuh pada hakim untuk memberikan vonis hukuman maksimal bagi pembantai orangutan.
"Aksi ini kami lakukan sebagai bentuk dukungan kepada majelis hakim agar menjatuhkan hukuman maksimal kepada empat terdakwa yang melakukan pembantaian terhadap orangutan," kata juru kampanye COP, Michel Irarya.
Sebelumnya, pengamat hukum dari Universitas Mulawarman Samarinda, La Sina menilai tuntutan satu tahun penjara terhadap terdakwa pembantaian orangutan Kalimantan (pongo pygmaeus morio) terlalu ringan.
"Saya menilai tuntutan jaksa, yakni penjara selama satu tahun bagi terdakwa terlalu ringan, apalagi periode pembantaian itu berlangsung cukup lama dan hewan yang diburu hingga dibunuh tersebut merupakan satwa langka yang dilindungi," kata La Sina.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda itu berpendapat semestinya jaksa penuntut umum (JPU) menerapkan tuntutan maksimal kepada empat terdakwa pembantai orangutan tersebut.
"Jika melihat latar belakang pembantaian orangutan itu, saya melihat kasus ini dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Jadi, semestinya jaksa menerapkan tuntutan maksimal sebab jika hanya dituntut satu tahun penjara dikhawatirkan vonisnya hanya sepertiga dari tuntutan itu bahkan bisa langsung bebas," kata La Sina.
Penegakan hukum terkait dengan kasus pembantaian orangutan itu, lanjut dia, diharapkan menjadi "shock terapy" (pembelajaran) bagi perusahaan, khususnya perkebunan kelapa sawit.
"Selama ini, banyak terjadi konflik orangutan terjadi dengan pihak perusahaan perkebunan sawit sehingga kasus ini diharapkan menjadi pembelajaran agar pihak perusahaan tidak memperlakukan satwa langka dan dilindungi itu sebagai hama kemudian diburu dan dibantai," ungkap La Sina.
Kasus pembantaian orang utan di kawasan perusahaan perkebunan sawit PT KAM di Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, itu terungkap pada bulan November 2011.
Polisi yang awalnya mengalami kesulitan mengungkap pembantaian orangutan tersebut akibat minimnya bukti. Akhirnya menetapkan lima tersangka setelah ditemukan foto dan kerangka orang utan yang diduga hasil pembantaian.
Keempat terdakwa dijerat Pasal 21 Ayat (2) Huruf a juncto Pasal 40 Ayat (2) Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dengan ancaman hukuman lima tahun penjara dan denda Rp100 juta. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012
Vonis tersebut dijatuhkan majelis hakim kepada keempat terdakwa pada sidang pembacaan putusan kasus pembantaian orangutan yang berlangsung di PN Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu sore.
Vonis hakim itu lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut satu tahun penjara kepada keempat terdakwa.
Manajer Area Centre for Orangutan Protection (COP) Kalimantan, Arfiana Khairunnisa kepada ANTARA, Rabu malam mengatakan, dengan vonis yang jauh di bawah ancaman maksimal tersebut, akan menjadi preseden buruk bagi penyelamatan satwa langka dan dilindungi tersebut.
"Semestinya, majelis hakim mengambil kesempatan untuk menyelamatkan orangutan yang telah menjadi sorotan dunia internasional. Dengan jatuhnya vonis yang jauh dari hukuman maksimal seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan hukuman penjara maksimal lima tahun dan denda Rp100 juta," ungkap Fian Khairunnisa.
Sehari sebelum pembacaan putusan itu, COP telah menggalang dukungan dengan berunjuk rasa di depan Kantor Pengadilan Negeri Tenggarong agar hakim menjatuhkan vonis maksimal kepada keempat terdakwa.
"Kami tidak tahu apa pertimbangan majelis hakim sehingga menjatuhkan hukuman jauh di bawah ketentuan hukum terkait upaya perlindungan satwa tersebut," kata Arfiana Khairunnisa.
Pada sidang pembacaan putusan kasus pembantaian orangutan tersebut, majelis hakim menjatuhkan vonis delapan bulan penjara dan denda Rp30 juta atau subsider enam bulan kurungan kepada Puah Chuan yang menjabat sebagai Senior Estate Manager Divisi Tengah dan Widiantoro sebagai Asisten Kepala Divisi Selatan, PT Khaleda Agroprima Malindo yang merupakan anak perusahaan asal Malaysia, Metro Kajang Holdings (MKH) Berhad.
Sementara, dua eksekutor di lapangan, Imam Muhtarom dan Mujianto juga divonis delapan bulan penjara dan denda Rp20 juta subsider enam bulan kurungan.
Unjuk rasa
Sehari sebelumnya, 13 aktivis COP menggelar unjuk rasa di depan Kantor Pengadilan Negeri Tenggarong Kutai Kartanegara.
Pada unjuk rasa itu, para aktivis COP yang menggelar aksi teatrikal dengan cara menggunakan kostum orang utan sambil membawa timbangan dengan mata ditutup kain putih yang melambangkan `Dewi Themis` (dewi keadilan dalam mitologi Yunani).
COP juga membentangkan spanduk bertuliskan "Jangan Takut pada Malaysia dan Orangufriends" sebagai bentuk dukungan penuh pada hakim untuk memberikan vonis hukuman maksimal bagi pembantai orangutan.
"Aksi ini kami lakukan sebagai bentuk dukungan kepada majelis hakim agar menjatuhkan hukuman maksimal kepada empat terdakwa yang melakukan pembantaian terhadap orangutan," kata juru kampanye COP, Michel Irarya.
Sebelumnya, pengamat hukum dari Universitas Mulawarman Samarinda, La Sina menilai tuntutan satu tahun penjara terhadap terdakwa pembantaian orangutan Kalimantan (pongo pygmaeus morio) terlalu ringan.
"Saya menilai tuntutan jaksa, yakni penjara selama satu tahun bagi terdakwa terlalu ringan, apalagi periode pembantaian itu berlangsung cukup lama dan hewan yang diburu hingga dibunuh tersebut merupakan satwa langka yang dilindungi," kata La Sina.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda itu berpendapat semestinya jaksa penuntut umum (JPU) menerapkan tuntutan maksimal kepada empat terdakwa pembantai orangutan tersebut.
"Jika melihat latar belakang pembantaian orangutan itu, saya melihat kasus ini dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Jadi, semestinya jaksa menerapkan tuntutan maksimal sebab jika hanya dituntut satu tahun penjara dikhawatirkan vonisnya hanya sepertiga dari tuntutan itu bahkan bisa langsung bebas," kata La Sina.
Penegakan hukum terkait dengan kasus pembantaian orangutan itu, lanjut dia, diharapkan menjadi "shock terapy" (pembelajaran) bagi perusahaan, khususnya perkebunan kelapa sawit.
"Selama ini, banyak terjadi konflik orangutan terjadi dengan pihak perusahaan perkebunan sawit sehingga kasus ini diharapkan menjadi pembelajaran agar pihak perusahaan tidak memperlakukan satwa langka dan dilindungi itu sebagai hama kemudian diburu dan dibantai," ungkap La Sina.
Kasus pembantaian orang utan di kawasan perusahaan perkebunan sawit PT KAM di Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, itu terungkap pada bulan November 2011.
Polisi yang awalnya mengalami kesulitan mengungkap pembantaian orangutan tersebut akibat minimnya bukti. Akhirnya menetapkan lima tersangka setelah ditemukan foto dan kerangka orang utan yang diduga hasil pembantaian.
Keempat terdakwa dijerat Pasal 21 Ayat (2) Huruf a juncto Pasal 40 Ayat (2) Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dengan ancaman hukuman lima tahun penjara dan denda Rp100 juta. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012