Balikpapan (ANTARA News Kaltim) - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Timur Isal Wardhana meminta Kementerian Lingkungan Hidup penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup (proper) perusahaan di Tanah Air.
"Sebab sistem penilaian tidak transparan, tidak partisipatif, dan tidak akuntabel," tegas Isal yang saat dihubungi berada di Jakarta, Kamis.
Program penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup (proper) adalah program unggulan Kementerian Lingkungan Hidup.
Proper bertujuan memberi penghargaan dan mendorong perusahaan taat kepada peraturan-peraturan berkenaan lingkungan hidup dalam menjalankan proses produksi barang dan jasa, kemudian menerapkan manajemen lingkungan, hemat energi, memelihara manfaat (konservasi) sumberdaya, dan menjalankan bisnis yang beretika, dan peduli kepada masyarakat di sekitar unit kerjanya dengan menjalankan program pengembangan masyarakat.
Namun demikian, kata Isal Wardhana, selama 10 tahun penyelenggaran proper, kegiatan ini kemudian menjadi hanya kegiatan rutin tahunan dengan sistem penilaian yang tidak akuntabel, tidak transparan dan tidak partisipatif atau tidak melibatkan orang banyak.
Penolakan Isal dan Walhi Kaltim menjadi bagian dari gelombang penolakan yang sudah dimulai sejak akhir November lalu.
Karena penilaian yang tidak tidak transparan itu, menurut Isal, menurunkan kredibilitas Kementerian LH sendiri, sebab hasil penilaian kemudian justru tidak mencerminkan kondisi nyata di lapangan.
"Masih banyak perusahaan yang tidak sepenuhnya layak untuk naik peringkat karena tata kelola lingkungan di lapangan tidak cukup baik," tegasnya.
Oleh sebab itu, Isal mengatakan, Kementerian LH perlu menjelaskan secara terbuka apa saja indikator penilaian, dan kemudian juga melibatkan (partisipatif) masyarakat.
Selama ini, kata Isal, bagaimana mekanisme agar masyarakat bisa ikut memberikan pendapat belum diumumkan secara luas dan jelas.
Menurut Isal, dengan penilaian yang transparan, melibatkan banyak orang, maka hasil penilaian itu akan akuntabel dan memiliki kredibilitas.
Bila Proper dikembalikan kepada tujuan awalnya, kata Isal, maka akan tercipta standar lingkungan hidup yang bisa diketahui dan bisa diakses publik secara luas.
Tahun ini lima perusahaan mendapatkan kategori emas atau kategori sangat baik. Mereka adalah PT Holcim Tbk-Cilacap Plant, PT Pertamina Geothermal Area Kamojang, Chevron Geothermal Salak Ltd, PT Medco E&P-Rimau Asset, dan PT Badak NGL yang mengolah gas menjadi cairan.
PT Kaltim Prima Coal, perusahaan tambang batubara terbesar di Indonesia yang menambang di Kutai Timur, dan kemudian juga Berau Coal yang menambang di Berau, adalah langganan proper dan mendapat kategori hijau.
Disebutkan bahwa perusahaan tambang minyak dan gas serta industri pengolahannya memang umumnya bersih dan memiliki standar tinggi pengelolaan lingkungan.
"Yang membuat masalah biasanya tambang-tambang batubara," demikian Isal. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2011
"Sebab sistem penilaian tidak transparan, tidak partisipatif, dan tidak akuntabel," tegas Isal yang saat dihubungi berada di Jakarta, Kamis.
Program penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup (proper) adalah program unggulan Kementerian Lingkungan Hidup.
Proper bertujuan memberi penghargaan dan mendorong perusahaan taat kepada peraturan-peraturan berkenaan lingkungan hidup dalam menjalankan proses produksi barang dan jasa, kemudian menerapkan manajemen lingkungan, hemat energi, memelihara manfaat (konservasi) sumberdaya, dan menjalankan bisnis yang beretika, dan peduli kepada masyarakat di sekitar unit kerjanya dengan menjalankan program pengembangan masyarakat.
Namun demikian, kata Isal Wardhana, selama 10 tahun penyelenggaran proper, kegiatan ini kemudian menjadi hanya kegiatan rutin tahunan dengan sistem penilaian yang tidak akuntabel, tidak transparan dan tidak partisipatif atau tidak melibatkan orang banyak.
Penolakan Isal dan Walhi Kaltim menjadi bagian dari gelombang penolakan yang sudah dimulai sejak akhir November lalu.
Karena penilaian yang tidak tidak transparan itu, menurut Isal, menurunkan kredibilitas Kementerian LH sendiri, sebab hasil penilaian kemudian justru tidak mencerminkan kondisi nyata di lapangan.
"Masih banyak perusahaan yang tidak sepenuhnya layak untuk naik peringkat karena tata kelola lingkungan di lapangan tidak cukup baik," tegasnya.
Oleh sebab itu, Isal mengatakan, Kementerian LH perlu menjelaskan secara terbuka apa saja indikator penilaian, dan kemudian juga melibatkan (partisipatif) masyarakat.
Selama ini, kata Isal, bagaimana mekanisme agar masyarakat bisa ikut memberikan pendapat belum diumumkan secara luas dan jelas.
Menurut Isal, dengan penilaian yang transparan, melibatkan banyak orang, maka hasil penilaian itu akan akuntabel dan memiliki kredibilitas.
Bila Proper dikembalikan kepada tujuan awalnya, kata Isal, maka akan tercipta standar lingkungan hidup yang bisa diketahui dan bisa diakses publik secara luas.
Tahun ini lima perusahaan mendapatkan kategori emas atau kategori sangat baik. Mereka adalah PT Holcim Tbk-Cilacap Plant, PT Pertamina Geothermal Area Kamojang, Chevron Geothermal Salak Ltd, PT Medco E&P-Rimau Asset, dan PT Badak NGL yang mengolah gas menjadi cairan.
PT Kaltim Prima Coal, perusahaan tambang batubara terbesar di Indonesia yang menambang di Kutai Timur, dan kemudian juga Berau Coal yang menambang di Berau, adalah langganan proper dan mendapat kategori hijau.
Disebutkan bahwa perusahaan tambang minyak dan gas serta industri pengolahannya memang umumnya bersih dan memiliki standar tinggi pengelolaan lingkungan.
"Yang membuat masalah biasanya tambang-tambang batubara," demikian Isal. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2011