Samarinda (Antaranews Kaltim) - Pegiat lingkungan di Provinsi Kalimantan Timur membeberkan buruknya kualitas air Sungai Karang Mumus di Samarinda dalam lomba tingkat nasional Komunitas Peduli Sungai di Surabaya pada 3-4 Mei 2018 dengan harapan adanya solusi untuk perbaikan.

"Sebenarnya SKM sejak 20 tahun lalu sudah menjadi perbincangan pemerintah daerah dalam upaya pemulihan dan menjaga kebersihan," ujar Koordinator Umum Gerakan Memungut Sehelai Sampah (GMSS) SKM Samarinda Yustinus Sapto Hardjanto yang dihubungi dari Samarinda, Kamis.

Hal itu dikatakan Yustinus dari Gubeng, Surabaya, sesaat sebelum ia mempresentasikan materi terkait dengan lomba tingkat nasional yang dipusatkan di Hotel Santika Premiere Surabaya.

Terdapat 34 provinsi yang mendapat undangan lomba itu, sedangkan dari Kaltim ada tiga komunitas yang mengikuti.

Yustinus mengatakan bahwa upaya perbaikan yang dilakukan sejak 20 tahun lalu untuk menjaga kebersihan sungai dan keindahan kota, dimulai dari intervensi pertama lewat program kali bersih (prokasih) yang berlanjut dengan normalisasi dalam bentuk relokasi warga dan pembangunan sungai.

Meski selalu masuk dalam prioritas pembangunan, SKM justru makin hari makin buruk kualitasnya. Dari sisi ruang dan lahan, penggunaan ruang dan lahan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Karang Mumus tidak berkesesuaian.

Pada bagian hulu yang seharusnya berfungsi sebagai area tangkapan air dan resapan, penggunaan terbesar justru untuk kawasan pertambangan batu bara, sehingga limbah dari aktivitas tambang itu merusak kualitas air sungai.

Pada bagian tengah, ruang dan lahan sungai dikonversi menjadi permukiman dan pertanian atau perladangan lahan kering dan terbuka, sedangkan bagian hilir lebih banyak untuk permukiman dan ruang usaha, sehingga DAS yang seharusnya dijaga, kini telah musnah karena menjadi tanah kapling dan peruntukan lain.

"DAS seharusnya dilindungi oleh hutan minimal 30 persen dari luas wilayahnya. Samarinda adalah salah satu kota di Kaltim yang dikenal sebagai pemilik hutan topis luas, namun nyaris tidak punya hutan kota. Luas hutan di Samarinda tidak lebih dari satu persen luas wilayahnya," tutur Yus.

Kondisi itu makin diperparah dengan maraknya konversi rawa menjadi daratan karena diuruk untuk dibuat bangunan, sehingga ketika hujan Samarinda mengalami banjir karena sebenarnya Samarinda merupakan kawasan banyak rawa yang menjadi tangkapan air.

"Banyak solusi yang ditawarkan GMSS-SKM untuk kebersihan, keindahan sejati, dan mengembalikan fungsi sungai seperti memberikan pemahaman dan mengajak warga tidak buang limbah ke sungai, menanam, dan memelihara pohon dalam DAS, dan minta pemerintah tidak membiarkan warga menguruk rawa serta merusak DAS," ucap Yus. (*)
Baca juga: Tiga komunitas peduli sungai ikuti lomba nasional
Baca juga: Pegiat lingkungan: rawa bukan lahan tidur
Baca juga: Layanan ekosistem untuk benahi SKM Samarinda

Pewarta: M.Ghofar

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018