Samarinda (Antaranews Kaltim) - Pakar pemberdayaan masyarakat Provinsi Kaltim menawarkan solusi untuk meningkatkan hasil pertanian padi yang hingga kini belum mampu swasembada, sehingga Kaltim masih mendatangkan beras dari luar daerah seperti dari Sulawesi dan Jawa.
"Ada beberapa solusi untuk mencapai swasembada beras, salah satunya adalah pemerintah provinsi atau kabupaten/kota bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk memberdayakan mahasiswa pertanian," ujar pakar pemberdayaan Kaltim, Musa Ibrahim di Samarinda, Rabu.
Musa yang juga Staf Ahli Bupati Mahakam Ulu ini menjelaskan, pola kerja sama yang dilakukan adalah pemda mengalokasikan lahan seluas 1-2 hektare per mahasiswa untuk ditanami padi atau jenis tanaman pangan lain yang sesuai dengan program yang digeluti.
Pola yang diterapkan dalam pengelolaan lahan bisa berupa pinjam pakai atau sesuai perjanjian bersama antara kepala daerah dengan pihak perguruan tinggi, karena sifatnya elastis dan harus menguntungkan masing-masing pihak.
Dari lahan pertanian yang disiapkan tersebut, lanjutnya, mahasiswa pertanian diminta menggarap lahan mulai semester IV, sekaligus sebagai lahan praktik dari teori yang diberikan dosen sebelumnya, sehingga sampai semester VII mahasiswa bisa mendalami secara teoritis, praktik lapangan, sekaligus belajar bertani secara riil.
Untuk menentukan kelulusan, salah satu poin penting adalah tingkat keberhasilan mahasiswa menghasilkan padi per hektarnya, semakin banyak dan berkualitas panen, maka semakin tinggi pula nilai yang didapat mahasiswa.
Hal penting yang perlu menjadi catatan, lanjut Musa, adalah peningkatan hasil produksi dari petani konvensional, yakni jika masyarakat petani menghasilkan rata-rata 5 kuintal per hektare, maka calon sarjana pertanian hendaknya bisa memproduksi 6 kuintal per hektare, karena adanya perpaduan antara akademik dan praktik lapangan.
"Cara ini juga untuk menjawab keluhan masyarakat yang meremehkan perguruan tinggi atau fakultas pertanian karena hanya mampu mencetak sarjana pintar omong, tapi nol di lapangan. Sebab begitu lulus, ternyata tidak ada yang bisa bertani, bahkan banyak lulusan pertanian yang kerjanya tidak berkorelasi dengan ilmu yang dipelajari sebelumnya," kata Musa.
Keuntungan dari program ini, katanya, mahasiswa akan terbiasa dengan bertani dan berinovasi karena dalam teori terkadang bisa berbeda ketika berada di lapangan atau ketika langsung berhadapan dengan pekerjaan yang dihadapi, baik terkait kondisi lingkungan maupun sarana dan prasarana produksi (saprodi).
Ia melanjutkan, program ini akan terus bergulir hingga ke adik tingkatnya, sehingga ketika ada yang lulus, maka terjadi peralihan dan transfer ilmu pertanian.
Sedangkan bagi yang lulus dan dinyatakan berhasil bercocok tanam, maka pemerintah harus memfasilitasi untuk mendapatkan kredit usaha rakyat dari perbankan sebagai pengembangan pertanian mandiri.
"Target tingkat keberhasilan tidak harus 100 persen karena masih tahap awal. Katakanlah 50 persen saja tingkat keberhasilannya, maka jika rata-rata tiap kabupaten/kota ada 500 hektare yang berhasil, berarti Kaltim mendapat tambahan 30 ton per panen dengan asumsi produksinya 6 kuintal gabah kering giling per hektare," katanya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018
"Ada beberapa solusi untuk mencapai swasembada beras, salah satunya adalah pemerintah provinsi atau kabupaten/kota bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk memberdayakan mahasiswa pertanian," ujar pakar pemberdayaan Kaltim, Musa Ibrahim di Samarinda, Rabu.
Musa yang juga Staf Ahli Bupati Mahakam Ulu ini menjelaskan, pola kerja sama yang dilakukan adalah pemda mengalokasikan lahan seluas 1-2 hektare per mahasiswa untuk ditanami padi atau jenis tanaman pangan lain yang sesuai dengan program yang digeluti.
Pola yang diterapkan dalam pengelolaan lahan bisa berupa pinjam pakai atau sesuai perjanjian bersama antara kepala daerah dengan pihak perguruan tinggi, karena sifatnya elastis dan harus menguntungkan masing-masing pihak.
Dari lahan pertanian yang disiapkan tersebut, lanjutnya, mahasiswa pertanian diminta menggarap lahan mulai semester IV, sekaligus sebagai lahan praktik dari teori yang diberikan dosen sebelumnya, sehingga sampai semester VII mahasiswa bisa mendalami secara teoritis, praktik lapangan, sekaligus belajar bertani secara riil.
Untuk menentukan kelulusan, salah satu poin penting adalah tingkat keberhasilan mahasiswa menghasilkan padi per hektarnya, semakin banyak dan berkualitas panen, maka semakin tinggi pula nilai yang didapat mahasiswa.
Hal penting yang perlu menjadi catatan, lanjut Musa, adalah peningkatan hasil produksi dari petani konvensional, yakni jika masyarakat petani menghasilkan rata-rata 5 kuintal per hektare, maka calon sarjana pertanian hendaknya bisa memproduksi 6 kuintal per hektare, karena adanya perpaduan antara akademik dan praktik lapangan.
"Cara ini juga untuk menjawab keluhan masyarakat yang meremehkan perguruan tinggi atau fakultas pertanian karena hanya mampu mencetak sarjana pintar omong, tapi nol di lapangan. Sebab begitu lulus, ternyata tidak ada yang bisa bertani, bahkan banyak lulusan pertanian yang kerjanya tidak berkorelasi dengan ilmu yang dipelajari sebelumnya," kata Musa.
Keuntungan dari program ini, katanya, mahasiswa akan terbiasa dengan bertani dan berinovasi karena dalam teori terkadang bisa berbeda ketika berada di lapangan atau ketika langsung berhadapan dengan pekerjaan yang dihadapi, baik terkait kondisi lingkungan maupun sarana dan prasarana produksi (saprodi).
Ia melanjutkan, program ini akan terus bergulir hingga ke adik tingkatnya, sehingga ketika ada yang lulus, maka terjadi peralihan dan transfer ilmu pertanian.
Sedangkan bagi yang lulus dan dinyatakan berhasil bercocok tanam, maka pemerintah harus memfasilitasi untuk mendapatkan kredit usaha rakyat dari perbankan sebagai pengembangan pertanian mandiri.
"Target tingkat keberhasilan tidak harus 100 persen karena masih tahap awal. Katakanlah 50 persen saja tingkat keberhasilannya, maka jika rata-rata tiap kabupaten/kota ada 500 hektare yang berhasil, berarti Kaltim mendapat tambahan 30 ton per panen dengan asumsi produksinya 6 kuintal gabah kering giling per hektare," katanya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018