Pagi jelang siang itu mentari enggan menampakkan diri. Ini karena hujan subuh tadi masih menyisakan mendungnya. Tiga unit perahu kayu yang masing-masing berpenumpang 4-5 orang berayun lembut oleh gelombang kecil dari kapal bermuatan pasir yang baru melintasi mereka.

       
Itulah pemandangan di Sungai Karang Mumus (SKM) Samarinda, Kalimantan Timur. Sebuah sungai yang airnya masih digunakan oleh warga dan perusahaan air minum, tapi di sisi lain juga dijadikan tempat pembuangan sampah, perabotan rumah tangga bekas, bahkan tinja.

       
Tiba-tiba terdengar teriakan dari penumpang di salah satu perahu "Dasar bangkai lu! Muncul lagi, muncul lagi". Sontak 12 pasang mata yang sedang memungut sampah di sungai itu menghentikan aktivitas mereka dan spontan menoleh ke sumber suara.

       
Suara dengan nada kesal itu meluncur dari bibir Yustinus Sapto Hardjanto, salah seorang warga dari puluhan warga lain yang gencar membersihkan SKM dari sampah yang dibuang warga, baik mereka yang tinggal di bantaran SKM maupun warga yang tinggal jauh dari SKM.

       
12 pasang mata yang sontak menoleh ke arah Yustinus itu antara lain dokter Bahrul Huda, Khairil Marjuki Tanjung, Isam Akvin, Keinan Harjanie, Dilla Chori, Nurhamidah, Iyau Tupang, Krisdiyanto, Alluvia H Anggraini, dan Zee.

       
"Ada apa, Bang Yus?," tanya Dilla heran karena tidak biasanya Yustinus bersuara nyaring begitu. Sejak tahun lalu Yustinus rajin memungut sampah bersama puluhan orang lain yang peduli terhadap lingkungan, terutama SKM sehingga ia mereka sudah sering memungut berbagai jenis dan aneka bangkai yang dibuang warga ke sungai.

       
"Lihat saja itu, kita dapat hadiah bangkai ayam lagi," jawab Yustinus sambil menunjuk ke arah hulu sungai. Semua mata pun mengalihkan pandangan searah telunjuk Yustinus. Tampak tiga ekor bangkai ayam potong mengambang dan mendekati mereka dibawa aliran sungai yang tidak deras.

       
Suara Yustinus siang itu beda dari hari-hari lain karena ada dua hal yang dipikirkan. Pertama karena tidak biasanya sekaligus tiga bangkai ayam terlihat bersamaan.

       
Kedua adalah karena ia merasa kebodohan warga yang tidak paham fungsi sungai karena selalu dijadikan tempat sampah, padahal mereka masih memanfaatkan sungai itu untuk mandi, gosok gigi, dan kebutuhan lain.

       
Setelah mengetahui bangkai ayam yang dibuang warga, mereka kembali memungut sampah yang tersangkut di palung persis di bawah Jembatan Kehewanan sambil berdiskusi bagaimana caranya agar rumah pemotongan ayam di Pasar Segiri tidak membuang bangkai ayam dan limbah lainnya ke sungai.

       
Mereka yakin bahwa ratusan kali bangkai ayam yang hanyut ke sungai merupakan bangkai berasal dari rumah potong tersebut, karena tidak ada warga di bantaran SKM yang memelihara ayam potong.

       
Apalagi di Pasar Segiri Samarinda terdapat belasan rumah potong ayam, sehingga keyakinan mereka bertambah kuat bahwa bangkai ayam itu berasal dari sana.

       
Keyakinan lainnya adalah banyaknya bulu ayam potong yang dibuang ke sungai baik bulu ayam yang sudah dimasukkan ke kantong sampah maupun dibuang terhambur begitu saja. Sering pula mereka mendapati satu karung goni yang hanya berisi bulu ayam.

       
"Tidak mungkin seringnya bangkai ayam dan berkarung-karung bulu ayam ini berasal dari rumah tangga, ini pasti dari rumah potong ayam di Pasar Segiri. Kalau sampah rumah tangga pasti hanya sedikit dan tidak mungkin tiap hari ada ayam warga mati," tegas Yus.

       
Para pemungut sampah di perahu itu sepakat, namun mereka tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan kebiadaban mereka yang sering membuang apa saja ke sungai, karena ini adalah tugas pemerintah.

        
Mereka hanya sanggup mengangkat bangkai dan sampai dari sungai yang kemudian dibuang ke tempat sampah. Mereka hanya mampu mengkampanyekan larangan membuang sampah ke sungai, dan mereka hanya mampu mendidik serta menyindir warga yang sering membuang apa saja ke sungai melalui gerakan memungut sampah.

        
                                 
Gila
  
Gerakan memungut sampah di SKM berawal dari aktivitas seseorang yang namanya cukup pendek, Misman. Bapak dengan usia 57 tahun dan memiliki dua anak ini mulai memungut sampah di SKM pada Juni 2015.

       
Saat itu, tiap sore setelah pulang kerja sebagai penillik sekolah di Kota Samarinda, ia selalu menyempatkan waktu merawat SKM dengan cara memungut, bukan menghanyutkan sampah yang tersangkut. Jika hari libur waktu yang dimanfaatkan merawat sungai menjadi lebih banyak, yakni pada pagi hingga sore.

       
Aktivitas Misman saat itu memang unik, bahkan terlalu aneh karena bertentangan dengan budaya warga Samarinda yang selalu membuang sampah ke sungai, terutama mereka yang tinggal di bantaran SKM.

       
Kebiasaan aneh dan melawan budaya inilah  kemudian banyak warga yang menganggap Misman sudah gila. Alasan sebutan gila karena ribuan orang tiap hari membuang aneka sampah ke sungai, sementara Misman tak terpengaruh dengan mereka dan tetap memungut apa saja yang dibuang, tentu apa yang dipungut sesuai dengan kemampuan tenaganya.

       
Meski ia tahu dianggap gila, namun Misman tak peduli, aktivitasnya tetap berlanjut. Baginya, orang yang menganggap gila karena mereka tidak memahami peran dan fungsi sungai. Mungkin juga mereka tak paham bahwa Tuhan menciptakan sungai untuk kelangsungan hidup manusia dan makhluk lain yang hidup di air yang sebenarnya makhluk itu juga untuk manusia.

       
Misman juga sempat mendapat amarah dari Ketua RT 07 Kelurahan Sungai Pinang Luar, Bachtiar. Ketua RT ini di lingkungannya lebih dikenal dengan panggilan Iyau Tupang.

       
Bachtiar saat itu marah karena di bibir sungai di lingkungan RT-nya tertumpuk beberapa kantong plastik sampah, namun ia tidak tahu siapa yang meletakkan sampah karena Misman kembali ke pinggiran sungai untuk mengumpulkan sampah lagi.

      
 "Waktu itu aku marah karena lokasi itu baru kusapu, eh tiba-tiba banyak sampah bau. Jadi kutunggui siapa yang buang ke situ. Setengah jam kemudian datang orang meletakkan dua kantong sampah di situ. Jadi aku yakin, pasti ini orangnya," kenang Iyau Tupang.

      
Saat ditegur, Misman memberi penjelasan bahwa sampah yang ditaro itu hanya sementara, karena untuk selanjutnya akan dibuang ke tempat pembuangan sementara (tps).

       
Saat itu Misman juga menjelaskan kepada Iyau Tupang bahwa apa yang dilakukan ini merupakan sindiran kepada warga yang suka membuang sampah ke sungai, karena sungai harus dijaga kebersihannya, bukan mala dijadikan tempat sampah.

       
Hilang amarah Iyau saat itu, keesokan harinya ia justru membantu Misman memungut sampah di SKM, jadilah Iyau Tupang menjadi orang pertama yang mengikuti jejak Misman.

    
                
GMSS-SKM
  
Setelah Iyau menjadi orang pertama yang sadar pentingnya sebuah sungai, dari hari ke hari semakin banyak pula yang berminat merawat SKM sehingga ratusan orang saat itu secara bergantian memungut sampah.

       
Semakin lama semakin bertambah jumlah anggota, kemudian Misman dan kawan-kawan merasa perlu membentuk LSM untuk menaungi aktivitas ini. Akhirnya disepakati nama LSM Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM).

       
Nama memungut muncul karena gerakan ini tidak membersihkan sungai dengan cara menghanyutkan sampah, karena pola menghanyutkan hanya memindahkannya masalah ke bagian hilir, bukan menyelesaikan masalah.

       
Sedangkan nama "sehelai" dimunculkan dalam LSM karena jumlah yang mereka pungut tidak sebanding dengan jumlah sampah di SKM, baik sampah yang hanyut, sampah yang tersangkut di kolong rumah warga, maupun sampah di dasar sungai yang sudah mengendap sejak puluhan tahun lalu.

       
"Meskipun tiap hari kita angkat sampah dari SKM sampai lima gerobak, jumlah ini tetap saja sehelai jika dibandingkan dengan ribuan ton, mungkin jutaan ton sampah terutama sampah berat yang tenggelam ke dasar sungai sejak puluhan tahun lalu," ujar Misman.

       
Kini GMSS-SKM usianya sudah lebih dari 1 tahun, tercatat ribuan simpatisan baik secara individu maupun kelompok yang sudah terjun memungut sampah.

      
Satu sisi Misman senang dengan banyaknya warga yang simpati dan membantu merawat sungai, namun di sisi lain Misman tetap sedih karena budaya membuang sampah ke sungai belum juga sirna.

       
Hingga kini kebanyakan warga Samarinda masih menilai bahwa sungai merupakan tempat pembuangan sampah yang paling praktis.

       
Sampai kapanpun SKM akan tetap dijadikan tempat sampah jika pemerintah tetap diam. Seharusnya Pemkot Samarinda menerapkan Perda nomor  2/2011 tentang pengelolaan sampah. Jika Perda ini tegas diterapkan berikut sanksinya, pasti warga tidak berani membuang sampah sembarangan, apalagi ke sungai. *

Pewarta: Muhammad Ghofar

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016