Keelokan adalah sebuah sikap, demikian kata-kata Simon Baker, aktor terkemuka Australia yang dijadikan iklan jam tangan di sampul majalah termasyhur terbitan Amerika Serikat pada edisi Person of The Year 2015.

Di iklan itu, Baker tampil dengan ketampanannya, berjas mewah, duduk anggun bak seorang pangeran namun dengan gaya santai, tenang dan tetap tampak berwibawa.

Antara ucapan dan penampilan jasmaniah itu seolah menyiratkan sebuah paradoks. Pada gambar sang bintang, keelokan adalah apa yang tertangkap oleh mata, yang wadag, yang material. 

Pada ucapannya, keelokan adalah di balik yang terlihat, yang imaterial, yang hanya bisa ditangkap oleh perasaan dan kalbu. Tentu, sikap, pada akhirnya juga menebarkan sesuatu yang bisa ditangkap oleh mata, seperti keelokan dalam bentuk wajah yang berhias mulut sedang tersenyum, gerak tubuh yang santun dan seterusnya.

Yang hendak ditegaskan di sini adalah bahwa kata-kata bijak dari bintang rupawan itu bisa dijadikan salah satu panduan filosofis dalam mengelola jagat turisme, wisata yang dapat menyejahterakan warga.

Sebagaimana ditorehkan oleh editor majalah Travel and Leisure ketika menempatkan Bali sebagai pulau terindah kedua di dunia, bahwa sikap masyarakat juga menjadi penilaian dalam menempatkan kawasan wisata yang indah.

Sikap yang ramah, toleran, siap menolong, mengerti pentingnya privasi turis merupakan nilai-nilai keelokan yang urgen dalam membangun kawasan wisata saat ini.

Untuk Bali, keelokan sikap itu agaknya tak perlu direkayasa lagi, karena sikap keramahan dan toleransi itu sudah melekat dalam kultur keseharian mereka. Dengan kelebihan yang sudah menjadi bagian dari tradisi itulah maka Bali memiliki nilai lebih dibandingkan dengan bagian dari masyarakat lain di Nusantara ini.

Karena itu, jika hendak membangun kawasan wisata di luar Bali dengan target untuk memperoleh jumlah kunjungan turis yang diidealkan, salah satu kiat yang perlu ditempuh adalah menyosialisasikan nilai-nilai yang membentuk keelokan sikap itu pada perilaku keseharian.

Namun, pertanyaan yang penting adalah: apakah membangun industri turisme hanya dengan melakukan rekayasa sikap seperti itu? Jawabannya pastilah: tidak. Itu hanya satu cara. 

Terbukti bahwa justru di negeri-negeri yang maju, sinergi antara industri pariwisata dan industri ekonomi kreatif lah yang paling berjasa dalam meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan, dalam hal ini turis mancanegara.

Salah satu contohnya adalah kedigdayaan industri film Hollywood yang secara positif berkorelasi dengan kunjungan turis ke Dysneyland. Bahkan Hollywood juga berjasa meningkatkan kunjungan turis ke negeri di luar Amerika karena menumpang kemasyhuran film-film yang dibikin di salah satu jantung industri kreatif negri Uwak Sam itu.

Film bertajuk Gladiator yang meraih lima Piala Oscar tahun 2001, membawa dampak positif bagi industri parawisata di Colosseum, Roma, Italia.

Eksotisme yang dibeberkan dalam berbagai adegan mengerikan di zaman kekaisaran Romawi itu telah menyihir penonton dan menggerakkan mereka untuk mengalami secara fisik suasana Colosseum itu dengan hadir di sana. Pemerintah Itali dan berbagai sektor usaha seperti perhotelan, restoran tentu diuntungkan oleh dampak dari kreasi Gladiator itu.

Di samping itu, di antara yang merasakan keuntungan terbanyak adalah para pemandu wisata yang selalu berkostum gaya petarung ajaib yang tentu didramatisasi dalam film itu. 

Para pemandu wisata mengatakan kesuksesan film Gladiator di Piala Oscar meningkatkan penghasilan mereka. Satu hari menjelang penganugerahan Piala Oscar, arus wisatawan yang datang ke lokasi Colosseum, Roma, terus bertambah. Karena banyak wisatawan yang ingin foto bersama dengan pemandu wisata, uang yang mengalir ke kocek otomatis bertambah. 

Dengan berbusana serupa Russel Crowe, yang memerankan Maximus dalam film Gladiator, pemandu wisata di Colosseum terlihat sibuk bekerja. Dengan setia, mereka melayani wisatawan yang berkunjung ke Colosseum, semacam stadion yang dalam zaman kekaisaran Romawi digunakan sebagai gelanggang adu kekuatan antara manusia dan binatang buas. 

Indonesia tentu juga pernah menikmati jasa seniman asing dalam meningkatkan kunjungan wisatawan asing ke Tanah Air. Itu terjadi karena karya komikus petualangan Tintin, Herge, yang menjadikan Pulau Komodo sebagai salah satu episode dalam komik yang mendunia itu.

Kini, dampak dari promosi gratis lewat karya-karya monumental seperti itu tentu tak dapat diperoleh setiap saat atau berkali-kali. Untuk mengatasinya, sebagai substitusinya, adalah dengan promosi yang tentu saja membutuhkan dana besar. Semakin tenar medium yang dijadikan lahan berpromosi, semakin mahal pula biayanya. Pemerintah pun telah mengupayakan cara ini dengan berpromosi di stasiun televisi global seperti CNN atau National Geographic.

Promosi seperti itu tentu bisa juga dianggap sebagai sebuah investasi. Pemerintah melalui program Wonderful Indonesia telah menempuh promosi di saluran televisi global untuk semakin memperkenalkan kawasan wisata yang dimasukkan dalam program itu.

Saat ini pemerintah sudah menetapkan 10 lokasi turisme yang masuk dalam Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata, yakni Borobudur di Jawa Tengah, Mandalika di Nusa Tenggara Barat, Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur, Bromo-Tengger-Semeru di Jawa Timur, Kepulauan Seribu di Jakarta, Danau Toba di Sumatera Utara, Wakatobi di Sulawesi Tenggara, Tanjung Lesung di Banten, Morotai di Maluku Utara dan Tanjung Kelayan di Bitung. 

Bila berbagai strategi termasuk melakukan penyadaran masyarakat tentang keelokan sikap dan promosi artistik untuk menarik jumlah kunjungan wisatawan itu dilakukan secara serempak dan sinergis, dipastikan hasilnya lebih memuaskan. (*)

Pewarta: Mulyo Sunyoto

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016