Samarinda (ANTARA Kaltim) - Pengamat pendidikan Nanang Rijono mengemukakan kondisi perpustakaan sekolah di Kalimantan Timur rata-rata memprihatinkan, karena selain banyak pengelolanya yang bukan pustakawan dan belum pernah diklat, juga karena ruangannya sempit, minim koleksi buku dan anggaran.

"Berdasarkan Permendiknas Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana Sekolah, maka tiap sekolah setidaknya memiliki 11 jenis sarana dan prasarana, di antaranya perpustakaan sekolah," kata pengamat pendidikan dari Universitas Mulawarman, Nanang Rijono di Samarinda, Rabu.

Ia mengatakan hal itu ketika menjadi pembicara pada Seminar dan Musyawarah Daerah yang digelar Asosiasi Tenaga Perpustakaan Sekolah Indonesia (ATPUSI) Kaltim bekerja sama dengan Badan Perpustakaan Provinsi Kaltim.

Menurut Nanang, 11 jenis sarana dan prasarana yang harus dimiliki sekolah sesuai Permendiknas adalah ruang kelas, ruang perpustakaan, laboratorium, ruang pimpinan, ruang guru, tempat ibadah, ruang UKS, WC, gudang, ruang sirkulasi, dan tempat bermain atau olah raga.

Terkait dengan keberadaan perpustakaan, lanjut dia, masih ada beberapa sekolah yang tidak memiliki perpustakaan. Kalaupun ada, tapi ruang perpustakaan tersebut ditempatkan di pojok dengan ruang sempit dan kondisinya tidak indah, sehingga membuat siapapun merasa tidak nyaman masuk ke perpustakaan.

Padahal, idealnya ruang perpustakaan minimal seluas satu ruang kelas dengan lebar minimal 5 meter. Kemudian letak perpustakaan harus di bagian sekolah yang mudah dijangkau, bukan di belakang atau di pojok sekolah yang tidak nyaman disinggahi.

Selain itu, lanjut Nanang, pengelola perpustakaan sekolah juga masih banyak yang belum pustakawan atau belum pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat) tentang perpustakaan, sehingga pengelolanya ataupun kepala perpustakaannya tidak memiliki ilmu cara mengelola perpustakaan dengan benar.

"Padahal seharusnya pengelola perpustakaan minimal sudah pernah mengikuti diklat perpustakaan pola 100 jam, kemudian untuk kepala perpustakaan minimal pernah mengikuti diklat perpustakaan pola 120 jam," katanya.

Nanang Rijono juga menyoroti guru bersertifikasi yang diangkat menjadi kepala perpustakaan atau pengelola perpustakaan, namun keberadaan guru tersebut hanya untuk menambah jam belajar menjadi 24 jam seminggu, sementara mereka tidak mengelola perpustakaan dengan benar karena tidak mengetahui ilmunya.

Untuk mendapat ilmu mengelola perpustakaan secara benar atau profesional, kata dia, seharusnya guru tersebut berusaha mencari informasi terkait diklat perpustakaan, sehingga guru yang telah bersertifikasi tersebut juga profesional mengelola perpustakaan sekolah.

"Apabila sekolah tidak memiliki anggaran untuk melakukan diklat perpustakaan, maka guru itu harus mengeluarkan biaya pribadi untuk diklat, karena tunjangan sertifikasi guru tidak akan dibayar jika jam mengajarnya tidak cukup. Sedangkan dia mau menjadi pengelola perpustakaan supaya tunjangannya dibayar," katanya. (*)

Pewarta: M.Ghofar

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015