Samarinda (ANTARA Kaltim)-Selama ini Kaltim identik dengan migas dan batu bara. Dan itu tidak bisa dipertahankan dalam waktu lama karena sumber daya alam tersebut tidak bisa diperbaharui sehingga suatu saat akan habis.

Apa yang dilakukan Gubernur Awang Faroek Ishak dengan merumuskan Visi Kaltim 2030 transformasi ekonomi setelah migas dan batu bara sudah sangat tepat.Demikian diungkapkan Pakar Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Dr Sari Mulyani dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, pada perhelatan Kaltim Summit II 2013 di Balikpapan beberapa waktu lalu.

“Seperti Dubai. Dulu hanya mengandalkan minyak, minyak dan minyak. Namun mereka akhirnya tidak mengandalkan perekenomian hanya dari sumber daya alam (SDA). Jadi harus smart. Dalam artian SDA yang besar harus tepat pengelolaannya disamping mencari ceruk (potensi) pasar lain yang lebih kuat untuk dikembangkan,” ujar Sari Mulyani

.Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) Maloy yang terintegrasi dengan Trans Kalimantan Economic Zone (TKEZ) dan akan dikembangkan menjadi KEK MTKEZ (Maloy Trans Kalimantan Economic Zone) di wilayah Indonesia Timur, menurut Sari merupakan strategi tepat yang dikembangkan oleh Pemprov Kaltim dalam mewujudkan transformasi ekonomi setelah migas dan batu bara.

Seperti Maloy, lanjut dia, jika Pemprov benar-benar bisa membuat rencana strategis yang tepat dan strong execution, maka akan menjadi kawasan ekonomi terbesar di Asia Tenggara bahkan bisa melebihi pusat perekonomian di Asia Timur, yaitu Incheon di Korea Selatan.

Maloy, ujar Sari, memiliki sejumlah keunggulan. Dibandingkan Incheon yang merupakan area reklamasi, Maloy tidak perlu lagi memberi pasir ataupun tanah, karena memang sudah ada. Hanya perencanaannya harus tepat dan strategic selling pointnya harus kuat. Maloy merupakan pintu masuk yang sangat strategis karena terletak di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II.

Sari menyarankan, dalam pengembangannya perlu dipertimbangkan untuk melihat potensi pariwisata di sekitar. Jangan hanya mengandalkan Derawan, karena itu masih terlalu jauh dari Maloy. Justru di sekitar Maloy itu sendiri harus sudah ada fasilitas-fasilitas umum, seperti sekolah internasional, sporting facility dan area yang bisa dijadikan rekreasi. Sehingga para ekspatriat akan merasa lebih enjoy.

 â€œJika kita melihat seperti Dubai. Apa pun bisa dibuat. Sekarang orang-orang yang ingin bermain ski saja datang ke Dubai. Jadi tergantung pemerintah. Harus pintar-pintar menjual Kaltim, dalam artian marketing selling point yang benar-benar tepat. Dan didukung dengan kekuatan leadership,” jelas Sari.

Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan Pemprov harus membuat kebijakan dan aturan yang tepat bagi para investor yang ingin menanamkan modalnya di Maloy. Harus dipastikan investor yang datang bukan hanya berinvestasi tetapi juga dapat menunjukkan  training dan development bagi masyarakat sekitar. Kemudian juga harus memberikan persentase yang jelas untuk rekruitmen tenaga lokal dan pendatang.

Bisa dilihat di Malaysia, begitu investor masuk mereka harus membuat strategic plan untuk human resourcesnya. Jadi harus ada training dan development bagi putra daerah. Malaysia sebut Sari,  merencanakan selama 15 tahun kedepan orang lokal harus memegang posisi kunci di perusahaan-perusahaan.

Boleh awalnya ekspatriat, tetapi dalam perkembangannya orang lokal yang harus menggantikannya.Sari berharap MTKEZ bisa menjadi jendela internasional bagi Indonesia. Karena selama ini KEK di Indonesia belum ada yang secemerlang Incheon di Korsel ataupun Shenzhen di Cina.

“Dengan adanya Maloy, dunia bisa melihat Indonesia itu seperti apa. Karena selama ini Incheon dan Shenzhen tidak mempunyai natural resources, sedangkan Maloy memilikinya. Tinggal bagaimana melakukan pengelolaan SDA yang tepat dan teliti, didukung dengan strategic plan dan marketing selling point untuk Maloy,” harapnya. (Humas Prov Kaltim/her)

 





Pewarta:

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2013