Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Polisi Boy Rafli Amar mengatakan sikap intoleran terhadap agama dapat menyebabkan bencana sehingga mengajak masyarakat untuk menghargai perbedaan.
"Seperti yang terjadi di Provinsi Kaltim pada 2016 silam, yakni ketika Gereja Oikumene di Kota Samarinda diledakkan. Itu adalah wujud tindakan dari orang-orang intoleran," ujar Boy di Samarinda, Minggu.
Sehari sebelumnya, saat pertemuan dengan tokoh agama dan keluarga penyintas terorisme di Kaltim, di Hotel Mercure Samarinda, ia mengatakan bahwa orang-orang intoleran sudah tersusupi alam pikirannya untuk mengadu domba.
Dalam pertemuan yang didampingi Sekretaris Utama BNPT Mayjen TNI Untung Budiharto itu, ia mengatakan adu domba oleh orang intoleran dengan sasaran di antara warga, yakni dengan keyakinan menurut mereka adalah sebuah kebenaran, padahal itu adalah sebuah kekeliruan.
"Kasus terorisme dan intoleransi terus saja terjadi. Pengeboman gereja di Makassar dan terorisme di Mabes Polri, misalnya, kasus ini merupakan bukti bahwa propaganda jaringan terorisme terus menebar tindakan kebencian," katanya.
Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lanjutnya, ada 120 negara di dunia yang terkena dampak propaganda teroris. Tingginya angka ini karena arus globalisasi dan banyak penduduk khususnya anak muda menggunakan sosial media.
"Berdasarkan data, saat ini ada sekitar 202 juta pengguna internet di Indonesia. Dari 202 juta ini, sekitar 80 persen sebagai pengguna media sosial yang 60 persennya adalah anak muda. Generasi Z, generasi milenial," tuturnya.
Kelompok terorisme tersebut, lanjutnya, senang merekrut anak-anak muda yang mereka anggap berani, idealis, dan sedang mencari jati diri.
"Generasi milenial ini dengan mudah mengikuti akun-akunnya, terus 'update' sampai pintar membuat surat wasiat (siap mati) untuk orang tuanya saat akan menjalankan aksinya. Itulah akhirnya dia menjadi pelaku bom bunuh diri," ucap Boy.
Menurutnya, perkembangan kelompok terorisme di Indonesia masih mengusung ideologi berbasis kekerasan dengan karakter ideologi teroris, yakni intoleransi, tidak bisa menerima perbedaan, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
"Karakter itulah yang diusung oleh terorisme. Kelompok ini mengusung slogan agama. Itu yang kita sayangkan, karena semua agama memiliki cinta kasih, semangat untuk mengasihi satu sama lainnya, dan menghormati perbedaan," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2021
"Seperti yang terjadi di Provinsi Kaltim pada 2016 silam, yakni ketika Gereja Oikumene di Kota Samarinda diledakkan. Itu adalah wujud tindakan dari orang-orang intoleran," ujar Boy di Samarinda, Minggu.
Sehari sebelumnya, saat pertemuan dengan tokoh agama dan keluarga penyintas terorisme di Kaltim, di Hotel Mercure Samarinda, ia mengatakan bahwa orang-orang intoleran sudah tersusupi alam pikirannya untuk mengadu domba.
Dalam pertemuan yang didampingi Sekretaris Utama BNPT Mayjen TNI Untung Budiharto itu, ia mengatakan adu domba oleh orang intoleran dengan sasaran di antara warga, yakni dengan keyakinan menurut mereka adalah sebuah kebenaran, padahal itu adalah sebuah kekeliruan.
"Kasus terorisme dan intoleransi terus saja terjadi. Pengeboman gereja di Makassar dan terorisme di Mabes Polri, misalnya, kasus ini merupakan bukti bahwa propaganda jaringan terorisme terus menebar tindakan kebencian," katanya.
Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lanjutnya, ada 120 negara di dunia yang terkena dampak propaganda teroris. Tingginya angka ini karena arus globalisasi dan banyak penduduk khususnya anak muda menggunakan sosial media.
"Berdasarkan data, saat ini ada sekitar 202 juta pengguna internet di Indonesia. Dari 202 juta ini, sekitar 80 persen sebagai pengguna media sosial yang 60 persennya adalah anak muda. Generasi Z, generasi milenial," tuturnya.
Kelompok terorisme tersebut, lanjutnya, senang merekrut anak-anak muda yang mereka anggap berani, idealis, dan sedang mencari jati diri.
"Generasi milenial ini dengan mudah mengikuti akun-akunnya, terus 'update' sampai pintar membuat surat wasiat (siap mati) untuk orang tuanya saat akan menjalankan aksinya. Itulah akhirnya dia menjadi pelaku bom bunuh diri," ucap Boy.
Menurutnya, perkembangan kelompok terorisme di Indonesia masih mengusung ideologi berbasis kekerasan dengan karakter ideologi teroris, yakni intoleransi, tidak bisa menerima perbedaan, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
"Karakter itulah yang diusung oleh terorisme. Kelompok ini mengusung slogan agama. Itu yang kita sayangkan, karena semua agama memiliki cinta kasih, semangat untuk mengasihi satu sama lainnya, dan menghormati perbedaan," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2021