Tanjung Redeb (ANTARA Kaltim) - Warga Pulau Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, membantah telah ditunggangi kelompok atau kepentingan tertentu pada saat menduduki Pulau Sangalaki beberapa pekan lalu untuk memprotes pengelolaan dan konservasi di pulau tersebut.
Kepala Kampung Pulau Derawan H Bahri, Senin, mengatakan, warga Derawan yang sempat menduduki Pulau Sangalaki itu melakukannya secara spontan tanpa dilandasi unsur kepentingan tertentu.
Sebelumnya ANTARA mewartakan bahwa pada Minggu (23/9), warga di Pulau Derawan menduduki Pulau Sangalaki dan menuntut konservasi penyu yang dilakukan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan LSM WWF agar melibatkan masyarakat atau dikembalikan ke pemerintah daerah.
Sempat beredar isu bahwa aksi warga ditunggangi oknum atau kelompok untuk kepentingan tertentu. Bahri mengatakan, warga Derawan mengeluhkan pola konservasi yang diterapkan BKSDA maupun pungutan yang dilakukan di Pulau Sangalaki.
Untuk masalah pungutan, katanya, warga mengakui bahwa ada aturan kementrian yang menjadi dasar pungutan. Namun untuk urusan Konservasi warga menilai jika pola yang diterapkan dinilai tidak berhasil.
"Tahun 1994 saat pertama kali konservasi dilakukan dengan cara tender, berdasarkan data, populasi penyu terus meningkat, itu bisa dilihat dari nilai tender waktu itu, mulai 174 juta terus meningkat sampai satu miliar lebih," kata Bahri.
Menurutnya, warga tidak akan meributkan pola konservasi yang diterapkan saat ini jika dilaksanakan dengan benar, namun faktanya perdagangan telur penyu dari pulau penghasil telur tetap terjadi.
Di Kota Samarinda, katanya, masih ada perdagangan telur penyu secara bebas, yang diidentifikasi berasal dari Berau.
"Saya kenal betul karena dulu kami yang tangani, kalaupun disebut dari Kalsel, tapi toh tetap sama, Kalsel itu Indonesia juga, sama dengan Berau jika di sini tidak boleh kenapa di sana boleh," ujarnya.
Saksi-saksi dari warga adanya perdagangan telur dari Berau, menurutnya sangat banyak. Hal itu yang membuat warga gerah. Populasi penyu yang ada juga dinilai berkurang.
Saat ini hanya sekitar 40 ekor penyu yang naik bertelur. "Dulu kita tangani bukan puluhan tapi ratusan, pola penangkarannya juga kurang tepat, tukik (anak penyu) langsung dilepas saat masih sangat muda, kalau dulu kita lepas saat berusia enam bulan jadi cukup kuat dari pemangsa," katanya.
Dengan demikian, dirinya juga berharap agar konservasi bisa dilaksanakan dengan sebenar-benarnya. "Sekali lagi ini bukan karena ada kepentingan tapi aspirasi warga," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012
Kepala Kampung Pulau Derawan H Bahri, Senin, mengatakan, warga Derawan yang sempat menduduki Pulau Sangalaki itu melakukannya secara spontan tanpa dilandasi unsur kepentingan tertentu.
Sebelumnya ANTARA mewartakan bahwa pada Minggu (23/9), warga di Pulau Derawan menduduki Pulau Sangalaki dan menuntut konservasi penyu yang dilakukan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan LSM WWF agar melibatkan masyarakat atau dikembalikan ke pemerintah daerah.
Sempat beredar isu bahwa aksi warga ditunggangi oknum atau kelompok untuk kepentingan tertentu. Bahri mengatakan, warga Derawan mengeluhkan pola konservasi yang diterapkan BKSDA maupun pungutan yang dilakukan di Pulau Sangalaki.
Untuk masalah pungutan, katanya, warga mengakui bahwa ada aturan kementrian yang menjadi dasar pungutan. Namun untuk urusan Konservasi warga menilai jika pola yang diterapkan dinilai tidak berhasil.
"Tahun 1994 saat pertama kali konservasi dilakukan dengan cara tender, berdasarkan data, populasi penyu terus meningkat, itu bisa dilihat dari nilai tender waktu itu, mulai 174 juta terus meningkat sampai satu miliar lebih," kata Bahri.
Menurutnya, warga tidak akan meributkan pola konservasi yang diterapkan saat ini jika dilaksanakan dengan benar, namun faktanya perdagangan telur penyu dari pulau penghasil telur tetap terjadi.
Di Kota Samarinda, katanya, masih ada perdagangan telur penyu secara bebas, yang diidentifikasi berasal dari Berau.
"Saya kenal betul karena dulu kami yang tangani, kalaupun disebut dari Kalsel, tapi toh tetap sama, Kalsel itu Indonesia juga, sama dengan Berau jika di sini tidak boleh kenapa di sana boleh," ujarnya.
Saksi-saksi dari warga adanya perdagangan telur dari Berau, menurutnya sangat banyak. Hal itu yang membuat warga gerah. Populasi penyu yang ada juga dinilai berkurang.
Saat ini hanya sekitar 40 ekor penyu yang naik bertelur. "Dulu kita tangani bukan puluhan tapi ratusan, pola penangkarannya juga kurang tepat, tukik (anak penyu) langsung dilepas saat masih sangat muda, kalau dulu kita lepas saat berusia enam bulan jadi cukup kuat dari pemangsa," katanya.
Dengan demikian, dirinya juga berharap agar konservasi bisa dilaksanakan dengan sebenar-benarnya. "Sekali lagi ini bukan karena ada kepentingan tapi aspirasi warga," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012