Nunukan (ANTARA News Kaltim) - Struktur agraria di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia perlu direformasi atau diperbaharui mengingat wilayah perbatasan menjadi serambi depan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kata
Ketua Pusat Kajian Agraria (PKA) Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Satyawan Sunito.
Dr Satyawan Sunito di Nunukan, Senin, mengatakan, pada masa lalu daerah perbatasan masih mengalami keterisolasian geografis, dan hanya sebagai zona pertahanan dan keamanan, ditambah kevakuman kontrol politik serta garis perbatasan yang seringkali kabur.
Karena itu, pada masa sekarang diharapkan daerah perbatasan menjadi batas antarnegara yang menghadirkan negara sebagai serambi depan negara, dan penduduknya diperlakukan dengan segala hak dan kewajiban serta kemutlakan kesejahteraan dan ketenteraman.
Menurut dia, apabila benar-benar menghendaki daerah perbatasan menjadi serambi depan negara dan bukan lagi sebagai halaman belakang negara, perlu dilakukan pembaharuan struktur agraria yang berdampak pada peningkatan akses petani miskin pada tanah serta kepastian tenurian bagi mereka yang mengerjakannya.
Cakupan pembaharuan itu adalah akses pada tanah dengan meredistribusi tanah negara dari tanah kelebihan, tanah telantar, pengakuan tanah adat, membuka tanah pertanian dan mengamankan common property resources (pesisir, tanah pengembalaan, hutan/mangrove) dan akses pada kawasan hutan.
Kemudian perlu ada legalitas dan kepastian hak atas tanah termasuk kepastian hukum bagi masyarakat dengan communal land tenure system serta membenahi sistem produksi dan kehidupan lain pascadistribusi tanah.
Terkait dengan pengakuan atas tanah sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat adat dan lokal, Satyawan menegaskan, perlu memperhatikan sejarah pemanfaatan dan pola pemanfaatannya serta perubahan lingkungan dan kebutuhan adaptasi baru dengan disertai persepsi lokal atas tanah adat, tenurial lokal, lembaga adat dan organisasi sosial baru lainnya.
Pembaharuan sumber daya agraria (tanah) ini dengan tujuan selalu bermuara pada peningkatan kesejahteraan, ketenteraman dan kemandirian masyarakat, jelas Satyawan pada "Workshop Pertanahan" di Kantor Bupati Nunukan.
Pada intinya, pembaharuan agraria ini terletak pada empat sasaran yaitu distribusi tanah negara dan tanah telantar kepada masyarakat petani miskin dengan mengurangi hak guna usaha (HGU) pada skala besar, pelaksanaan program perhutanan sosial secara besar-besaran, pengakuan hak masyarakat adat atas tanah dan pengembangan supporting system (modal, teknis pertanian berkelanjutan, input pertanian dan pasar).
"Jadi pembaharuan agraria bergerak pada empat arena itu," harap Satyawan.
Senada dengan itu, pada kesempatan yang sama Bupati Nunukan Drs Basri menegaskan pembaruan perlu dilakukan sepanjang bisa memberikan kepastian hukum dan pemerataan keadilan bagi masyarakat.
Menurut dia, masalah agraria di wilayah perbatasan di Kabupaten Nunukan perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak yang berkompeten. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012
Dr Satyawan Sunito di Nunukan, Senin, mengatakan, pada masa lalu daerah perbatasan masih mengalami keterisolasian geografis, dan hanya sebagai zona pertahanan dan keamanan, ditambah kevakuman kontrol politik serta garis perbatasan yang seringkali kabur.
Karena itu, pada masa sekarang diharapkan daerah perbatasan menjadi batas antarnegara yang menghadirkan negara sebagai serambi depan negara, dan penduduknya diperlakukan dengan segala hak dan kewajiban serta kemutlakan kesejahteraan dan ketenteraman.
Menurut dia, apabila benar-benar menghendaki daerah perbatasan menjadi serambi depan negara dan bukan lagi sebagai halaman belakang negara, perlu dilakukan pembaharuan struktur agraria yang berdampak pada peningkatan akses petani miskin pada tanah serta kepastian tenurian bagi mereka yang mengerjakannya.
Cakupan pembaharuan itu adalah akses pada tanah dengan meredistribusi tanah negara dari tanah kelebihan, tanah telantar, pengakuan tanah adat, membuka tanah pertanian dan mengamankan common property resources (pesisir, tanah pengembalaan, hutan/mangrove) dan akses pada kawasan hutan.
Kemudian perlu ada legalitas dan kepastian hak atas tanah termasuk kepastian hukum bagi masyarakat dengan communal land tenure system serta membenahi sistem produksi dan kehidupan lain pascadistribusi tanah.
Terkait dengan pengakuan atas tanah sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat adat dan lokal, Satyawan menegaskan, perlu memperhatikan sejarah pemanfaatan dan pola pemanfaatannya serta perubahan lingkungan dan kebutuhan adaptasi baru dengan disertai persepsi lokal atas tanah adat, tenurial lokal, lembaga adat dan organisasi sosial baru lainnya.
Pembaharuan sumber daya agraria (tanah) ini dengan tujuan selalu bermuara pada peningkatan kesejahteraan, ketenteraman dan kemandirian masyarakat, jelas Satyawan pada "Workshop Pertanahan" di Kantor Bupati Nunukan.
Pada intinya, pembaharuan agraria ini terletak pada empat sasaran yaitu distribusi tanah negara dan tanah telantar kepada masyarakat petani miskin dengan mengurangi hak guna usaha (HGU) pada skala besar, pelaksanaan program perhutanan sosial secara besar-besaran, pengakuan hak masyarakat adat atas tanah dan pengembangan supporting system (modal, teknis pertanian berkelanjutan, input pertanian dan pasar).
"Jadi pembaharuan agraria bergerak pada empat arena itu," harap Satyawan.
Senada dengan itu, pada kesempatan yang sama Bupati Nunukan Drs Basri menegaskan pembaruan perlu dilakukan sepanjang bisa memberikan kepastian hukum dan pemerataan keadilan bagi masyarakat.
Menurut dia, masalah agraria di wilayah perbatasan di Kabupaten Nunukan perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak yang berkompeten. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012