Serikat Pekerja (SP) Mathilda Pertamina mendesak Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati dan Direktur Hulu Dharmawan H Samsu mundur dari jabatannya masing-masing.

“Karena tidak mampu mencegah pengalihan bisnis LNG Pertamina ke PGN,” kata Ketua SP Mathilda Balikpapan Mugiyanto dalam aksi damai di halaman Kantor Besar Pertamina di Jalan Minyak, Senin.

Menurut Mugiyanto, aksi serupa juga dilakukan di unit-unit Pertamina lain seperti di Medan.

SP Mathilda juga menolak perpanjangan pengelolaan Blok Corridor oleh Conoco Philips di Sumatera Selatan yang berakhir pada 2023 mendatang.

“Kebijakan direksi sekarang membuat Pertamina yang sebenarnya satu macan dalam bisnis gas dunia menjadi semacam kucing kampung belaka,” tandas Mugiyanto.

Para pekerja dari Kilang Balikpapan yang berinduk kepada SP Mathilda mengganggap Dirut dan Direktur Hulu tidak mampu memperjuangkan aspirasi karyawan agar bisnis LNG (liquified natural gas, gas alam cair) Pertamina tidak dialihkan ke Perusahaan Gas Negara (PGN).

Di Pertamina, bisnis LNG dikelola oleh Pertagas, anak perusahaan yang 100 persen sahamnya dikuasai Pertamina, sementara Pertamina sepenuhnya milik negara. Di PGN, Pertamina juga memiliki saham, justru melalui Pertagas, namun hanya 56 persen. Sebanyak 43 persen saham PGN dimiliki asing.

“Keliatan ada pesan sponsor yang berupaya bisnis LNG dialihkan ke PGN. Akibat dari pengalihan itu adalah berkurangnya pemasukan negara dari sektor itu,” kata Mugiyanto lagi. Pengalihan itu justru akan mengurangi pendapatan Pertamina hingga 6,3 juta dolar AS.

Padahal lagi,  Pertamina sebagai entitas bisnis sudah diakui dunia. Pertamina adalah produsen gas ke-5 terbesar di dunia. Melalui Pertagas, Pertamina memiliki pasar gas di Asia Timur, yaitu di Korea, Jepang, dan China.

“Sementara PGN itu kan hanya menguasai infrastruktur gas di dalam negeri, seperti jaringan pipa. PGN tidak punya jam terbang di pasar global,” papar Mugiyanto.

Berkenaan dengan Blok Corridor, SP Mathilda menyesalkan perpanjangan kontrak yang diberikan kepada Conoco Phillips. Perpanjangan itu diberikan tanpa terlebih dahulu memberikan penawaran kepada Pertamina.

Pertamina, menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15 Tahun 2015 memiliki hak istimewa sebagai perusahaan migas nasional (national oil company) untuk menjadi yang pertama ditawari pengelolaan blok migas yang akan berakhir masa kontraknya.

Blok Corridor memiliki cadangan gas ketiga terbesar di Indonesia dan menyumbang 17 persen menyumbang produksi gas nasional setelah Lapangan Tangguh di Papua dan Wilayah Kerja Mahakam yang dikelola Pertamina Hulu Mahakam. Produksi Blok Corridor mencapai 1.028 juta standar kaki kubik per hari (million metrik standard cubic feet per day, mmscfd) untuk kondensat dan lifting gas 834 mmscfd.

”Kalau semua dipegang Pertamina maka negara lebih berdaya dan berdaulat di sektor energi,” tangas Mugiyanto.

Sebab itu ia juga menyesalkan Dirut Pertamina sebelum Nicke Widyawati, yaitu Dwi Soetjipto, yang dianggapnya tidak dengan keras memperjuangkan hak Pertamina untuk mendapatkan Blok Corridor.

Dirut Nicke pun dibandingkan dengan Dirut Karen Agustiawan yang disebutkan mampu menempatkan Pertamina sebagai perusahaan energi di 122 dunia, sementara sekarang peringkatnya melorot ke ranking 175.

“Silakan media tulis besar-besar. Ganti Dirut Pertamina dengan orang-orang yang pahami bisnis gas dunia. Kebijakan sekarang menggiring Pertamina jadi kucing kampung padahal tadinya macan dunia,” kritiknya.

Dia menambahkan negara harusnya mendukung Pertamina secara penuh sebagai perusahaan migas milik bangsa. Mugiyanto menegaskan, semua perusahaan migas nasional selalu didukung penuh pemerintah, di mana pun itu di dunia. ***2***

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Abdul Hakim Muhiddin


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2019