Balikpapan (ANTARA Bews Kaltim) - Warga Suku Dayak Benuaq di Kampung Muara Tae, Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, melaporkan penggusuran tanah dan hutan adat mereka seluas 638 hektare oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit ke Polda Kaltim.

"Tanah kami mulai digusur 23 Oktober 2011 dan saat ini sudah terbuka 200 hektare," kata Petrus Asuy, warga Muara Tae saat mereka melapor ke Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Timur di Balikpapan, Senin sore.

Muara Tae berjarak lebih kurang 4 jam perjalanan bermobil ke arat barat dari Samarinda, ibukota Kalimantan Timur.

Warga Suku Dayak Benuaq melaporkan tanah dan hutan adat yang digusur secara sepihak oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit asal Malaysia PT Munte Waniq Jaya Perkasa.

Padahal, kata Petrus Asuy, di atas tanah adat itu tumbuh hutan sekunder tempat warga menggantungkan penghidupannya. Selama ini warga Muara Tae mengambil hasil hutan seperti rotan dan kayu, madu, buah-buahan seperti durian, cempedak, dan kelengkeng.

Hutan itu, katanya, juga menjadi daerah tangkapan air dan memelihara mata air untuk Sungai Nayan, sumber air bersih Muara Tae.

Menurut Petinggi (Kepala Desa) Kampung Muara Tae, Masrani, PT Munte Waniq menggusur tanah adat mereka dengan alasan telah membeli lahan tersebut dari empat orang warga Benuaq lainnya, yaitu Giarto, Namur, Jerki, dan Manging yang menjadi warga Kampung Ponaq, kampung tetangga dan berbatasan langsung dengan Muara Tae namun berada di wilayah administrasi Kecamatan Siluq Ngurai.

"Tanah kami dijual oleh mereka seharga Rp1 juta per hektare, tanpa memandang yang tumbuh di atasnya. Jadi tanah seluas 638 hektare itu total hanya dianggap bernilai Rp638 juta. Itu pun baru dibayar Rp445 juta atau 70 persennya," kata Masrani.

Karena itu juga, Masrani dan Petrus Asuy dan didampingi pengacara Kukuh T melaporkan keempat warga Kampung Ponak tersebut ke Polda Kaltim dan meminta polisi bertindak tegas.

Saat ini, sambil menggusur lahan adat tersebut, perusahaan juga mengambil manfaat dari kayu-kayu yang tumbuh di hutan tersebut.

Menurut Asuy, ada ribuan batang pohon ulin atau kayu besi dan meranti yang bernilai ekonomi tinggi yang tumbuh di hutan adat tersebut. Belum terhitung pohon buah-buahan seperti durian, cempedak, mangga kweni, dan banyak macam buah-buahan hutan lain.

Dengan melaporkan kasus ini ke Polda Kaltim, selain minta polisi bertindak tegas kepada oknum warga yang sudah menjual tanah adat mereka, warga menuntut PT Munte Waniq menghentikan aktivitas di tanah adat tersebut.

"Kami tidak mau ganti rugi. Kami hanya ingin tanah adat kami kembali seperti semula, dan perusahaan membayar denda adat atas kerusakan yang mereka buat di atas tanah kami," tegas Masrani.

Dari data yang dihimpun Telapak, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengkhususkan diri pada investigasi kasus-kasus semacam ini, 90 persen saham PT Munte Waniq Jaya Perkasa sebelumnya dimiliki oleh Halaman Semesta Sdn Bhd, perusahaan perkebunan dan pengolahan kelapa sawit dari dari Malaysia.

Bulan Mei 2011, seluruh saham Halaman Semesta dibeli oleh perusahaan grup kelapa sawit dari Malaysia lainnya, bernama TSH Resource Berhad. (*)

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Arief Mujayatno


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012