Balikpapan (Antaranews Kaltim) - Komisi VII DPR RI menyatakan bahwa Pertamina selaku pemilik minyak dan fasilitas pipa penyalur adalah pihak yang menjadi korban dalam kasus pipa patah hingga menimbulkan tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, Kaltim, pada 31 Maret 2018.

"Ya, Pertamina korban dalam peristiwa ini," kata anggota Komisi VII DPR RI Dr Kurtubi di Balikpapan, Jumat.

Komisi VII melakukan kunjungan kerja ke Pertamina Refinery Unit (RU) V Balikpapan, sehari setelah kepolisian menetapkan nakhoda kapal MV Ever Judger Zhang Deyi (50 tahun) sebagai tersangka kasus pipa patah dan tumpahan minyak.

Menurut Kurtubi, Pertamina menjadi korban karena fasilitas pipa penyalur minyak menjadi rusak akibat kelalaian nakhoda MV Ever Judger.

Minyak yang dikirim dari Terminal Lawe-lawe ke Kilang Balikpapan tumpah ke Teluk Balikpapan sebanyak lebih dari 40.000 barel.

Berdasarkan harga rata-rata minyak mentah dunia yang ada pada kisaran 70 dolar AS per barel, untuk kehilangan minyak mentah itu saja, Pertamina mengalami kerugian lebih dari 2,8 juta dolar AS.

Selain itu, catatan kerugian bertambah panjang karena Pertamina harus menanggung biaya pembersihan Teluk Balikpapan, mulai dari tengah laut hingga ke pesisir dan permukiman, serta menyantuni para korban.

Dalam peristiwa kebakaran tumpahan minyak tersebut, ada lima korban meninggal dunia dan ratusan nelayan dari Kampung Baru di Kecamatan Balikpapan Barat tidak bisa melaut dan bekerja menangkap ikan karena alat tangkapnya tercemar minyak.

Baca juga: Kasus tumpahan minyak, nakhoda MV Judger ditetapkan tersangka
Baca juga: Pengacara Pertamina sebut pipa minyak Balikpapan dirusak pihak ketiga

"Belum lagi kerugian yang tidak dapat dihitung seperti kematian satu pesut, mamalia laut yang terancam punah yang menghuni Teluk Balikpapan," kata Dr Danielle Kreb, dalam kesempatan terpisah.

Kreb mempelajari populasi pesut atau Orcaella brevirostris di Teluk Balikpapan dan Sungai Mahakam selama bertahun-tahun.

Menurut Kreb, kira-kira tinggal 65 individu pesut yang ada di Teluk, sehingga kematian satu saja bisa kehilangan yang sangat besar. "Sebab reproduksi mereka sangat lambat," jelas Kreb.

Sistem peringatan dini

Pada kesempatan dengar pendapat dengan tim Komisi VII yang terdiri dari Eni Maulani Saragih, Syaikhul Islam Ali, Kurtubi, dan Ikhwan Datu Adam, pihak Pertamina mengakui bahwa fasilitas di Balikpapan maupun di Lawe-lawe tidak dilengkapi dengan sistem peringatan dini untuk penginderaan kejadian-kejadian yang mungkin berisiko membahayakan.

"Pertamina harus pasang itu aplikasi. Komisi VII dukung penuh, berapapun biayanya," kata Kurtubi, doktor ekonomi pertambangan dari Colorado School of Mining, Amerika Serikat.

Aplikasi itu, jelas Kurtubi, seperti terpasang di industri hulu migas memberi peringatan bahkan jika ada pipa bocor sebesar jarum dan langsung terlihat di ruang pengawas atau di mana saja harus diketahui.

Direktur Pengolahan Pertamina Budi Santoso Syarif menjelaskan, besarnya tekanan air laut pada kedalaman 22 meter tidak serta merta terbaca dan terlihat perubahan pada indikator penyaluran minyak di Terminal Lawe-lawe maupun penerimaan minyak mentah di Kilang Balikpapan saat pipa patah tertarik jangkar kapal MV Ever Judger.

"Dari tekanan 15 bar normal, hanya turun 0,08 bar," kata Budi Santoso.

Para teknisi baru menyadari ada yang ketidakberesan beberapa waktu kemudian, karena pompa dari Terminal Lawe-lawe berhenti beroperasi dengan sendirinya.

"Itu yang harus diperbaiki. Pertamina ini perusahaan canggih loh, di mana kami dan rakyat berharap banyak," ujar anggota Komisi VII DPR Eni Saragih. (*)

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018