Bandung (Antaranews) - Gara-gara masalah warisan, empat orang anak berinisial AS, DR, AR, dan AK menggugat ibu kandungnya yang bernama Cicih (78) sebesar Rp.1,6 miliar ke Pengadilan Negeri Bandung.
"Klien saya Ibu Cicih digugat oleh empat anak kandungnya," ujar Hotma Agus Sihombing selaku kuasa hukum Cicih, saat dihubungi pada Rabu.
Hotma menjelaskan, awal mula gugatan tersebut saat Cicih menjual sebagian tanah warisan dari almarhum suaminya, Udin, seluas 91 meter persegi dari total tanah 332 meter persegi di daerah Kelurahan Cipadung, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung.
Cicih terpaksa menjual tanahnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari akibat utang yang menjeratnya hasil meminjam kepada tetangganya. Tanah 91 meter persegi tersebut dijual Cicih dengan harga Rp250 juta.
"Ibu Cicih enggak punya uang lagi. Dia merasa ada sisa dari hibah suaminya. Karena merasa bagian dia, jadi untuk mempertahankan hidupnya terpaksa dia jual," katanya.
Sepeninggal suaminya, Cicih tidak memiliki penghasilan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari sehingga terpaksa harus berhutang kepada tetangga sekitar. Sementara empat orang anaknya, kata dia, seperti kurang peduli terhadap Cicih bahkan jarang menengoknya.
"Dilupakan intinya. Jadi, kita bayangkan ada seorang janda gak punya suami dan pekerjaan, terus hidup dari mana?," katanya.
Mengetahui tanah dijual, empat orang anaknya tidak setuju dengan apa yang dilakukan Cicih. Mereka beralasan, Cicih, menjual tanah tanpa sepengetahuannya hingga akhirnya membawa kasus tersebut ke meja hijau.
Lanjut Hotma, uang hasil penjualan tanah tidak seluruhnya dibayarkan untuk melunasi utang, namun termasuk membiayai sekolah cucu dari salah satu anak yang menggugatnya.
"Cucunya hidup satu rumah (dengan Cicih). Bahkan selain membiayai sehari-hari, ibu Cicih juga membiayai sampai cucunya sekolah. Uang itu juga malah diberikan kepada salah satu anaknya yang menggugat untuk membangun kos-kosan," kata dia.
Dari harta yang disengketakan tersebut, keempat anaknya juga mendapat jatah. AS mendapat bagian seluas 1.070 meter persegi, DR seluas 116,6 meter persegi, AR 324 meter persegi dan AK seluas 222,58 meter persegi.
Sementara Cicih mendapatkan tanah dan bangunan seluas 332 meter persegi. Harta dari suaminya dibagikan sebelum sang suami meninggal dunia.
"Nah setelah dikasih ke anaknya, rumah yang ditempati ibunya dihibahkan juga suaminya ke istrinya (Cicih)," katanya.
Dalam sidang pada Selasa (20/2), Hotma mengatakan, sidang tersebut beragendakan mediasi. Dari keterangan empat anaknya, mereka akan mencabut laporannya dengan beberapa syarat perjanjian.
"Usulan mereka, batalkan perjanjian jual beli, ulangi perjanjian jual beli dengan harga 910 juta karena menurut versi penggugat semeter 10 juta. Faktanya ngarang, harga pasaran tiga juta permeter. Jual beli gak 250 juta, yang 138 juta habis dipakai membangun kos-kosan (salah satu anaknya)," kata dia. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018
"Klien saya Ibu Cicih digugat oleh empat anak kandungnya," ujar Hotma Agus Sihombing selaku kuasa hukum Cicih, saat dihubungi pada Rabu.
Hotma menjelaskan, awal mula gugatan tersebut saat Cicih menjual sebagian tanah warisan dari almarhum suaminya, Udin, seluas 91 meter persegi dari total tanah 332 meter persegi di daerah Kelurahan Cipadung, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung.
Cicih terpaksa menjual tanahnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari akibat utang yang menjeratnya hasil meminjam kepada tetangganya. Tanah 91 meter persegi tersebut dijual Cicih dengan harga Rp250 juta.
"Ibu Cicih enggak punya uang lagi. Dia merasa ada sisa dari hibah suaminya. Karena merasa bagian dia, jadi untuk mempertahankan hidupnya terpaksa dia jual," katanya.
Sepeninggal suaminya, Cicih tidak memiliki penghasilan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari sehingga terpaksa harus berhutang kepada tetangga sekitar. Sementara empat orang anaknya, kata dia, seperti kurang peduli terhadap Cicih bahkan jarang menengoknya.
"Dilupakan intinya. Jadi, kita bayangkan ada seorang janda gak punya suami dan pekerjaan, terus hidup dari mana?," katanya.
Mengetahui tanah dijual, empat orang anaknya tidak setuju dengan apa yang dilakukan Cicih. Mereka beralasan, Cicih, menjual tanah tanpa sepengetahuannya hingga akhirnya membawa kasus tersebut ke meja hijau.
Lanjut Hotma, uang hasil penjualan tanah tidak seluruhnya dibayarkan untuk melunasi utang, namun termasuk membiayai sekolah cucu dari salah satu anak yang menggugatnya.
"Cucunya hidup satu rumah (dengan Cicih). Bahkan selain membiayai sehari-hari, ibu Cicih juga membiayai sampai cucunya sekolah. Uang itu juga malah diberikan kepada salah satu anaknya yang menggugat untuk membangun kos-kosan," kata dia.
Dari harta yang disengketakan tersebut, keempat anaknya juga mendapat jatah. AS mendapat bagian seluas 1.070 meter persegi, DR seluas 116,6 meter persegi, AR 324 meter persegi dan AK seluas 222,58 meter persegi.
Sementara Cicih mendapatkan tanah dan bangunan seluas 332 meter persegi. Harta dari suaminya dibagikan sebelum sang suami meninggal dunia.
"Nah setelah dikasih ke anaknya, rumah yang ditempati ibunya dihibahkan juga suaminya ke istrinya (Cicih)," katanya.
Dalam sidang pada Selasa (20/2), Hotma mengatakan, sidang tersebut beragendakan mediasi. Dari keterangan empat anaknya, mereka akan mencabut laporannya dengan beberapa syarat perjanjian.
"Usulan mereka, batalkan perjanjian jual beli, ulangi perjanjian jual beli dengan harga 910 juta karena menurut versi penggugat semeter 10 juta. Faktanya ngarang, harga pasaran tiga juta permeter. Jual beli gak 250 juta, yang 138 juta habis dipakai membangun kos-kosan (salah satu anaknya)," kata dia. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2018