Samarinda (ANTARA Kaltim) - Aksi puluhan buruh di Kota Samarinda, Kalimantan Timur tergabung dalam Serikat Buruh Sejatera Indonesia (SBSI) 1992 menyuarakan lima tuntutan penghambat kesejahteraan buruh, agar dapat dipenuhi oleh pemerintah.

"Lima tuntutan itu adalah pertama, kami minta gubernur Kaltim melakukan perbaikan kinerja aparatur Dinas Tenaga Kerja," ujar koordinator aksi Sultan Loren Nana Sukarna dalam demonstrasi di Taman Samarendah, Samarinda, Senin.

Sultan yang juga Sekretaris DPD SBSI 1992 Provinsi Kaltim itu melanjutkan, tuntutan kedua adalah pemerintah harus menegakkan hukum ketenagakerjaan, tuntutan ketiga minta upah pegawai honorer sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Kaltim karena saat ini sebagian besar upah pegawai honorer jauh di bawah UMP.

Tuntutan keempat adalah buruh minta pemerintah menghapuskan sistem kerja paksa di perkebunan alias buruh harian lepas (BHL) perkebunan sawit, dan tuntutan kelima mereka minta kepala daerah mencopot pejabat terutama di lingkungan ketenagakerjaan yang dinilai tidak memiliki kompetensi di bidangnya.

"Memang ada beberapa pejabat yang kompeten, tapi lebih banyak pejabat yang tidak kompeten sehingga mereka tidak mengerti hukum dan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan. Anehnya, orang yang kompeten justru diganti dengan pejabat yang tidak kompeten," katanya pula.

Dalam aksi tersebut, Sultan juga menyatakan Dinas Tenaga Kerja lebih banyak berpihak kepada pengusaha, bahkan ada pejabat di Disnakertrans justru mengadu domba agar menciptakan permusuhan antara serikat buruh.

Terkait dengan sistem kerja paksa yang diterapkan oleh perusahaan perkunan sawit, lanjutnya, buruh dipaksa mulai kerja jam 6 pagi hingga jam 6 sore dengan upah hanya Rp2,4 juta per bulan. Padahal berdasarkan UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, lama bekerja maksimal delapan jam per hari, lebih dari itu berarti dihitung lembur.

Berdasarkan UU tersebut, jam kerja adalah waktu untuk melakukan pekerjaan yang dapat dilaksanakan siang atau malam hari. Jam kerja bagi para pekerja di sektor swasta diatur dalam UU ini khususnya pasal 77 sampai dengan pasal 85.

Pasal 77 ayat 1 mewajibkan setiap pengusaha melaksanakan ketentuan jam kerja yang telah diatur dalam dua sistem, yakni 7 jam kerja dalam sehari atau 40 jam kerja dalam seminggu untuk 6 hari kerja, atau 8 jam kerja sehari atau 40 jam kerja dalam seminggu untuk 5 hari kerja.

"Apabila melebihi dari ketentuan waktu kerja tersebut, maka waktu kerja harus masuk sebagai lembur sehingga pekerja atau buruh berhak atas upah lembur. Inilah yang harus ditegakkan pemerintah karena pemerintah yang membuat undang-undang ini," kata Sultan lagi. (*)

Pewarta: M Ghofar

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017