Samarinda (ANTARA Kaltim) - - Komunitas pegiat sungai yang tergabung dalam Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM) Samarinda, Kalimantan Timur, telah mendesain bangunan sekolah sungai dengan mengunggulkan kearifan lokal.
"Arsiteknya adalah anggota GMSS-SKM juga yang merupakan insinyur muda jebolan perguruan tinggi dari Yogyakarta," ujar Ketua GMSS-SKM Misman di Samarinda, Senin.
Ia mengemukakan desain sekolah Sungai Karang Mumus (SKM) memiliki konsekuensi terhadap pertimbangan ekologis, bahkan telah memenuhi dasar-dasar paradigma yang beridentitas kearifan lokal.
Sekolah SKM, ujar Misman, bukan hanya ditujukan bagi pelajar SD-SMA dan masyarakat, tetapi justru menitikberatkan pada pejabat baik di lingkungan Pemkot Samarinda maupun Pemprov Kaltim, karena mereka inilah yang memiliki wewenang terhadap pembangunan sungai yang ramah.
Sementar itu, Ir Ahmad Ricky selaku arsitek Sekolah SKM menuturkan keberadaan sekolah itu sebagai ruang edukasi praktik terhadap sungai, yang diyakini dapat menjadi jawaban atas keresahan masyarakat terhadap kebersihan dan kualitas sungai sebagai induk suatu peradaban.
Sekolah SKM yang direncanakan sebagai ruang edukasi terkait kebersihan dan kualitas sungai lebih menekankan pada praktik ketimbang teori, sehingga kebutuhan ruang kelas tidak harus besar dan menampung banyak siswa.
"Hal ini merupakan tindakan preventif atas terjadinya kaum sophis ekolog yang sering berbicara mengenai sungai, namun tidak pernah mencelupkan jarinya ke sungai, karena mereka hanya pintar omong tapi tidak berbuat riil," ujar Ahmad.
Orientasi bangunan yang bipolar-hipokit yakni menghadap darat sebagai ruang entrance, namun laksana berdiri membelakangi, wajah bangunan justru terbuka dan menghadap kepada sungai sebagai wilayah yang didedikasikan oleh siswanya).
Hal ini juga dilakukan untuk menanggapi aktivitas angin, yakni bangunan yang terbuka ke arah sungai merupakan upaya menjadikan bangunan sebagai lorong angin yang dibutuhkan untuk kenyamanan thermal/suhu bagi penghuni bangunan.
"Arah matahari menjadi salah satu pertimbangan dasar dalam desainnya, bangunan yang tidak secara langsung menghadap matahari terbit dan tenggelam, melainkan sedikit miring adalah upaya untuk menghindari panas berlebih dalam bangunan yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan belajar," jelasnya.
Untuk posisi bangunan berada di luar batas sempadan sungai, hal ini untuk mempertegas keberadaan sempadan itu sendiri dengan peletakkan penanda batas dalam bentuk gerbang.
"Pada dasarnya, bangunan ini menerapkan konsep vernacular-biomimicry, yakni arsitektur vernacular yang mengacu berdasarkan pertimbangan tradisi lokal, bahan bangunan berasal dari lokal, dan karakteristik site sekitar seperti iklim dan kondisi lokal lainnya," kata Ahmad lagi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017
"Arsiteknya adalah anggota GMSS-SKM juga yang merupakan insinyur muda jebolan perguruan tinggi dari Yogyakarta," ujar Ketua GMSS-SKM Misman di Samarinda, Senin.
Ia mengemukakan desain sekolah Sungai Karang Mumus (SKM) memiliki konsekuensi terhadap pertimbangan ekologis, bahkan telah memenuhi dasar-dasar paradigma yang beridentitas kearifan lokal.
Sekolah SKM, ujar Misman, bukan hanya ditujukan bagi pelajar SD-SMA dan masyarakat, tetapi justru menitikberatkan pada pejabat baik di lingkungan Pemkot Samarinda maupun Pemprov Kaltim, karena mereka inilah yang memiliki wewenang terhadap pembangunan sungai yang ramah.
Sementar itu, Ir Ahmad Ricky selaku arsitek Sekolah SKM menuturkan keberadaan sekolah itu sebagai ruang edukasi praktik terhadap sungai, yang diyakini dapat menjadi jawaban atas keresahan masyarakat terhadap kebersihan dan kualitas sungai sebagai induk suatu peradaban.
Sekolah SKM yang direncanakan sebagai ruang edukasi terkait kebersihan dan kualitas sungai lebih menekankan pada praktik ketimbang teori, sehingga kebutuhan ruang kelas tidak harus besar dan menampung banyak siswa.
"Hal ini merupakan tindakan preventif atas terjadinya kaum sophis ekolog yang sering berbicara mengenai sungai, namun tidak pernah mencelupkan jarinya ke sungai, karena mereka hanya pintar omong tapi tidak berbuat riil," ujar Ahmad.
Orientasi bangunan yang bipolar-hipokit yakni menghadap darat sebagai ruang entrance, namun laksana berdiri membelakangi, wajah bangunan justru terbuka dan menghadap kepada sungai sebagai wilayah yang didedikasikan oleh siswanya).
Hal ini juga dilakukan untuk menanggapi aktivitas angin, yakni bangunan yang terbuka ke arah sungai merupakan upaya menjadikan bangunan sebagai lorong angin yang dibutuhkan untuk kenyamanan thermal/suhu bagi penghuni bangunan.
"Arah matahari menjadi salah satu pertimbangan dasar dalam desainnya, bangunan yang tidak secara langsung menghadap matahari terbit dan tenggelam, melainkan sedikit miring adalah upaya untuk menghindari panas berlebih dalam bangunan yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan belajar," jelasnya.
Untuk posisi bangunan berada di luar batas sempadan sungai, hal ini untuk mempertegas keberadaan sempadan itu sendiri dengan peletakkan penanda batas dalam bentuk gerbang.
"Pada dasarnya, bangunan ini menerapkan konsep vernacular-biomimicry, yakni arsitektur vernacular yang mengacu berdasarkan pertimbangan tradisi lokal, bahan bangunan berasal dari lokal, dan karakteristik site sekitar seperti iklim dan kondisi lokal lainnya," kata Ahmad lagi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017