Balikpapan (ANTARA Kaltim) -  Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia menyebutkan beberapa pasal dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kalimantan Timur mengatur hingga berlebihan hak warga untuk merokok.

Menurut Ketua Umum AMTI Budidoyo di Balikpapan, Senin, pasal 16 dan 17 Raperda KTR bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

"Secara hukum, peraturan di tingkat nasional menjadi acuan bagi peraturan daerah dan peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang hirarkinya lebih tinggi," tegas Budidoyo.

Budidoyo mencontohkan pada pasal 16 dan 17 Raperda KTR yang melarang promosi, iklan, dan penjualan, jelas bertentangan dengan PP 109/2012 pasal 50 ayat 2 yang sama sekali tidak melarang kegiatan menjual, mempromosikan dan beriklan.

"Pasal ini menghilangkan hak produsen untuk mengomunikasikan produknya kepada konsumen," kata Budidoyo.

Hal ini juga bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa konsumen memiliki hak atas informasi mengenai produk barang dan atau jasa.

Malah, tambah Budidoyo, Raperda KTR yang tengah dibahas ini tidak mengatur kewajiban penyediaan tempat khusus merokok, terutama di tempat kerja dan tempat umum, sebagaimana yang diamanatkan oleh PP 109/2012.

Dalam industri tembakau begitu banyak yang terlibat, karena untuk menjadi rokok yang kemudian diisap konsumen, dimulai oleh petani tembakau, petani cengkeh, pemetik tembakau dan cengkeh, pedagang pengepul, pabrik rokok, buruh pabrik, semua yang ada di jalur distribusi seperti toko besar hingga warung kecil.

"Usulan ketentuan dalam Raperda KTR Provinsi Kalimantan Timur ini merugikan para pabrikan produk tembakau, merugikan mulai dari pedagang di toko tradisional dan modern, pekerja pabrikan rokok sekaligus petani tembakau dan cengkeh," lanjut Budidoyo.

Ia berharap DPRD dan Pemprov Kaltim segera meninjau kembali isi raperda tersebut, sehingga saat disahkan nanti bisa dilaksanakan di lapangan.

"Kami tidak anti-aturan. Tapi, mari sepakati aturan yang bisa kita laksanakan bersama," tambah Hananto Wibisono, Ketua Departemen Media AMTI.

Di Indonesia, industri tembakau menyerap lebih dari 6 juta tenaga kerja, dengan penerimaan negara dari cukai rokok mencapai 11,3 persen dari total penerimaan negara dari pajak atau 9,5 dari total penerimaan negara pada 2015.

"Industri hasil tembakau saat ini telah berada dalam tekanan yang besar dengan kebijakan cukai dan pajak. Kami berharap pemerintah daerah tidak menambahkannya dengan kebijakan kawasan tanpa rokok yang eksesif," katanya. (*)

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2017