Jakarta (ANTARA News) - Musim haji 1437 Hijriyah atau 2016 Masehi sudah dekat. Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) makin sibuk. Belum usai pengurusan dokumen anggota jamaah haji, tahun ini ada aturan baru menyangkut kemampuan menjalankan ibadah berhaji (istithaah).
Terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016, tidak dapat dilepaskan dari pengalaman dan kisah memilukan pada penyelenggaraan ibadah haji sebelumnya.
Ada kisah orang lanjut usia nekad, meski sakit ingin pergi haji lantaran terdorong ingin meninggal di Tanah Suci terdengar sangat mengharukan. Namun, hal itu harus dicegah karena dari sisi istithaah haji sesungguhnya sudah tidak terpenuhi.
Kisah pemalsuan dokumen jemaah haji dengan cara menukar foto paspor dan buku kesehatan orang lain yang dilakukan oleh penyelenggara ibadah haji khusus pernah terungkap pihak imigrasi. Kasus itu sangat menyakitkan karena anggota jamaah bersangkutan tidak dapat berangkat haji.
Cerita lainnya, ada anggota jamaah hamil mengelabui petugas kesehatan haji dengan cara menukar urine, tatkala dilakukan pemeriksaan di embarksi keberangkatan, juga menjadi gambaran betapa nekadnya dia untuk mendapatkan predikat hajiah meski disadari bahwa tindakannya itu dapat berakibat fatal ketika menunaikan ibadah haji di Tanah Suci.
Patut disayangkan manakala ada yang memuji orang tua yang melahirkan di Tanah Suci saat berhaji. Dari sisi aturan, ada pelanggaran yang tidak dapat ditoleransi.
Kisah keluhan petugas haji di Makkah, Madinah dan Arafah yang hanya melayani seorang pasien cuci darah, sehingga tak mampu melayani pasien lain karena jumlahnya terlalu banyak juga sudah terungkap. Banyak anggota jamaah haji jadi terlantar hanya disebabkan tenaga kesehatan terkuras tenaganya mengurusi pasien seperti itu.
Dr Dadang Baskoro Nugroho, SpPD, seorang PPIH BPHI Makkah mengungkap, tahun lalu tercatat 81 anggota jamaah haji Indonesia menjalani dialisis rutin.
Biasanya, pasien yang menderita gagal ginjal kronik harus cuci darah (hemodialisis) di rumah sakit Arab Saudi (RSAS) sebanyak dua kali dalam seminggu.
Setiap pasien harus dilayani petugas kelompok terbang (kloter) yang bergantian dengan petugas Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) Makkah.
Usai menjalani dialisis, pasien diantar menggunakan ambulan ke pondokan. Rutinitas itu dilakukan secara rutin, selama di Makkah. Jika kasus tersebut banyak dialami anggota jamaah haji, maka semakin banyak pula tenaga PPIH yang terkuras untuk mengurusi pasien.
Belum lagi anggota jamaah haji yang mengidap sakit gula (diabetes melitus) dengan hipertensi, disertai komplikasi kaki gangren (terluka membusuk), akibatnya harus menjalani perawatan di BPHI Makkah, untuk membersihkan lukanya secara berkala. Jika penderita tak ditangani, maka dapat mengancam keselamatan jiwanya.
Petugas penghubung kesehatan Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan dr Ramon Andrias menyebutkan jamaah haji Indonesia yang wafat cenderung meningkat.
Pada 2012 tercatat 428 anggota jamaah haji Indonesia yang wafat. Tahun berikutnya sedikit menurun, dan tercatat pada 2013 ada 236 orang, kemudian pada 2014 sebanyak 297 jemaah.
Sedangkan, jemaah wafat pada 2015 tercatat mencapai 628 orang. Peristiwa jatuhnya crane di Makkah membawa korban sebanyak 12 orang, dan insiden Mina 125 orang, kemudian meninggal akibat sakit selama berada di Tanah Suci sebanyak 491 orang.
Beranjak dari kasus-kasus tersebut, Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Agama terus mencari solusi untuk menekan tingginya angka kematian pada penyelenggaraan ibadah haji. Namun, upaya tersebut tidak serta merta dapat terwujud. Pasalnya, problematik penyelenggaraan haji demikian kompleks, tidak semudah seperti membalikan telapak tangan.
Meski "tangan kotor" telah disingkirkan dalam penyelenggaran haji, namun para pemangku kepentingan harus meningkatkan koordinasi. Memobilisasi orang dalam jumlah besar ke Arab Saudi, dengan strata sosial berbeda-beda dan usia yang bervariasi, tidak cukup mengandalkan kemampuan petugas kesehatan tuan rumah sebagai penjaga dua kota suci.
Arab Saudi, memiliki otoritas kuat sebagai penyelenggara ibadah haji. Sebagai tuan rumah tamu-tamu Allah, negara ini sangat menjaga integritasnya. Dalam pengaturan urusan haji, Saudi tidak mau "digurui", apalagi diintervensi.
Indonesia, sebagai pengirim jamaah haji terbanyak yang pernah mencapai 211.000 orang sebelum dipotong 20 persen sebagai dampak perluasan Masjidil Haram, berkepentingan mengetahui seluruh kebijakan negara petro dolar tesebut.
Tujuannya adalah agar Kementerian Agama dapat menata penyelenggaraan haji lebih baik, khususnya menyangkut kesiapan pemberangkatan dari sisi istithaah, yakni kesehatan, fisik dan finansial, termasuk dalam hal urusan dokumentasi imigrasi dan kesehatan, pemondokan, transportasi hingga pemulangan jemaah haji kembali ke Tanah Air.
Istithaah kesehatan
Aturan kesehatan haji akhirnya keluar. Regulasi itu sudah lama dinantikan, yang kemudian dikenal Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istithaah Kesehatan Jemaah Haji. Permenkes tersebut keluar pada 23 Maret 2016 yang ditandatangani Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek, dan diundangkan di Jakarta pada 11 April 2016.
Permenkes tersebut merupakan upaya pemerintah menekan tingginya angka kematian jemaah haji lantaran gangguan kesehatan sebelum berangkat. Selain itu, aturan diarahkan untuk meningkatkan pelayanan sehingga jamaah dapat melaksanakan ritual haji sesuai dengan tuntunan rukun haji. Harapannya, kembali ke Tanah Air menjadi haji mabrur.
Terbitnya Permenkes itu dapat dimaknai bahwa penyelenggaraan haji kini memaki babak baru. Khususnya istithaah dari sisi kesehatan yang dapat dipandang sebagai paradigm baru.
Secara umum istithaah adalah kemampuan jamaah haji secara jasmaniah, ruhaniah, pembekalan dan keamanan untuk menunaikan ibadah haji tanpa menelantarkan kewajiban terhadap keluarga.
Sedangkan, istithaah kesehatan jemaah haji adalah kemampuan jamaah haji dari aspek kesehatan yang meliputi fisik dan mental yang terukur dengan pemeriksaan yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga jamaah haji dapat menjalankan ibadahnya sesuai tuntunan Agama Islam.
Menunaikan ibadah haji ke masa depan sangat ditekankan pada hasil pemeriksaan kesehatan jamaah haji. Pemeriksaan kesehatan jamaah haji adalah rangkaian kegiatan penilaian status kesehatan jamaah haji yang diselenggarakan secara komprehensif.
Dalam Permenkes itu juga dijelaskan pembinaan istithaah kesehatan haji sebagai serangkaian kegiatan terpadu, terencana, terstruktur dan terukur, diawali dengan pemeriksaan kesehatan pada saat mendaftar menjadi jamaah haji sampai masa keberangkatan ke Arab Saudi.
Kementerian Kesehatan RI juga membentuk tim penyelenggara kesehatan haji kabupatan/kota. Tim tersebut ditetapkan oleh bupati/walikota untuk menjalankan fungsi penyelenggaraan kesehatan haji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, PPIH embarkasi dibentuk oleh Menteri Agama untuk melakukan pembinaan, pelayanan dan perlindungan jamaah haji pada saat pelaksanaan operasional ibadah haji di embarkasi.
Hal yang patut digarisbawahi adalah pemeriksaan kesehatan dilakukan sebagai dasar pelaksanaan pembinaan kesehatan jamaah haji dalam rangka istithaah kesehatan jamaah haji. Pemeriksaan kesehatan tersebut dilakukan dalam tiga tahapan.
Tahap pertama, dilaksanakan oleh tim penyelenggara kesehatan haji kabupaten/kota di pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) dan/atau rumah sakit pada saat jamaaah haji melakukan pendaftaran untuk mendapat kan nomor porsi.
Tahap kedua, dilaksanakan oleh tim penyelenggara kesehatan haji kabupaten/kota di Puskesmas dan/atau rumah sakit pada saat pemeriksaan telah menentu kan kepastian keberangkatan jamaah haji pada tahun berjalan.
Tahap ketiga, pemeriksaan dilaksanakan oleh PPIH embarkasi bidang kesehatan di embarkasi pada saat jamaah haji menjelang pemberangkatan.
Dari hasil pemeriksaan pertama, tentu, sudah ditetapkan status kesehatan jamaah haji risiko tinggi atau tidak risiko tinggi.
Status kesehatan risiko tinggi ditetapkan dengan kriteria berusia 60 tahun atau lebih dan/atau memiliki faktor risiko kesehatan dan gangguan kesehatan yang potensial menyebabkan keterbatasan dalam melaksnakan ibadah haji.
Penetapan status kesehatan jemaah haji Risiko tinggi di tuangkan dalam surat keterangan hasil pemeriksaan kesehatan jamaah haji yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh dokter pemeriksa kesehatan haji.
Berdasarkan pemeriksaan kesehatan tahap kedua ditetapkan istithaah kesehatan jamaah haji yang meliputi memenuhi syarat istithaah kesehatan haji, memenuhi syarat istithaah kesehatan haji dengan pendampingan, tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji untuk sementara, atau tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji.
Jamaah haji yang ditetapkan memenuhi syarat istithaah kesehatan haji merupakan jamaah haji yang memiliki kemampuan mengikuti proses ibadah haji tanpa bantuan obat, alat dan/atau orang lain dengan tingkat kebugaran jasmani setidaknya dengan kategori cukup.
Penentuan tingkat kebugaran dilakukan melalui pemeriksaan kebugaran yang disesuaikan dengan karakteristik individu jamaah haji. Jamaah haji tersebut wajib berperan aktif dalam kegiatan promotif dan preventif.
Jemaah haji yang ditetapkan memenuhi syarat istithaah kesehatan haji dengan pendampingan, merupakan jemaah haji dengan kriteria berusia 60 tahun atau lebih, atau menderita penyakit tertentu yang tidak masuk dalam kriteria tidak memenuhi syarat istithaah sementara dan/atau tidak memenuhi syarat istithaah.
Jemaah haji yang ditetapkan tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji untuk sementara, merupakan jemaah haji dengan kriteria tidak memiliki sertifikat vaksinasi internasional (ICV) yang sah, menderita penyakit tertentu yang berpeluang sembuh, antara lain tuberkulosis (TB) sputum BTA positif, TB multi-drug resistance, DM tidak terkontrol, hiper tiroid, HIV-AIDS dengan diare kronik, stroke akut, pendarahan saluran cerna dan anemia gravis.
Selain itu, suspek (suspect) dan/atau ada penegasan terjangkit penyakit menular yang potensial wabah, psikosis akut, fraktur tungkai yang membutuhkan immobilisasi, fraktur tulang belakang tanpa komplikasi neurologis, hamil yang diprediksi hamilnya pada saat berangkat kurang dari 14 minggu atau lebih dari 26 minggu.
Jamaah haji yang ditetapkan tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji, merupakan jemaah haji dengan kriteria kondisi klinis yang dapat mengancam jiwa, antara lain penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) derajat IV, gagal jantung stadium IV, kegagalan fungsi ginjal kronis (cronic kidney disease) stadium IV dengan paritoneal dialysis/hemodialisis reguler, AIDS stadium IV dengan infeksi oportunistik, stroke haemorhagic luas.
Kemudian, gangguan jiwa berat, antara lain skizofrenia berat, dimensia berat dan retardasi mental berat dengan penyakit yang sulit diharap kan kesembuhan nya, antara lain keganasan stadium akhir, tuberculosis totaly drug resistance (TDR), sirosis atau hepatoma decom pensate.
Terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016 tentang istithaah kesehatan Jemaah haji, yang ditandatangani Menkes Nila Farid Moeloek pada 23 Maret 2016 dan dinyatakan berlaku pada 11 April 2016, jika ditelaah lebih jauh, maka telah mengatur wilayah hak ibadah bagi umat Islam.
Sayangnya, aturan tersebut meski sudah dinyatakan berlaku belum terdengar disosialisasikan. Bisa jadi, dalam tataran pelaksanaannya akan berhadapan dengan calon jamaah haji yang sudah memiliki nomor giliran keberangkatan. Secara tidak langsung, aturan tersebut dapat memangkas jumlah daftar antrean jemaah haji.
Namun, peraturan baru tersebut harus dimaknai sebagai satu wujud keseriusan Kementerian Kesehatan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan penyelenggaraan ibadah haji bersama Kementerian Agama dan seluruh pemangku kepentingan lainnya.
Hal itu sejalan dengan Undang Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji Nomor 13 tahun 2008 bahwa penyelenggaraan ibadah haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya.
Penyelenggaraan ibadah haji merupakan rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan ibadah haji yang meliputi pembinaan, pelayanan dan perlindungan jemaah haji. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016
Terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016, tidak dapat dilepaskan dari pengalaman dan kisah memilukan pada penyelenggaraan ibadah haji sebelumnya.
Ada kisah orang lanjut usia nekad, meski sakit ingin pergi haji lantaran terdorong ingin meninggal di Tanah Suci terdengar sangat mengharukan. Namun, hal itu harus dicegah karena dari sisi istithaah haji sesungguhnya sudah tidak terpenuhi.
Kisah pemalsuan dokumen jemaah haji dengan cara menukar foto paspor dan buku kesehatan orang lain yang dilakukan oleh penyelenggara ibadah haji khusus pernah terungkap pihak imigrasi. Kasus itu sangat menyakitkan karena anggota jamaah bersangkutan tidak dapat berangkat haji.
Cerita lainnya, ada anggota jamaah hamil mengelabui petugas kesehatan haji dengan cara menukar urine, tatkala dilakukan pemeriksaan di embarksi keberangkatan, juga menjadi gambaran betapa nekadnya dia untuk mendapatkan predikat hajiah meski disadari bahwa tindakannya itu dapat berakibat fatal ketika menunaikan ibadah haji di Tanah Suci.
Patut disayangkan manakala ada yang memuji orang tua yang melahirkan di Tanah Suci saat berhaji. Dari sisi aturan, ada pelanggaran yang tidak dapat ditoleransi.
Kisah keluhan petugas haji di Makkah, Madinah dan Arafah yang hanya melayani seorang pasien cuci darah, sehingga tak mampu melayani pasien lain karena jumlahnya terlalu banyak juga sudah terungkap. Banyak anggota jamaah haji jadi terlantar hanya disebabkan tenaga kesehatan terkuras tenaganya mengurusi pasien seperti itu.
Dr Dadang Baskoro Nugroho, SpPD, seorang PPIH BPHI Makkah mengungkap, tahun lalu tercatat 81 anggota jamaah haji Indonesia menjalani dialisis rutin.
Biasanya, pasien yang menderita gagal ginjal kronik harus cuci darah (hemodialisis) di rumah sakit Arab Saudi (RSAS) sebanyak dua kali dalam seminggu.
Setiap pasien harus dilayani petugas kelompok terbang (kloter) yang bergantian dengan petugas Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) Makkah.
Usai menjalani dialisis, pasien diantar menggunakan ambulan ke pondokan. Rutinitas itu dilakukan secara rutin, selama di Makkah. Jika kasus tersebut banyak dialami anggota jamaah haji, maka semakin banyak pula tenaga PPIH yang terkuras untuk mengurusi pasien.
Belum lagi anggota jamaah haji yang mengidap sakit gula (diabetes melitus) dengan hipertensi, disertai komplikasi kaki gangren (terluka membusuk), akibatnya harus menjalani perawatan di BPHI Makkah, untuk membersihkan lukanya secara berkala. Jika penderita tak ditangani, maka dapat mengancam keselamatan jiwanya.
Petugas penghubung kesehatan Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan dr Ramon Andrias menyebutkan jamaah haji Indonesia yang wafat cenderung meningkat.
Pada 2012 tercatat 428 anggota jamaah haji Indonesia yang wafat. Tahun berikutnya sedikit menurun, dan tercatat pada 2013 ada 236 orang, kemudian pada 2014 sebanyak 297 jemaah.
Sedangkan, jemaah wafat pada 2015 tercatat mencapai 628 orang. Peristiwa jatuhnya crane di Makkah membawa korban sebanyak 12 orang, dan insiden Mina 125 orang, kemudian meninggal akibat sakit selama berada di Tanah Suci sebanyak 491 orang.
Beranjak dari kasus-kasus tersebut, Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Agama terus mencari solusi untuk menekan tingginya angka kematian pada penyelenggaraan ibadah haji. Namun, upaya tersebut tidak serta merta dapat terwujud. Pasalnya, problematik penyelenggaraan haji demikian kompleks, tidak semudah seperti membalikan telapak tangan.
Meski "tangan kotor" telah disingkirkan dalam penyelenggaran haji, namun para pemangku kepentingan harus meningkatkan koordinasi. Memobilisasi orang dalam jumlah besar ke Arab Saudi, dengan strata sosial berbeda-beda dan usia yang bervariasi, tidak cukup mengandalkan kemampuan petugas kesehatan tuan rumah sebagai penjaga dua kota suci.
Arab Saudi, memiliki otoritas kuat sebagai penyelenggara ibadah haji. Sebagai tuan rumah tamu-tamu Allah, negara ini sangat menjaga integritasnya. Dalam pengaturan urusan haji, Saudi tidak mau "digurui", apalagi diintervensi.
Indonesia, sebagai pengirim jamaah haji terbanyak yang pernah mencapai 211.000 orang sebelum dipotong 20 persen sebagai dampak perluasan Masjidil Haram, berkepentingan mengetahui seluruh kebijakan negara petro dolar tesebut.
Tujuannya adalah agar Kementerian Agama dapat menata penyelenggaraan haji lebih baik, khususnya menyangkut kesiapan pemberangkatan dari sisi istithaah, yakni kesehatan, fisik dan finansial, termasuk dalam hal urusan dokumentasi imigrasi dan kesehatan, pemondokan, transportasi hingga pemulangan jemaah haji kembali ke Tanah Air.
Istithaah kesehatan
Aturan kesehatan haji akhirnya keluar. Regulasi itu sudah lama dinantikan, yang kemudian dikenal Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istithaah Kesehatan Jemaah Haji. Permenkes tersebut keluar pada 23 Maret 2016 yang ditandatangani Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek, dan diundangkan di Jakarta pada 11 April 2016.
Permenkes tersebut merupakan upaya pemerintah menekan tingginya angka kematian jemaah haji lantaran gangguan kesehatan sebelum berangkat. Selain itu, aturan diarahkan untuk meningkatkan pelayanan sehingga jamaah dapat melaksanakan ritual haji sesuai dengan tuntunan rukun haji. Harapannya, kembali ke Tanah Air menjadi haji mabrur.
Terbitnya Permenkes itu dapat dimaknai bahwa penyelenggaraan haji kini memaki babak baru. Khususnya istithaah dari sisi kesehatan yang dapat dipandang sebagai paradigm baru.
Secara umum istithaah adalah kemampuan jamaah haji secara jasmaniah, ruhaniah, pembekalan dan keamanan untuk menunaikan ibadah haji tanpa menelantarkan kewajiban terhadap keluarga.
Sedangkan, istithaah kesehatan jemaah haji adalah kemampuan jamaah haji dari aspek kesehatan yang meliputi fisik dan mental yang terukur dengan pemeriksaan yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga jamaah haji dapat menjalankan ibadahnya sesuai tuntunan Agama Islam.
Menunaikan ibadah haji ke masa depan sangat ditekankan pada hasil pemeriksaan kesehatan jamaah haji. Pemeriksaan kesehatan jamaah haji adalah rangkaian kegiatan penilaian status kesehatan jamaah haji yang diselenggarakan secara komprehensif.
Dalam Permenkes itu juga dijelaskan pembinaan istithaah kesehatan haji sebagai serangkaian kegiatan terpadu, terencana, terstruktur dan terukur, diawali dengan pemeriksaan kesehatan pada saat mendaftar menjadi jamaah haji sampai masa keberangkatan ke Arab Saudi.
Kementerian Kesehatan RI juga membentuk tim penyelenggara kesehatan haji kabupatan/kota. Tim tersebut ditetapkan oleh bupati/walikota untuk menjalankan fungsi penyelenggaraan kesehatan haji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, PPIH embarkasi dibentuk oleh Menteri Agama untuk melakukan pembinaan, pelayanan dan perlindungan jamaah haji pada saat pelaksanaan operasional ibadah haji di embarkasi.
Hal yang patut digarisbawahi adalah pemeriksaan kesehatan dilakukan sebagai dasar pelaksanaan pembinaan kesehatan jamaah haji dalam rangka istithaah kesehatan jamaah haji. Pemeriksaan kesehatan tersebut dilakukan dalam tiga tahapan.
Tahap pertama, dilaksanakan oleh tim penyelenggara kesehatan haji kabupaten/kota di pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) dan/atau rumah sakit pada saat jamaaah haji melakukan pendaftaran untuk mendapat kan nomor porsi.
Tahap kedua, dilaksanakan oleh tim penyelenggara kesehatan haji kabupaten/kota di Puskesmas dan/atau rumah sakit pada saat pemeriksaan telah menentu kan kepastian keberangkatan jamaah haji pada tahun berjalan.
Tahap ketiga, pemeriksaan dilaksanakan oleh PPIH embarkasi bidang kesehatan di embarkasi pada saat jamaah haji menjelang pemberangkatan.
Dari hasil pemeriksaan pertama, tentu, sudah ditetapkan status kesehatan jamaah haji risiko tinggi atau tidak risiko tinggi.
Status kesehatan risiko tinggi ditetapkan dengan kriteria berusia 60 tahun atau lebih dan/atau memiliki faktor risiko kesehatan dan gangguan kesehatan yang potensial menyebabkan keterbatasan dalam melaksnakan ibadah haji.
Penetapan status kesehatan jemaah haji Risiko tinggi di tuangkan dalam surat keterangan hasil pemeriksaan kesehatan jamaah haji yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh dokter pemeriksa kesehatan haji.
Berdasarkan pemeriksaan kesehatan tahap kedua ditetapkan istithaah kesehatan jamaah haji yang meliputi memenuhi syarat istithaah kesehatan haji, memenuhi syarat istithaah kesehatan haji dengan pendampingan, tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji untuk sementara, atau tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji.
Jamaah haji yang ditetapkan memenuhi syarat istithaah kesehatan haji merupakan jamaah haji yang memiliki kemampuan mengikuti proses ibadah haji tanpa bantuan obat, alat dan/atau orang lain dengan tingkat kebugaran jasmani setidaknya dengan kategori cukup.
Penentuan tingkat kebugaran dilakukan melalui pemeriksaan kebugaran yang disesuaikan dengan karakteristik individu jamaah haji. Jamaah haji tersebut wajib berperan aktif dalam kegiatan promotif dan preventif.
Jemaah haji yang ditetapkan memenuhi syarat istithaah kesehatan haji dengan pendampingan, merupakan jemaah haji dengan kriteria berusia 60 tahun atau lebih, atau menderita penyakit tertentu yang tidak masuk dalam kriteria tidak memenuhi syarat istithaah sementara dan/atau tidak memenuhi syarat istithaah.
Jemaah haji yang ditetapkan tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji untuk sementara, merupakan jemaah haji dengan kriteria tidak memiliki sertifikat vaksinasi internasional (ICV) yang sah, menderita penyakit tertentu yang berpeluang sembuh, antara lain tuberkulosis (TB) sputum BTA positif, TB multi-drug resistance, DM tidak terkontrol, hiper tiroid, HIV-AIDS dengan diare kronik, stroke akut, pendarahan saluran cerna dan anemia gravis.
Selain itu, suspek (suspect) dan/atau ada penegasan terjangkit penyakit menular yang potensial wabah, psikosis akut, fraktur tungkai yang membutuhkan immobilisasi, fraktur tulang belakang tanpa komplikasi neurologis, hamil yang diprediksi hamilnya pada saat berangkat kurang dari 14 minggu atau lebih dari 26 minggu.
Jamaah haji yang ditetapkan tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji, merupakan jemaah haji dengan kriteria kondisi klinis yang dapat mengancam jiwa, antara lain penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) derajat IV, gagal jantung stadium IV, kegagalan fungsi ginjal kronis (cronic kidney disease) stadium IV dengan paritoneal dialysis/hemodialisis reguler, AIDS stadium IV dengan infeksi oportunistik, stroke haemorhagic luas.
Kemudian, gangguan jiwa berat, antara lain skizofrenia berat, dimensia berat dan retardasi mental berat dengan penyakit yang sulit diharap kan kesembuhan nya, antara lain keganasan stadium akhir, tuberculosis totaly drug resistance (TDR), sirosis atau hepatoma decom pensate.
Terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016 tentang istithaah kesehatan Jemaah haji, yang ditandatangani Menkes Nila Farid Moeloek pada 23 Maret 2016 dan dinyatakan berlaku pada 11 April 2016, jika ditelaah lebih jauh, maka telah mengatur wilayah hak ibadah bagi umat Islam.
Sayangnya, aturan tersebut meski sudah dinyatakan berlaku belum terdengar disosialisasikan. Bisa jadi, dalam tataran pelaksanaannya akan berhadapan dengan calon jamaah haji yang sudah memiliki nomor giliran keberangkatan. Secara tidak langsung, aturan tersebut dapat memangkas jumlah daftar antrean jemaah haji.
Namun, peraturan baru tersebut harus dimaknai sebagai satu wujud keseriusan Kementerian Kesehatan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan penyelenggaraan ibadah haji bersama Kementerian Agama dan seluruh pemangku kepentingan lainnya.
Hal itu sejalan dengan Undang Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji Nomor 13 tahun 2008 bahwa penyelenggaraan ibadah haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya.
Penyelenggaraan ibadah haji merupakan rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan ibadah haji yang meliputi pembinaan, pelayanan dan perlindungan jemaah haji. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2016