Samarinda (ANTARANews-Kaltim) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Timur mendesak Pemprov Kaltim segera menghentikan  konversi atau alih fungsi 1,3 juta hektar kawasan hutan di provinsi yang memiliki kawasan lahan/hutan sekitar 17 juta Ha itu.

Direktur Eksekutif Walhi Kaltim Isal Wardhana di Samarinda, Jumat ia mengingatkan bahwa program konversi 1,3 juta hektare kawasan hutan itu tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) yang kini dalam proses Timdu (tim terpadu) nantinya akan membawa dampak luas bagi sektor lingkungan jika hal itu terealisasi.

Apalagi,  kerusakan hutan dan lahan di Kaltim terus terjadi tanpa diimbangi dengan program rehabilitasi atau reboisasi yang seimbang dengan laju kerusakan.

Momentum Hari Lingkungan Hidup se-Dunia  5 Juni 2010 mestinya dijadikan sebagai kesempatan bagi pemerintah daerah di Kalimantan Timur agar lebih arif dalam pengelolaan sumber-sumber penghidupan rakyat (SDA) sehingga dampak lingkungan hidup yang ditimbulkan bisa diminimalisir

"Kami menilai pemerintah daerah dan pusat tidak memiliki alasan yang kuat untuk menkonversi atau
mengalih fungsi kawasan hutan itu sebab kebijakan tersebut bertentangan dengan prinsip penyelamatan lingkungan hidup dan hutan," kata Isal Wardhana.

"Apalagi saat ini bencana ekologis seperti banjir besar yang terjadi selama tiga kali setahun, longsor dan meningkatnya rawan bencana di Kaltim serta semakin tingginya tingkat eksploitasi sumber-sumber penghidupan rakyat (SDA) di Kalimantan Timur cenderung meningkat," katanya.

Ia mensinyalir, alih fungsi Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) menjadi Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) hanya bagian dari skema "pencuci" dosa kepala daerah di Kalimantan Timur.

"Keluarnya izin dan pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar di areal KBK, pembangunan jalan dan tambang di Hutan Lindung menjadi bukti ketidakseriusan pemerintah dalam menjaga dan melestarikan hutan yang tersisa. Sementara penegakan hukum terhadap pelanggar lingkungan belum dilakukan secara maksimal," kata Isal Wardhana.

Tingginya tingkat konversi hutan, menurut dia, disebabkan kebijakan kepala daerah yang masih mengandalkan industri ekstraktif untuk mengeruk sumber-sumber penghidupan rakyat (SDA).

"Hal ini bisa dilihat dari rekam jejak daerah yang telah mengeluarkan Izin eksploitasi SDA yang secara langsung berakibat pada perluasan atau ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar, pertambangan dan HPH-TI, sehingga ruang kelola masyarakat terhadap kawasannya termasuk hutan menjadi terbatas dan sempit," katanya.

Proyek konservasi 900.000 hektare hutan melalui REDD (Reduction Emission from Degradation and Deforestation) di Kabupaten Berau dan Malinau berpotensi besar pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terutama hak masyarakat adat yang berada disekitar dan di dalam hutan.  
  
"Padahal, kawasan hutannya tidak pernah mendapatkan apresiasi positif dari pemerintah seperti pengelolaan hutan adat seluas 61.000 hektare di Kabupaten Paser dan 4.000 hektare di komunitas Dayak Basap Teluk Sumbang, Kabupaten Berau," ujar Direktur Eksekutif Walhi Kaltim itu.
Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) di Kalimantan Timur telah mencapai 5,1 juta hektare atau 26,33 persen dari luasan hutan di Kaltim dan jika terdapat penambahan 1,3 juta hektare, maka kenaikannya menjadi sebesar 7,0 persen.

Sementara, jumlah luasan hutan lindung hanya bertambah sekitar 1,2 persen dari 4,6 juta hektare dan Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) berkurang sekitar 10,32 persen dari 9,7 juta hektare.

"Kabupaten Kutai Timur, Kutai Barat dan Kutai Kertanegara adalah dua kabupaten yang memiliki usulan luasan tertinggi untuk konversi kawasan hutan dengan total persentase berkisar 5 hingga 6 persen.  
   
Sedangkan Kabupaten Kutai Barat termasuk dalam kategori kabupaten yang rawan bencana longsor di lima kecamatan yakni, Damai, Long Apari, Long Pahangai, Long Bagun dan Long Iram. Hanya Kota Tarakan saja yang mengalami pengurangan KBNK sebesar 0,10 persen," kata Isal Wardhana.

Rencana tata ruang yang dibangun oleh pemerintah kabupaten/kota dan pemprov, menurut dia, menisbikan kepentingan penyelamatan Lingkungan Hidup dan hutan serta tidak memiliki semangat pelestarian dan kesejahteraan rakyat Kalimantan Timur.

"Proses konsultasi dan sosialisasi kepada masyarakat yang tertuang dalam UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang juga belum dilakukan secara maksimal, sehingga tidak semua masyarakat Kaltim tahu dan faham terhadap perubahan tata ruang sehingga akan berpotensi dan rentan dalam menciptakan konflik horisontal dan vertikal di tingkat masyarakat," ujar Direktur Eksekutif Walhi Kaltim itu.

Pewarta:

Editor : Iskandar Zulkarnaen


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2010