Samarinda (ANTARA News) - Ketika Pemerintahan Orde Baru berkuasa, Bukit Soeharto ibarat sebuah kawasan sakral dan memiliki "wibawa" sangat besar.
Tengok saja, seluruh perusahaan HPH (hak pengusahaan hutan) wajib menanam benih pohon di kawasan itu sebagai bagian dari program perusahaan tersebut.
Bahkan, perusahaan bidang pertambangan juga wajib melakukan "reklamasi pengganti" di kawasan konservasi yang masuk wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim seluas 61.000 Ha.
Kala itu, jika terjadi kebakaran hutan dan lahan yang menimpa kawasan yang dilintasi Jalan Lintas Kalimantan di Kaltim menghubungkan Balikpapan-Samarinda maka seakan-akan seluruh hutan di Indonesia telah terkena musibah sama.
Apalagi, dipastikan berita tentang musibah kebakaran Bukit Soeharto akan menjadi "head line" berbagai media massa.
Besarnya perhatian mata dunia terhadap Bukit Soeharto karena kebijakan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden HM. Soeharto sepertinya menjadikan kawasan dengan ekosistem hutan tropis basah dataran rendah itu menjadi "etalase" mengenai pengelolaan hutan secara lestari.
Faktor utama kawasan itu jadi perhatian karena memiliki potensi keanekaragaman hayati (bio diversity) luar biasa. Faktor lain, diperkirakan karena bahwa kawasan itu merupakan hamparan hutan yang paling mudah dijangkau dan dilihat, mengingat berada pada jalan yang menghubungkan Samarinda dan Balikpapan menjadi alasan Bukit Soeharto menjadi etalase kondisi hutan di Indonesia.
Tak heran, kawasan konservasi itu dulunya dikunjungi sejumlah tamu penting atau tamu-tamu negara Indonesia untuk melihat keberhasilan Soeharto dalam menjaga kelestarian lingkungan, mulai dari Dubes, kepala negara termasuk Ratu Beatrix dari Belanda bersama suaminya.
Penamaan yang sesuai dengan nama Presiden RI kedua itu diperkirakan terkait dengan sebuah kunjungan kerja Soeharto ke Kaltim yang pernah melakukan perjalanan darat dari Balikpapan ke Samarinda melintasi bukit tersebut.
Kenyataannya, pemerintah sangat memperhatikan pengelolaan dan pelestarian Bukit Soeharto, yakni terlihat dari berbagai kebijakan mengenai keberadaan kawasan itu.
Pada 1982 keluar Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 818/Kpts/Um/11/1982 tentang Penetapan Hutan Lindung Bukit Soeharto seluas 27.000 hektar.
Kebijakan lain terhadap kawasan itu, yakni pada 1987 tentang Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 245/Kpts-II/1987 tanggal 18 Agustus 1987; Perubahan status kawasan hutan lindung Bukit Soeharto sekitar 23.800 Ha menjadi hutan wisata dan penunjukan perluasannya dengan kawasan hutan sekitarnya seluas kurang lebih 41.050 Ha sehingga luas Hutan Wisata Bukit Soeharto kurang lebih 64.850 Ha.
Sedangkan pada 1991 dikeluarkan ketetapan bahwa kawasan Hutan Wisata Bukit Soeharto seluas 61.850 Ha sebagai kawasan hutan dengan fungsi sebagai Hutan Wisata melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 270/Kpts-II/1991, 20 Mei 1991.
Pada 2004 Perubahan fungsi Taman Wisata Alam Bukit Soeharto seluas 61.850 hektar menjadi Taman Hutan Raya melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 419/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004.
Pada kepemimpinan Soeharto, mulai dari 1976 telah terbit berbagai kebijakan yang intinya melindungi kawasan itu, sampai terbit lagi kebijakan terakhir pada 1994 mengenai perubahan fungsi Taman Wisata Alam Bukit Soeharto seluas 61.850 Ha menjadi Taman Hutan Raya melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 419/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004.
Begitu rejim Pemerintahan Orde Baru berakhir, berbagai ancaman dan tekanan terus menimpa Bukit Soeharto sehingga kondisinya kini seperti sekarat menanti detik-detik kematian.
Musibah kebakaran hutan dan lahan yang kerap terjadi pada setiap musim kemarau kini kian meningkat kasusnya karena banyaknya warga membuka lahan pertanian dengan sistem pembakaran.
Rumah, warung dan lahan pertanian kian luas menggantikan pohon-pohon penghijauan dan reboisasi yang dulunya wajib ditanam oleh perusahaan HPH atau pertambangan.
Celakanya lagi, berdasarkan data yang berhasil dihimpun oleh Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak menyebutkan bahwa kawasan konservasi itu telah dikavling-kavling oleh 52 perusahaan yang memegang izin KP (kuasa penambangan) dari Pemkab Kutai Kartanegara.
Izin Dephut
Ke-52 perusahaan itu ada dalam tahap melengkapi berbagai adminsitrasi, ekplorasi dan bahkan ternyata sudah ada yang melakukan eksploitasi atau produksi.
Berdasarkan data yang ada di tangan Awang Faroek ternyata pihak yang mengeluarkan izin KP adalah Pemerintah Kabupten Kutar Kartanegara.
"Ironisnya, ada sebuah perusahaan yang telah mendapat izin pinjam pakai di kawasan koservasi itu. Padahal, status kawasan itu sebagai hutan lindung yang kelestariannya sangat dijaga namun ada izin dari Dephut untuk izin pinjam pakai," papar Awang.
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber menyebutkan bahwa justru pihak Dinas Kehutanan Kaltim terlibat dalam pemberian izin penggunaan jalan dalam kawasan hutan lindung itu.
Kegiatan penambangan dalam kawasan konservasi itu, tertuang dalam sebuah kesepakatan bersama (MoU) bernomor 003.1/5340/DK-VIII/2007 tanggal 26 Juli 2007 yang melibatkan tiga pihak, yakni disebut-sebut Data yang perusahaan tambang PT. Lembu Swana Perkasa, PPHT (Pusat Penelitian Hutan Tropis) Unmul dan Dishut Kaltim.
Kesepakatan itu menyebutkan bahwa pihak perusahaan tambang dapat menggunakan jalan ex HPH PT Weyerhauser dan PT Alas Kusuma yang telah menjadi kawasan Tahura Bukit Soeharto yang dikelola PPHT seluas 20.271 hektare, yakni berdasarkan surat Dirjen PHKA Nomor S.467/IV-KK/2007 tanggal 11 Juli 2007.
Salah-satu klausul MoU, yakni pada pasal 5 ayat 3 juga menyebutkan, bahwa pihak perusahaan dapat menggunakan jalan sepanjang 8,5 Kilometer dan dapat melaksanakan kegiatan tambang lainnya. Jenis kegiatan pertambangan umum dimaksudkan adalah penyelidikan umum, eksplorasi dan eksploitasi.
Padahal berbagai aktifitas tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yakni UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Godaan "emas hitam" (batu bara) di dalam perut bumi Bukit Soeharto itu sudah menjerat Syaukani HR saat menjadi bupati Kutai Kartanegara pada awal 2000-an. Namun, niat untuk segera mengekploitasikan batu bara tidak terlaksana karena mendapat tantangan kuat dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda) Kaltim,
"Kawasan konservasi itu bakal jadi kenangan apabila batu bara ditambang. Hal itu menyebabkan kami tidak akan mengeluarkan izin, jika Pemkab Kukar apabila berniat mengeksploitasi batubara di kawasan itu," kata Ketua Bapedalda Kaltim yang saat itu dipimpin oleh Kaspoel Basran ketika Kukar ingin menambang batu bara di Bukit Soeharto di Samarinda, hari ini.
Pemerintah Kabupaten Kutai berencana untuk menambang 122-150 juta ton batubara di Bukit Soeharto.
Kaspoel menyatakan bahwa berbagai alasan dan argumentasi Bupati Syaukani untuk menambang batu bara mereka tolak karena tetap membawa dampak besar bagi upaya pelestarian lingkungan di Bukit Soeharto.
Dampak pertumbuhan ekonomi di kawasan itu karena hadirnya perusahaan tambang akan memicu kawasan pemukiman baru di Bukit Soeharto.
Belum lagi dampak ekologi berupa erosi debu dan air, berkurangnya luasan hutan, mempercepat hilangnya biomass lantai hutan, dan menurunnya keanekaragaman hayati. Dampak lain akibat kegiatan kerusakan hutan menyebabkan hilangnya resapan air dan fungsi penyangga yang terkait dengan DAS (daerah aliran sungai).
Diperkirakan jika semua perusahaan (52 pemegang KP itu) sudah tahap ekploitasi atau produksi batu bara, maka dalam hitungan tahun saja, kawasan hutan tropis dataran rendah Bukit Soeharto akan menjadi kenangan.
Saat ini, sebagian masih dalam tahap penyelidikan namun sudah ada perusahaan yang masuk ke tahap eksplorasi hingga eksploitasi atau produksi batu bara.
Kukar Terbanyak
Berdasarkan data menunjukan bahwa Pemkab Kutai Kartanegara adalah daerah terbanyak di Kaltim, bahkan diperkirakan di Indonesia untuk terbanyak mengeluarkan KP.
Berdasarkan data tersebut menunjukan bahwa Pemkab Kukar telah menerbitkan 687 KP dengan luasan areal 1.237.374 hektar.
Setelah Kukar, maka Pemkab Kutai Barat menjadi daerah nomor dua terbanyak yang menyebarkan izin KP di Kaltim, yakni mencapai 138 KP dengan luas lahan mencapai 395.466 hektar.
"Daerah ketiga di Kaltim terbanyak mengeluatkan izin adalah Samarinda mencapai 76 KP dengan luas areal 27.556 hektar," katanya mengungkapkan data mengenai KP tersebut
Padahal, imbuh GUbernur Awang selama dua periode menjadi bupati Kabupaten Kutai Timur, ia tidak pernah menerbitkan izin untuk tambang kecil itu.
Di Kaltim juga terdapat 22 perusahaan yang mengontingi PKB2B dan perusahaan dengan produksi terbesar adalah Kaltim Prima Coal (KPC), yakni 48 metrik ton per tahun.
Godaan bagi kepala daerah di Kukar untuk menebarkan izin KP karena diperkirakan deposit batu bara di kawasan itu mencapai 150 juta ton.
Adanya deposit sebesar itu, diperkirakan kegiatan penambangan dilaksanakan secara besar-besar sehingga akan terdapat kolam-kolam raksasa bekas penambangan yang sulit untuk direklamasi.
Salah satu "alasan pembenaran" Pemkab Kukar mengeluarkan izin KP, yakni justru ingin menyelamatkan kawasan itu dari ancaman kebakaran hutan dan lahan karena bahan bakar (batu bara) yang menimbulkan kerawanan telah diambil (tambang).
Kenyataannya melalui kerjasama Pemerintah RI dengan OSM (Office of Surface Mining), Amerika Serikat sudah berhasil meredam ancaman kebakaran hutan dan lahan terkait adanya batu bara itu.
Pemerintah AS beberapa tahun silam telah memberikan bantuan teknologi dan dana mencapai 1,5 juta Dolar AS untuk mematikan 80 titik api batu bara, antara lain di Hutan Lindung Sungai Wain dan Bukit Soeharto dengan cara menggali dan memindahkan batu bara yang mencuat dari tanah serta menimbun lobang bekas bongkah batu bara itu.
Bukit Soeharto juga memiliki nilai strategis bagi pengelolaan lingkungan karena terbagi atas zona hutan lindung, taman safari, wisata, pendidikan, Pusrehut Unmul, Wanariset Semboja, danau buatan, perkemahan pramuka, museum kayu, sedangkan rencana kawasan akan dikeluarkan masing-masing 3.500 ha dan 3.000 ha.
Hutan Bukit Soeharto juga menjadi sangat strategis bagi sektor ekologis karena faktanya bahwa kawasan sebaran beberapa jenis flora antara lain Meranti (Shorea spp), Keruing (Dipterocarpus sp), Mahang (Hypoleuca), Mengkungan (Gigantea), Hora (Ficus sp), Medang (Lauraceae), Kapur (Dryobalanops spp), Kayu tahan (Anisoptera costata), Nyatoh (Palaquium spp), Keranji (Dialium spp) dan Perupuk (Laphopetalum solenospermum).
Taman Hutan Raya Bukit Soeharto juga menjadi habitat beberapa jenis satwa langka, antara lain Orangutan (Pongo pygmaeus), Beruang madu (Helarctos malayanus), Macan Dahan (Neofelis nebulosa), Landak (Hystrix brachyura) dan Rusa sambar.
Berbagai potensi keanekaragaman hayati yang luar biasa itu yang tampaknya menjadi alasan bagi Pemerintahan Orde Baru untuk begitu memberi perhatian besar bagi pelestarian lingkungan di kawasan itu namun dalam beberapa masa terakhir kian sekarat akibat berbagai tekanan untuk menghancurkannya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2010
Tengok saja, seluruh perusahaan HPH (hak pengusahaan hutan) wajib menanam benih pohon di kawasan itu sebagai bagian dari program perusahaan tersebut.
Bahkan, perusahaan bidang pertambangan juga wajib melakukan "reklamasi pengganti" di kawasan konservasi yang masuk wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim seluas 61.000 Ha.
Kala itu, jika terjadi kebakaran hutan dan lahan yang menimpa kawasan yang dilintasi Jalan Lintas Kalimantan di Kaltim menghubungkan Balikpapan-Samarinda maka seakan-akan seluruh hutan di Indonesia telah terkena musibah sama.
Apalagi, dipastikan berita tentang musibah kebakaran Bukit Soeharto akan menjadi "head line" berbagai media massa.
Besarnya perhatian mata dunia terhadap Bukit Soeharto karena kebijakan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden HM. Soeharto sepertinya menjadikan kawasan dengan ekosistem hutan tropis basah dataran rendah itu menjadi "etalase" mengenai pengelolaan hutan secara lestari.
Faktor utama kawasan itu jadi perhatian karena memiliki potensi keanekaragaman hayati (bio diversity) luar biasa. Faktor lain, diperkirakan karena bahwa kawasan itu merupakan hamparan hutan yang paling mudah dijangkau dan dilihat, mengingat berada pada jalan yang menghubungkan Samarinda dan Balikpapan menjadi alasan Bukit Soeharto menjadi etalase kondisi hutan di Indonesia.
Tak heran, kawasan konservasi itu dulunya dikunjungi sejumlah tamu penting atau tamu-tamu negara Indonesia untuk melihat keberhasilan Soeharto dalam menjaga kelestarian lingkungan, mulai dari Dubes, kepala negara termasuk Ratu Beatrix dari Belanda bersama suaminya.
Penamaan yang sesuai dengan nama Presiden RI kedua itu diperkirakan terkait dengan sebuah kunjungan kerja Soeharto ke Kaltim yang pernah melakukan perjalanan darat dari Balikpapan ke Samarinda melintasi bukit tersebut.
Kenyataannya, pemerintah sangat memperhatikan pengelolaan dan pelestarian Bukit Soeharto, yakni terlihat dari berbagai kebijakan mengenai keberadaan kawasan itu.
Pada 1982 keluar Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 818/Kpts/Um/11/1982 tentang Penetapan Hutan Lindung Bukit Soeharto seluas 27.000 hektar.
Kebijakan lain terhadap kawasan itu, yakni pada 1987 tentang Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 245/Kpts-II/1987 tanggal 18 Agustus 1987; Perubahan status kawasan hutan lindung Bukit Soeharto sekitar 23.800 Ha menjadi hutan wisata dan penunjukan perluasannya dengan kawasan hutan sekitarnya seluas kurang lebih 41.050 Ha sehingga luas Hutan Wisata Bukit Soeharto kurang lebih 64.850 Ha.
Sedangkan pada 1991 dikeluarkan ketetapan bahwa kawasan Hutan Wisata Bukit Soeharto seluas 61.850 Ha sebagai kawasan hutan dengan fungsi sebagai Hutan Wisata melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 270/Kpts-II/1991, 20 Mei 1991.
Pada 2004 Perubahan fungsi Taman Wisata Alam Bukit Soeharto seluas 61.850 hektar menjadi Taman Hutan Raya melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 419/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004.
Pada kepemimpinan Soeharto, mulai dari 1976 telah terbit berbagai kebijakan yang intinya melindungi kawasan itu, sampai terbit lagi kebijakan terakhir pada 1994 mengenai perubahan fungsi Taman Wisata Alam Bukit Soeharto seluas 61.850 Ha menjadi Taman Hutan Raya melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 419/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004.
Begitu rejim Pemerintahan Orde Baru berakhir, berbagai ancaman dan tekanan terus menimpa Bukit Soeharto sehingga kondisinya kini seperti sekarat menanti detik-detik kematian.
Musibah kebakaran hutan dan lahan yang kerap terjadi pada setiap musim kemarau kini kian meningkat kasusnya karena banyaknya warga membuka lahan pertanian dengan sistem pembakaran.
Rumah, warung dan lahan pertanian kian luas menggantikan pohon-pohon penghijauan dan reboisasi yang dulunya wajib ditanam oleh perusahaan HPH atau pertambangan.
Celakanya lagi, berdasarkan data yang berhasil dihimpun oleh Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak menyebutkan bahwa kawasan konservasi itu telah dikavling-kavling oleh 52 perusahaan yang memegang izin KP (kuasa penambangan) dari Pemkab Kutai Kartanegara.
Izin Dephut
Ke-52 perusahaan itu ada dalam tahap melengkapi berbagai adminsitrasi, ekplorasi dan bahkan ternyata sudah ada yang melakukan eksploitasi atau produksi.
Berdasarkan data yang ada di tangan Awang Faroek ternyata pihak yang mengeluarkan izin KP adalah Pemerintah Kabupten Kutar Kartanegara.
"Ironisnya, ada sebuah perusahaan yang telah mendapat izin pinjam pakai di kawasan koservasi itu. Padahal, status kawasan itu sebagai hutan lindung yang kelestariannya sangat dijaga namun ada izin dari Dephut untuk izin pinjam pakai," papar Awang.
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber menyebutkan bahwa justru pihak Dinas Kehutanan Kaltim terlibat dalam pemberian izin penggunaan jalan dalam kawasan hutan lindung itu.
Kegiatan penambangan dalam kawasan konservasi itu, tertuang dalam sebuah kesepakatan bersama (MoU) bernomor 003.1/5340/DK-VIII/2007 tanggal 26 Juli 2007 yang melibatkan tiga pihak, yakni disebut-sebut Data yang perusahaan tambang PT. Lembu Swana Perkasa, PPHT (Pusat Penelitian Hutan Tropis) Unmul dan Dishut Kaltim.
Kesepakatan itu menyebutkan bahwa pihak perusahaan tambang dapat menggunakan jalan ex HPH PT Weyerhauser dan PT Alas Kusuma yang telah menjadi kawasan Tahura Bukit Soeharto yang dikelola PPHT seluas 20.271 hektare, yakni berdasarkan surat Dirjen PHKA Nomor S.467/IV-KK/2007 tanggal 11 Juli 2007.
Salah-satu klausul MoU, yakni pada pasal 5 ayat 3 juga menyebutkan, bahwa pihak perusahaan dapat menggunakan jalan sepanjang 8,5 Kilometer dan dapat melaksanakan kegiatan tambang lainnya. Jenis kegiatan pertambangan umum dimaksudkan adalah penyelidikan umum, eksplorasi dan eksploitasi.
Padahal berbagai aktifitas tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yakni UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Godaan "emas hitam" (batu bara) di dalam perut bumi Bukit Soeharto itu sudah menjerat Syaukani HR saat menjadi bupati Kutai Kartanegara pada awal 2000-an. Namun, niat untuk segera mengekploitasikan batu bara tidak terlaksana karena mendapat tantangan kuat dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda) Kaltim,
"Kawasan konservasi itu bakal jadi kenangan apabila batu bara ditambang. Hal itu menyebabkan kami tidak akan mengeluarkan izin, jika Pemkab Kukar apabila berniat mengeksploitasi batubara di kawasan itu," kata Ketua Bapedalda Kaltim yang saat itu dipimpin oleh Kaspoel Basran ketika Kukar ingin menambang batu bara di Bukit Soeharto di Samarinda, hari ini.
Pemerintah Kabupaten Kutai berencana untuk menambang 122-150 juta ton batubara di Bukit Soeharto.
Kaspoel menyatakan bahwa berbagai alasan dan argumentasi Bupati Syaukani untuk menambang batu bara mereka tolak karena tetap membawa dampak besar bagi upaya pelestarian lingkungan di Bukit Soeharto.
Dampak pertumbuhan ekonomi di kawasan itu karena hadirnya perusahaan tambang akan memicu kawasan pemukiman baru di Bukit Soeharto.
Belum lagi dampak ekologi berupa erosi debu dan air, berkurangnya luasan hutan, mempercepat hilangnya biomass lantai hutan, dan menurunnya keanekaragaman hayati. Dampak lain akibat kegiatan kerusakan hutan menyebabkan hilangnya resapan air dan fungsi penyangga yang terkait dengan DAS (daerah aliran sungai).
Diperkirakan jika semua perusahaan (52 pemegang KP itu) sudah tahap ekploitasi atau produksi batu bara, maka dalam hitungan tahun saja, kawasan hutan tropis dataran rendah Bukit Soeharto akan menjadi kenangan.
Saat ini, sebagian masih dalam tahap penyelidikan namun sudah ada perusahaan yang masuk ke tahap eksplorasi hingga eksploitasi atau produksi batu bara.
Kukar Terbanyak
Berdasarkan data menunjukan bahwa Pemkab Kutai Kartanegara adalah daerah terbanyak di Kaltim, bahkan diperkirakan di Indonesia untuk terbanyak mengeluarkan KP.
Berdasarkan data tersebut menunjukan bahwa Pemkab Kukar telah menerbitkan 687 KP dengan luasan areal 1.237.374 hektar.
Setelah Kukar, maka Pemkab Kutai Barat menjadi daerah nomor dua terbanyak yang menyebarkan izin KP di Kaltim, yakni mencapai 138 KP dengan luas lahan mencapai 395.466 hektar.
"Daerah ketiga di Kaltim terbanyak mengeluatkan izin adalah Samarinda mencapai 76 KP dengan luas areal 27.556 hektar," katanya mengungkapkan data mengenai KP tersebut
Padahal, imbuh GUbernur Awang selama dua periode menjadi bupati Kabupaten Kutai Timur, ia tidak pernah menerbitkan izin untuk tambang kecil itu.
Di Kaltim juga terdapat 22 perusahaan yang mengontingi PKB2B dan perusahaan dengan produksi terbesar adalah Kaltim Prima Coal (KPC), yakni 48 metrik ton per tahun.
Godaan bagi kepala daerah di Kukar untuk menebarkan izin KP karena diperkirakan deposit batu bara di kawasan itu mencapai 150 juta ton.
Adanya deposit sebesar itu, diperkirakan kegiatan penambangan dilaksanakan secara besar-besar sehingga akan terdapat kolam-kolam raksasa bekas penambangan yang sulit untuk direklamasi.
Salah satu "alasan pembenaran" Pemkab Kukar mengeluarkan izin KP, yakni justru ingin menyelamatkan kawasan itu dari ancaman kebakaran hutan dan lahan karena bahan bakar (batu bara) yang menimbulkan kerawanan telah diambil (tambang).
Kenyataannya melalui kerjasama Pemerintah RI dengan OSM (Office of Surface Mining), Amerika Serikat sudah berhasil meredam ancaman kebakaran hutan dan lahan terkait adanya batu bara itu.
Pemerintah AS beberapa tahun silam telah memberikan bantuan teknologi dan dana mencapai 1,5 juta Dolar AS untuk mematikan 80 titik api batu bara, antara lain di Hutan Lindung Sungai Wain dan Bukit Soeharto dengan cara menggali dan memindahkan batu bara yang mencuat dari tanah serta menimbun lobang bekas bongkah batu bara itu.
Bukit Soeharto juga memiliki nilai strategis bagi pengelolaan lingkungan karena terbagi atas zona hutan lindung, taman safari, wisata, pendidikan, Pusrehut Unmul, Wanariset Semboja, danau buatan, perkemahan pramuka, museum kayu, sedangkan rencana kawasan akan dikeluarkan masing-masing 3.500 ha dan 3.000 ha.
Hutan Bukit Soeharto juga menjadi sangat strategis bagi sektor ekologis karena faktanya bahwa kawasan sebaran beberapa jenis flora antara lain Meranti (Shorea spp), Keruing (Dipterocarpus sp), Mahang (Hypoleuca), Mengkungan (Gigantea), Hora (Ficus sp), Medang (Lauraceae), Kapur (Dryobalanops spp), Kayu tahan (Anisoptera costata), Nyatoh (Palaquium spp), Keranji (Dialium spp) dan Perupuk (Laphopetalum solenospermum).
Taman Hutan Raya Bukit Soeharto juga menjadi habitat beberapa jenis satwa langka, antara lain Orangutan (Pongo pygmaeus), Beruang madu (Helarctos malayanus), Macan Dahan (Neofelis nebulosa), Landak (Hystrix brachyura) dan Rusa sambar.
Berbagai potensi keanekaragaman hayati yang luar biasa itu yang tampaknya menjadi alasan bagi Pemerintahan Orde Baru untuk begitu memberi perhatian besar bagi pelestarian lingkungan di kawasan itu namun dalam beberapa masa terakhir kian sekarat akibat berbagai tekanan untuk menghancurkannya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2010