Samarinda (ANTARA News) - Pihak Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Timur menilai bahwa kini mendesak adanya peraturan, misalnya Perda (peraturan daerah) yang melindungi lahan pertanian produktif agar jangan lagi "disulap" menjadi lahan pertambangan batu bara.
"Kasus disulapnya lahan pertanian produktif menjadi lahan pertambangan batu bara kian menjadi-jadi dengan adanya kewenangan bupati dan walikota untuk menerbikan izin KP (kuasa penambangan)," kata Direktur Walhi Kaltim, Ichal Wardhana di Samarinda, Senin.
Contoh nyata, disulapnya lahan pertanian itu terjadi di wilayah Kutai Kartanegara (Kukar). Lahan pertanian milik 200 KK (kepala keluarga) asal Lombok, Bali dan Jawa Timur seluas 1.400 Ha di Teluk Dalam, Kukar kini berubah menjadi lahan penambangan "emas hitam".
Ironisnya, pemerintah pada 1993 melalui dana APBN telah mengeluarkan dana Rp11 miliar dan APBD sekitar Rp3 miliar untuk membangun bendungan serta menjalankan sistem irigasi pompanisasi.
"Dengan gampang lahan pertanian produktif ini dirubah menjadi lahan penambangan batu bara karena tidak ada peraturan yang melindunginya," ujar Ichal mengenai kasus yang terjadi pada lokasi pertanian dan pemukiman eks transmigasi pada 1980-an itu.
Sekitar 200 KK petani eks-trans di Teluk Dalam itu akhirnya lebih tergiur untuk mendapatkan uang secara cepat dengan menjual lahannya atau menerima ganti rugi lahan dari perusahaan batu bara yang mengekploitasi lahan subur hasil irigasi sawah dengan pompanisasi berkapasitas 220 mm per detik itu.
Ia menilai bahwa kasus serupa kini kian banyak terjadi di Kaltim, khususnya di Kabupaten Kukar, Kabupaten Pasir, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kabupaten Kutai Barat dan Kota Samarinda.
"Jika perlu bukan hanya sekedar Perda namun pemeritah mengeluatkan peraturan yang lebih tinggi (UU dan PP) untuk melindungi lahan pertanian potensial itu," ujar Ichal.
Ia menilai bahwa kebijakan pemerintah untuk melindungi lahan pertanian itu sangat strategis karena terkait dengan program swasembada beras Kaltim, ketahanan pangan nasional serta perlindungan sektor ekologis.
Selain itu, kata dia, pemerintah daerah harus benar-benar selektif dalam mengeluarkan izin KP dengan melakukan pengkajian mendalam maupun pengawasan yang ketat terhadap kewajiban melakukan berbagai program lingkungan, di antaranya reklamasi.
"Jangan korbankan sektor lingkungan dengan dalih untuk program menambah PAD (pendapatan asli daerah), mengingat memulihkan kondisi lingkungan membutuhkan waktu lama dan dana sangat besar. Jadi sebenarnya sangat tidak berimbang dengan keuntungan yang sesaat itu," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2010
"Kasus disulapnya lahan pertanian produktif menjadi lahan pertambangan batu bara kian menjadi-jadi dengan adanya kewenangan bupati dan walikota untuk menerbikan izin KP (kuasa penambangan)," kata Direktur Walhi Kaltim, Ichal Wardhana di Samarinda, Senin.
Contoh nyata, disulapnya lahan pertanian itu terjadi di wilayah Kutai Kartanegara (Kukar). Lahan pertanian milik 200 KK (kepala keluarga) asal Lombok, Bali dan Jawa Timur seluas 1.400 Ha di Teluk Dalam, Kukar kini berubah menjadi lahan penambangan "emas hitam".
Ironisnya, pemerintah pada 1993 melalui dana APBN telah mengeluarkan dana Rp11 miliar dan APBD sekitar Rp3 miliar untuk membangun bendungan serta menjalankan sistem irigasi pompanisasi.
"Dengan gampang lahan pertanian produktif ini dirubah menjadi lahan penambangan batu bara karena tidak ada peraturan yang melindunginya," ujar Ichal mengenai kasus yang terjadi pada lokasi pertanian dan pemukiman eks transmigasi pada 1980-an itu.
Sekitar 200 KK petani eks-trans di Teluk Dalam itu akhirnya lebih tergiur untuk mendapatkan uang secara cepat dengan menjual lahannya atau menerima ganti rugi lahan dari perusahaan batu bara yang mengekploitasi lahan subur hasil irigasi sawah dengan pompanisasi berkapasitas 220 mm per detik itu.
Ia menilai bahwa kasus serupa kini kian banyak terjadi di Kaltim, khususnya di Kabupaten Kukar, Kabupaten Pasir, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kabupaten Kutai Barat dan Kota Samarinda.
"Jika perlu bukan hanya sekedar Perda namun pemeritah mengeluatkan peraturan yang lebih tinggi (UU dan PP) untuk melindungi lahan pertanian potensial itu," ujar Ichal.
Ia menilai bahwa kebijakan pemerintah untuk melindungi lahan pertanian itu sangat strategis karena terkait dengan program swasembada beras Kaltim, ketahanan pangan nasional serta perlindungan sektor ekologis.
Selain itu, kata dia, pemerintah daerah harus benar-benar selektif dalam mengeluarkan izin KP dengan melakukan pengkajian mendalam maupun pengawasan yang ketat terhadap kewajiban melakukan berbagai program lingkungan, di antaranya reklamasi.
"Jangan korbankan sektor lingkungan dengan dalih untuk program menambah PAD (pendapatan asli daerah), mengingat memulihkan kondisi lingkungan membutuhkan waktu lama dan dana sangat besar. Jadi sebenarnya sangat tidak berimbang dengan keuntungan yang sesaat itu," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2010