Samarinda (ANTARA Kaltim) - Bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur, Isran Noor, menepati pernyataannya untuk mundur dari jabatannya sebelum masa baktinya berakhir pada 13 Februari 2016.
Surat resmi pengunduran diri disampaikan Isran Noor kepada Ketua DPRD Kutai Timur Mahyunadi bersamaan rapat paripurna tentang penandatanganan nota kesepakatan Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2015 di Gedung DPRD Kutai Timur, Sangatta, Kamis.
"Atas kehendak sendiri, saya menyatakan mundur dan berhenti sebagai bupati Kutai Timur," kata Isran Noor dalam sambutan pengantarnya, yang sontak membuat suasana ruang rapat paripurna hening.
Isran Noor, yang putra daerah asli Kelahiran Sangkulirang pada 20 September 1957, sebenarnya telah memberikan sinyal untuk mundur lebih cepat sejak beberapa pekan sebelumnya.
Saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di Kecamatan Sangatta Utara pada 10 Februari 2015, Isran Noor secara terang-terangan mengungkapkan keinginannya untuk mundur dari jabatan bupati yang diembannya sejak Februari 2011.
Dia tidak sedang bercanda saat itu, karena nada bicara dan mimik wajahnya tampak serius. Hampir semua yang hadir terkejut dan tidak menyangka Isran Noor mengeluarkan pernyataan yang tidak biasa di forum resmi.
Bahkan, Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) itu, sempat meminta persetujuan pejabat, kepala desa, ketua RW, RT, dan warga Kecamatan Sangatta Utara yang hadir di musrenbang mengenai rencana tersebut.
"Setuju...," jawab sebagian besar peserta musrenbang, yang langsung disambut Isran Noor dengan mengetok palu ke mimbar.
Saat itu, ia mengaku sudah mempertimbangkan matang-matang rencana itu, terlebih hampir sebagian besar program yang dijalankan Pemkab Kutai Timur dengan dukungan DPRD selama empat tahun terakhir telah berjalan baik dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Kabar mundurnya orang nomor satu di Kabupaten Kutai Timur itu kembali santer terdengar beberapa hari terakhir, hingga akhirnya benar-benar direalisasikan pada forum resmi di depan pimpinan dan seluruh anggota DPRD.
Banyak kalangan di Kabupaten Kutai Timur yang tidak menduga kalau Isran Noor akan benar-benar mundur lebih cepat, ketika masa tugasnya masih kurang dari setahun ke depan. Apalagi, selama ini kepemimpinannya dinilai bagus, mulai sejak menjadi wakil bupati hingga menjadi bupati.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pasal 78 mengenai pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah, disebutkan ada tiga alasan yang melandasi, yakni meninggal dunia, permintaan sendiri atau diberhentikan.
Bupati Kutai Timur Isran Noor agaknya menggunakan pasal 78 ayat 2 UU tersebut, yakni mengundurkan diri dari jabatannya karena permintaan sendiri.
"Meskipun saya mundur dan berhenti, program pembangunan di Kutai Timur tidak ada masalah dan tetap jalan terus. Saya mundur bukan tidak bertanggung jawab atas amanah yang diberikan oleh rakyat dan Allah SWT," tegasnya.
Dengan pengunduran diri tersebut, Isran Noor menegaskan bahwa sejak Maret 2015, dirinya tidak lagi berhak menerima gaji dan fasilitas tunjangan lainnya.
Saat ditemui usai rapat paripurna, Isran Noor mengaku alasan mundur dari bupati karena ingin melanjutkan pengabdiannya di dunia pendidikan, salah satunya menjadi dosen di Monash University, Australia.
"Saya ingin belajar dan memberikan kuliah di Monash University Melbourne, Australia," tutur pria yang meraih gelar doktor ilmu pemerintahan dari Universitas Padjajaran Bandung itu.
Namun, menjadi dosen di Australia sebenarnya bukanlah alasan utama dirinya mundur sebagai bupati, tapi semata-mana dia ingin kembali mengabdikan diri di dunia pendidikan seperti dulu.
Isran Noor yang berdarah Kutai dan Bugis mulai menjabat sebagai Bupati Kutai Timur pada 4 Februari 2009, menggantikan Awang Faroek Ishak yang terpilih sebagai Gubernur Kaltim periode 2008-2013.
Sebelumnya, Isran Noor mendampingi Awang Faroek memenangkan Pilkada Kutai Timur akhir 2005 dan dilantik sebagai pasangan terpilih bupati dan wakil bupati Kutai Timur pada 13 Februari 2006.
Pada Pilkada untuk masa jabatan 2011-2016, Isran Noor sebagai calon petahana berpasangan dengan Ardiansyah Sulaiman dan tampil sebagai pemenang dengan dukungan suara mayoritas mencapai 51,10 persen.
Kasus Langka
Keputusan mengejutkan Bupati Isran Noor bisa dibilang sebagai kasus langka dan sangat jarang terjadi dalam peta perpolitikan di pemerintahan daerah sejak era reformasi.
Kasus pemberhentian seorang kepala daerah yang sering terjadi selama ini karena meninggal dunia (berhalangan tetap) dan diberhentikan karena tersangkut kasus hukum atau pelanggaran sumpah jabatan.
Bahkan, kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada periode pertama, hampir pasti ingin mencalonkan lagi untuk jabatan periode kedua, karena undang-undang memang tidak melarangnya.
Tidak sedikit pula kepala daerah yang tersangkut masalah hukum dan sudah ditetapkan sebagai tersangka, masih tetap ngotot bertahan dan tidak bersedia mundur dari jabatannya.
"Kami mengapresiasi keputusan Pak Isran Noor, meskipun sampai saat ini kami belum tahu pasti alasan beliau mengajukan pengunduran diri. Kami akan mengundang fraksi-fraksi untuk membahas surat pengunduran diri tersebut," kata Ketua DPRD Kutai Timur Mahyunadi, usai rapat paripurna.
Kendati menurut undang-undang dibenarkan, namun pengamat hukum dan politik Universitas Mulawarman Samarinda Herdiansyah Hamzah SH, LLM menilai pengunduran diri Isran Noor tanpa disertai alasan yang logis merupakan pelanggaran etika pemerintahan.
"Seharusnya, Isran Noor memberikan alasan yang logis terkait pengunduran dirinya, tidak hanya ke DPRD, tetapi juga kepada publik yang telah memilihnya," kata Herdiansyah ketika dihubungi Antara.
Alumnus Pascasarjana Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada itu, juga menilai pengunduran diri Isran Noor sebagai sikap yang tidak etis, karena menanggalkan kepercayaan yang diamanatkan masyarakat di tengah masa jabatannya.
"Ini soal komitmen sebab dia (Isran Noor) masih memiliki tanggung jawab menyelesaikan masa jabatannya hingga 13 Februari 2016, sehingga sangat tidak etis menanggalkan kepercayaan yang diamanatkan publik di tengah masa jabatannya. Itu artinya dia telah menggadaikan kepercayaan publik demi kepentingan pribadinya," ujarnya.
Ia juga mencurigai indikasi adanya langkah politik di balik pengunduran diri Isran Noor tersebut.
"Mundur dan memilih langkah politik lain, memang hak pribadi yang dijamin oleh konstitusi. Tapi, kan mereka sudah tidak mewakili pribadi tetapi jabatannya itu sudah mewakili publik," ujarnya.
Kasus Isran Noor juga bisa menjadi preseden buruk, karena dia tidak bisa begitu saja menjadikan pemerintahan sebagai alasan pribadi, karena itu merupakan ranah publik.
"Ini sama dengan kasus Dicky Chandra yang dulu mundur dari jabatan Bupati Garut. Ini memang aneh, sebab banyak pejabat yang tersangkut korupsi atau kasus hukum, justru tidak mau mundur," ujar Herdiansyah.
Masyarakat berhak mengetahui alasan yang lebih konkrit soal pengunduran diri tersebut dan Isran Noor tidak boleh mengabaikan masyarakat meminta pertanggungjawabannya.
"Dia (Isran Noor) harus tahu kalau bupati itu jabatan politik yang pertanggungjawabannya harus kepada publik. Itu, kewajiban yang melekat di dirinya. DPRD sebagai wakil rakyat juga tidak boleh asal menerima dan bertanggung jawab mendesak alasan pengunduran diri Isran Noor," katanya.
Pernyataan berbeda disampaikan pengamat politik dari Universitas Balikpapan Dr Piatur Pangaribuan, yang menyebut Isran Noor hanya sekadar mencari sensasi dari keputusan mundurnya.
"Pak Isran itu kan sedang tidak berhalangan tetap, tidak gila, dan tidak sakit yang membuat dia tidak bisa menjalankan kewajibannya," kata Kepala Program Pascasarjana Universitas Balikpapan itu.
Menurut Piatur, pernyataan mundur mantan Ketua DPD Partai Demokrat Kaltim itu hanya menambah pekerjaan yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, sekaligus membebani kas negara karena DPRD harus menggelar sidang untuk membahasnya.
"Itulah, pemerintah kita kadang tidak fokus mengurus rakyat, karena disibukkan oleh hal-hal sensasional seperti ini," katanya.
Alasan mundur karena ingin mengabdi di dunia pendidikan, menurut Piatur sebenarnya niat menjadi dosen masih bisa ditunda hingga masa jabatan bupati berakhir pada Februari 2016.
"Secara urgensi, Isran Noor seharusnya lebih mengutamakan kepentingan rakyat Kutai Timur yang sudah memilihnya sebagai pemimpin, ketimbang mengajar sejumlah mahasiswa di ruang-ruang kuliah yang terbatas," tegasnya.
Akan tetapi, benarkah hanya karena ingin mengabdi di dunia pendidikan menjadi alasan Isran Noor memutuskan mundur dari jabatan bupati atau ada persoalan politik lebih besar lain yang mendorongnya? (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015
Surat resmi pengunduran diri disampaikan Isran Noor kepada Ketua DPRD Kutai Timur Mahyunadi bersamaan rapat paripurna tentang penandatanganan nota kesepakatan Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2015 di Gedung DPRD Kutai Timur, Sangatta, Kamis.
"Atas kehendak sendiri, saya menyatakan mundur dan berhenti sebagai bupati Kutai Timur," kata Isran Noor dalam sambutan pengantarnya, yang sontak membuat suasana ruang rapat paripurna hening.
Isran Noor, yang putra daerah asli Kelahiran Sangkulirang pada 20 September 1957, sebenarnya telah memberikan sinyal untuk mundur lebih cepat sejak beberapa pekan sebelumnya.
Saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di Kecamatan Sangatta Utara pada 10 Februari 2015, Isran Noor secara terang-terangan mengungkapkan keinginannya untuk mundur dari jabatan bupati yang diembannya sejak Februari 2011.
Dia tidak sedang bercanda saat itu, karena nada bicara dan mimik wajahnya tampak serius. Hampir semua yang hadir terkejut dan tidak menyangka Isran Noor mengeluarkan pernyataan yang tidak biasa di forum resmi.
Bahkan, Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) itu, sempat meminta persetujuan pejabat, kepala desa, ketua RW, RT, dan warga Kecamatan Sangatta Utara yang hadir di musrenbang mengenai rencana tersebut.
"Setuju...," jawab sebagian besar peserta musrenbang, yang langsung disambut Isran Noor dengan mengetok palu ke mimbar.
Saat itu, ia mengaku sudah mempertimbangkan matang-matang rencana itu, terlebih hampir sebagian besar program yang dijalankan Pemkab Kutai Timur dengan dukungan DPRD selama empat tahun terakhir telah berjalan baik dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Kabar mundurnya orang nomor satu di Kabupaten Kutai Timur itu kembali santer terdengar beberapa hari terakhir, hingga akhirnya benar-benar direalisasikan pada forum resmi di depan pimpinan dan seluruh anggota DPRD.
Banyak kalangan di Kabupaten Kutai Timur yang tidak menduga kalau Isran Noor akan benar-benar mundur lebih cepat, ketika masa tugasnya masih kurang dari setahun ke depan. Apalagi, selama ini kepemimpinannya dinilai bagus, mulai sejak menjadi wakil bupati hingga menjadi bupati.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pasal 78 mengenai pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah, disebutkan ada tiga alasan yang melandasi, yakni meninggal dunia, permintaan sendiri atau diberhentikan.
Bupati Kutai Timur Isran Noor agaknya menggunakan pasal 78 ayat 2 UU tersebut, yakni mengundurkan diri dari jabatannya karena permintaan sendiri.
"Meskipun saya mundur dan berhenti, program pembangunan di Kutai Timur tidak ada masalah dan tetap jalan terus. Saya mundur bukan tidak bertanggung jawab atas amanah yang diberikan oleh rakyat dan Allah SWT," tegasnya.
Dengan pengunduran diri tersebut, Isran Noor menegaskan bahwa sejak Maret 2015, dirinya tidak lagi berhak menerima gaji dan fasilitas tunjangan lainnya.
Saat ditemui usai rapat paripurna, Isran Noor mengaku alasan mundur dari bupati karena ingin melanjutkan pengabdiannya di dunia pendidikan, salah satunya menjadi dosen di Monash University, Australia.
"Saya ingin belajar dan memberikan kuliah di Monash University Melbourne, Australia," tutur pria yang meraih gelar doktor ilmu pemerintahan dari Universitas Padjajaran Bandung itu.
Namun, menjadi dosen di Australia sebenarnya bukanlah alasan utama dirinya mundur sebagai bupati, tapi semata-mana dia ingin kembali mengabdikan diri di dunia pendidikan seperti dulu.
Isran Noor yang berdarah Kutai dan Bugis mulai menjabat sebagai Bupati Kutai Timur pada 4 Februari 2009, menggantikan Awang Faroek Ishak yang terpilih sebagai Gubernur Kaltim periode 2008-2013.
Sebelumnya, Isran Noor mendampingi Awang Faroek memenangkan Pilkada Kutai Timur akhir 2005 dan dilantik sebagai pasangan terpilih bupati dan wakil bupati Kutai Timur pada 13 Februari 2006.
Pada Pilkada untuk masa jabatan 2011-2016, Isran Noor sebagai calon petahana berpasangan dengan Ardiansyah Sulaiman dan tampil sebagai pemenang dengan dukungan suara mayoritas mencapai 51,10 persen.
Kasus Langka
Keputusan mengejutkan Bupati Isran Noor bisa dibilang sebagai kasus langka dan sangat jarang terjadi dalam peta perpolitikan di pemerintahan daerah sejak era reformasi.
Kasus pemberhentian seorang kepala daerah yang sering terjadi selama ini karena meninggal dunia (berhalangan tetap) dan diberhentikan karena tersangkut kasus hukum atau pelanggaran sumpah jabatan.
Bahkan, kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada periode pertama, hampir pasti ingin mencalonkan lagi untuk jabatan periode kedua, karena undang-undang memang tidak melarangnya.
Tidak sedikit pula kepala daerah yang tersangkut masalah hukum dan sudah ditetapkan sebagai tersangka, masih tetap ngotot bertahan dan tidak bersedia mundur dari jabatannya.
"Kami mengapresiasi keputusan Pak Isran Noor, meskipun sampai saat ini kami belum tahu pasti alasan beliau mengajukan pengunduran diri. Kami akan mengundang fraksi-fraksi untuk membahas surat pengunduran diri tersebut," kata Ketua DPRD Kutai Timur Mahyunadi, usai rapat paripurna.
Kendati menurut undang-undang dibenarkan, namun pengamat hukum dan politik Universitas Mulawarman Samarinda Herdiansyah Hamzah SH, LLM menilai pengunduran diri Isran Noor tanpa disertai alasan yang logis merupakan pelanggaran etika pemerintahan.
"Seharusnya, Isran Noor memberikan alasan yang logis terkait pengunduran dirinya, tidak hanya ke DPRD, tetapi juga kepada publik yang telah memilihnya," kata Herdiansyah ketika dihubungi Antara.
Alumnus Pascasarjana Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada itu, juga menilai pengunduran diri Isran Noor sebagai sikap yang tidak etis, karena menanggalkan kepercayaan yang diamanatkan masyarakat di tengah masa jabatannya.
"Ini soal komitmen sebab dia (Isran Noor) masih memiliki tanggung jawab menyelesaikan masa jabatannya hingga 13 Februari 2016, sehingga sangat tidak etis menanggalkan kepercayaan yang diamanatkan publik di tengah masa jabatannya. Itu artinya dia telah menggadaikan kepercayaan publik demi kepentingan pribadinya," ujarnya.
Ia juga mencurigai indikasi adanya langkah politik di balik pengunduran diri Isran Noor tersebut.
"Mundur dan memilih langkah politik lain, memang hak pribadi yang dijamin oleh konstitusi. Tapi, kan mereka sudah tidak mewakili pribadi tetapi jabatannya itu sudah mewakili publik," ujarnya.
Kasus Isran Noor juga bisa menjadi preseden buruk, karena dia tidak bisa begitu saja menjadikan pemerintahan sebagai alasan pribadi, karena itu merupakan ranah publik.
"Ini sama dengan kasus Dicky Chandra yang dulu mundur dari jabatan Bupati Garut. Ini memang aneh, sebab banyak pejabat yang tersangkut korupsi atau kasus hukum, justru tidak mau mundur," ujar Herdiansyah.
Masyarakat berhak mengetahui alasan yang lebih konkrit soal pengunduran diri tersebut dan Isran Noor tidak boleh mengabaikan masyarakat meminta pertanggungjawabannya.
"Dia (Isran Noor) harus tahu kalau bupati itu jabatan politik yang pertanggungjawabannya harus kepada publik. Itu, kewajiban yang melekat di dirinya. DPRD sebagai wakil rakyat juga tidak boleh asal menerima dan bertanggung jawab mendesak alasan pengunduran diri Isran Noor," katanya.
Pernyataan berbeda disampaikan pengamat politik dari Universitas Balikpapan Dr Piatur Pangaribuan, yang menyebut Isran Noor hanya sekadar mencari sensasi dari keputusan mundurnya.
"Pak Isran itu kan sedang tidak berhalangan tetap, tidak gila, dan tidak sakit yang membuat dia tidak bisa menjalankan kewajibannya," kata Kepala Program Pascasarjana Universitas Balikpapan itu.
Menurut Piatur, pernyataan mundur mantan Ketua DPD Partai Demokrat Kaltim itu hanya menambah pekerjaan yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, sekaligus membebani kas negara karena DPRD harus menggelar sidang untuk membahasnya.
"Itulah, pemerintah kita kadang tidak fokus mengurus rakyat, karena disibukkan oleh hal-hal sensasional seperti ini," katanya.
Alasan mundur karena ingin mengabdi di dunia pendidikan, menurut Piatur sebenarnya niat menjadi dosen masih bisa ditunda hingga masa jabatan bupati berakhir pada Februari 2016.
"Secara urgensi, Isran Noor seharusnya lebih mengutamakan kepentingan rakyat Kutai Timur yang sudah memilihnya sebagai pemimpin, ketimbang mengajar sejumlah mahasiswa di ruang-ruang kuliah yang terbatas," tegasnya.
Akan tetapi, benarkah hanya karena ingin mengabdi di dunia pendidikan menjadi alasan Isran Noor memutuskan mundur dari jabatan bupati atau ada persoalan politik lebih besar lain yang mendorongnya? (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2015