Balikpapan, (ANTARA Kaltim) -  Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (BOSF) pesimis dengan target pemerintah untuk melepasliaran seluruh orangutan yang ada di pusat-pusat rehabilitasi bisa selesai pada 2015.

"Bagaimana tidak, setiap kita lepaskan seekor, masuk 2-3 ekor yang baru," kata Dr Jamartin Sihite, Chief Executive Officer (CEO) BOSF, Sabtu.

Dengan keadaan itu, menurut Dr Sihite, mau tidak mau pemerintah harus menjadwal ulang semuanya. Termasuk pula meninjau kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan alam dan lingkungan.

"Sebab persoalan yang dihadapi orangutan itu bukan orangutan yang terancam punah, tapi habitat mereka yang terus berkurang karena alih fungsi hutan," jelasnya.

Target pelepasliaran pada 2015 tersebut merupakan Rencana Aksi dan Strategi Konservasi Orangutan 2007-2017, yang dicanangkan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dalam Konferensi Perubahan Iklim di Bali 2007.

"Perjalanan mencapai target pelepasliaran pada 2015 masih sangat panjang, masih ada sekitar 600 orangutan lagi yang menunggu di Pusat Reintroduksi Orangutan Nyaru Menteng untuk dilepasliarkan. Kerjasama berbagai pihak sangat diperlukan demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan bersama," kata Bungaran Saragih, Ketua Dewan Pembina Yayasan BOS, dalam beberapa kesempatan bertemu media.

BOSF mengelola dua pusat rehabilitasi orangutan borneo yaitu Samboja Lestari di Samboja, 50 km utara Balikpapan, dan di Nyaru Menteng, dekat Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Orangutan Kalimantan atau orangutan borneo sendiri terdiri dua sub species, yaitu Pongo pygmaeus morio yang hidup di hutan-hutan Kalimantan Timur dan Utara, dan Pongo pygmaeus wurmbii yang berkeliaran di Kalimantan Tengah, termasuk ujung utara Kalimantan Selatan.

Umumnya sub species wurmbii berpostur lebih besar ketimbang kerabatnya morio. Dri catatan pada 2012, BOSF mulai merilis 6 ekor orangutan ke hutan Kehje Sewen di Kutai Timur, Kalimantan Timur, namun masuk orangutan baru hingga 10 ekor di Samboja Lestari.

Sampai April 2014, dari 5 yang dirilis bulan itu, masuk 10 ekor. Untuk Samboja Lestari, sejak 2012 sudah dirilis 31 ekor dari penghuni hingga Maret 2014 yang mencapai 213 ekor. Padahal, jelas Sahite, orangutan yang diserahkan kepada BOSF umumnya orangutan yang harus reintroduksi, dididik ulang, untuk bisa kembali dilepasliarkan.

Bahkan ada pula orangutan yang cacat dan sakit yang pada akhirnya tidak bisa dikembalikan ke alam. Mereka menderita penyakit manusia, antara lain TBC, bahkan herpes.

"Program pendidikan orangutan itu berlangsung antara 5-7 tahun. Memang ada orangutan yang setengah liar, itu tentu lebih cepat lagi siap untuk dilepasliarkan. Tapi bagi orangutan yang kami terima sejak masih bayi, perlu rata-rata 7 tahun untuk siap hidup di hutan lagi," ungkap Sihite.

Samboja Lestari kini dihuni 220 orangutan dan ada sekitar 400 ekor di Nyaru Menteng. Sejak dimulainya kampanye pelepasliaran mulai 2012, komponen biaya bertambah. Catatan BOSF Samboja, diperlukan setidaknya Rp5 miliar dalam sekali operasi pelepasliaran.

Biaya itu mencakup sewa pesawat terbang dan helikopter, sewa truk dan mobil gardan ganda, hingga biaya akomodasi dan konsumsi baik orangutan maupun kru pelepasliaran.

"Sekarang juga pelepasliaran harus dimulai dengan tes DNA untuk menentukan apakah orangutan ini Pongo pygmaeus morio yang tinggal di Kalimantan Timur atau Pongo pygmaeus wurmbii yang asalnya dari Kalimantan Tengah," tambah drh Agus Irwanto. Sekali tes DNA disisihkan biaya Rp5 juta.

Sesuai ketentuan IUCN (International Union for Conservation of Nature, lembaga internasional yang menetapkan standar-standar konservasi), setiap individu harus dilepasliarkan kembali ke tempat asalnya.

Untuk mengatasi biaya pelepasliaran yang begitu besar, dalam beberapa kesempatan terakhir BOSF dibantu sejumlah sponsor seperti BCA, PT BHP Arutmin, Pemkab Kutai Kartanegara, dan Pemprov Kalimantan Timur.

Untuk membiayai kegiatan keseluruhan, BOSF terus menerus melakukan penggalangan dana di dalam dan di luar negeri. Menurut Dr Sihite, saat ini donatur BOSF adalah sejumlah filantropis dan lembaga donor di Jepang dan Eropa.

"Dubes AS untuk Indonesia, Pak Robert Blake yang baru berkunjung ke Samboja Lestari juga menjanjikan memfasilitasi kami untuk upaya-upaya penggalangan dana di Amerika Serikat," kata Dr Sihite. (*)

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Rahmad


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2014