RAPAT Kerja Nasional Ke 2 Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) yang dilaksanakan 11 Januari 2014 di Manado Sulawesi Utara berjalan sukses dan lancar.
 
Rakornas Ke-2 Apkasi dan Apeksi yang berlangsung di Sintesa Peninsula Hotel Manado, Sulawesi Utara, secara resmi dibuka Ketua Umum Apkasi Ir. H.Isran Noor, M.Si pukul 09.00 wita dengan tema 'Potensi Permasalahan Hukum Yang Dihadapi Kepala Daerah dan Pencegahannya Serta Sikap Terhadap RUU Pilkada'.

Menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang dan jabatan yang dibagi dalam dua sesi, namun sebelumnya sambutan Gubernur Sulawesi Utara Dr. Sinyo Harry Sarundajang. Kemudian sesi pertama dengan moderator dr. H.Andi Sofyan Hasdam.

Sedangkan narasumber adalah Dr.Marzuki Ali (Ketua DPR RI) Prof.Dr.M.Ryas Rasyid, anggota Watimpres, Dr.Irman Putra Sidin (Pakar Hukum Tata Negara), Drs.Arbi Sanid (Pengamat Politik) dan Yunarto Wijaya (Direktur Eksekutif Charta Politika. Panel pertama ini khusus membahas tentang RUU Pemilihan Kepala Daerah, Demokrasi dan Otonomi Daerah

Kemudian pada sesi kedua yang dimulai pukul 13.30 wita dengan moderator Robikin Emhas, SH ( Praktisi Hukum) khusus membahas tentang Potensi Permasalahan Hukum Yang Dihadapi Kepala Daerah dan Pencegahannya, dengan para narasumber masing-masing Irjen Pol Anas (Wakabareskrim Kepolisian RI), D.Andhi Nirwanto SH,MM (Wakil Jaksa Agung. Kemudian Prof.Dr. Eddy Mulyadi,MM (Deputi Bidang Investigasi BPKP RI), Adnan Pandu Praja (Wakil Ketua KPK RI). Prof.Dr.Yusril Ihza Mahendra,SH (Pakar Hukum Tata Negara dan Danang Girindra Wardana (Ketua Ombusdman serta Dr.Indra Perwira,SH,MH (Pakar Hukum Tata Negara.

Dalam sambutan pengantar pembukaannya Ketua Umum Apkasi Isran Noor mengatakan, bahwa bupati dan walikota memiliki tanggung jawab dan moral untuk ikut serta dalam menjaga wibaha dan kewibahaan pemerintah. Jadi tidak ada tujuan lain dari rakornas ini, namun semata-mata untuk melihat dan memandang serta menylesikan persoalan-persoalan terkait dengan maslaah hukum yang dihadapi para bupati dan walikota bahkan gubernur.

Sampai pada saat sekarang ini memang semua kita untuk memberikan perhatian karena berdasarkan daftar di kemendgri ada 311 Kepala daerah dari 546 bupati,walikota dan gubernur atau 60 persen kepala daerah di Indonesia koruptor.

"Kalau begitu bisa dibayangkan begitu parahnya situasi dan mengerihkannya aparat dan kepala daerah itu. Dan ini bukan hanya berdampak apa yang dihadapi oleh kepala daerah, tapi berdampak kepada pemerintahan secara kesuluran termausk Presiden," kata Isran Noor.

Menurutnya, kalau kepala daerah itu bermasalah secara hukum terutama masalah korupsi maka kesannya ini adalah cerminan pemerintah. Jadi siapa yang mau ingin disalahkan dan diapa yang akan bertanggung jawab, ya kita semua disalahkan dari bahwa sampai keatas.

"Terus terang, saya sangat sedih dengan masalah hukum kepala daerah. Namun Apkasi dan Apeksi tidak di era pemerintahan Presiden Susilio Bambang Yudhoyono ini dalam catatan sejarah merupakan rezin yang koruptor," katanya.

Apkasi dan Apeksi tidak ingin citra pemerintahan SBY dicap sebagai rezim koruptor. Oleh karena itulah Apkasi dan Apeksi ingin memperbaiki dan membuat citra pemerintah ini lebih baik.

Sementara Ketua DPR RI Dr.Marzuki Ali, mengatakan persoalan pemilukada juga terkait desentralisasi otda yang selama ini dianggap bermasalah dan kadang-kadang dikatkan dengan politik.

Ada persoalan hukum yang Kejaskaan dan Kepolisian harus pahami, contohnya masalahnya kontrak pemborong ada kurang pekerjaan dan speknya tidak sesuai harusnya itu bukan ranah pidana melainkan rana perdata dan jangan langsung dijadikan tersangka yang kita lihat dan fakta.

Polisi dan jaksa dengan sangat mudah menjatuhkan seseorang menjadi tersangka dan dibiarkan bertahun-tahun. Jangan semena-mena seseorang itu menjadi tersangka. Ini membayakan karena menyangkut nasib dan martabat orang, kalau dibiarkan terus menrus persoalan ini mau jadi apa bangsa kita ini.

"Mudah sekali menetapkan orang itu menjadi tersangka oleh jaksa dan kepolisian juga sama. Jadi mohon maaf ini saya sampaikan mudah-mudahan pak Sutarman (Kapolri) mendengar dan pak Basrief (Kejagung)," ujarnya.

Bahwa kalau ada pejabat kepolisian dan jaksa menetapkan seseorang menjadi tersangka dan tidak jelas fakta hukumnya harus diberikan sanksi kalau itu sengaja dilakukan untuk kepentingan pribadi atau golongan harus dijadikan tersangka.

"Tidak semana-mena lagi seorang polisi dan seorang jaksa memperlakukan kita sebagai anggota masyarakat yang kebetulan mendapatkan tanggung jawab memagang jabatan publik untuk diobok-obok bahkan kadang-kadang dijadikan ATM," tegasnya yang langsung disambut aplaus peserta.

Menurut Marzuki Ali, masalah ini tidak boleh dibiarkan dan kadang-kadang sampai lima tahun orang dibiarkan sebagai tersangka, mau jadi apa bangsa ini katanya lagi mengulang dan itu yang harus diselesikan sehingga tidak keluhan seperti ini. Jangan persoalan perdata langsung pidana, kalau begini terus habis kepala daerah.

Jangan dikaitkan pemilukada dengan orang dijadikan tersangka, karena ada sisi lain, katanya.

Sementara Wakil Jaksa Agung, D.Andhi Nirwanto,SH,MM dengan makalah berjudul 'Peran Kepala Daerah Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi' yang merupakan pernyataan bahwa kebijakan yang dibuat oleh Kepala Daerah tidak bisa serta merta ditarik ke dalam ranah tindak pidana korupsi, apabila dalam pembuatan kebijakan tersebut murni atau tulus tanpa adanya penyalahgunaan wewenang serta pentingnya upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dengan berbagai upaya represif dan preventif.

Menurut Andhi Nirwanto, bahwa korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa berlangsung dimanapun, di lembaga negara, lembaga privat, hingga di kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi seperti itu, maka pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya.

Melalui strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah berkesinambungan yang berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi ini merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatan represif.

Sebuah kebijakan tidak dapat dipidana, akan tetapi adalah pembuat kebijakan jika didalam membuat kebijakan terjadi penyalahgunaan wewenang atau dibalik kebijakan yang ditetapkannya itu pejabat tersebut memperoleh keuntungan untuk diri sendiri atau orang lain dan dapat menimbulkan kerugian negara.

Untuk itu maka seorang Kepala Daerah yang mengeluarkan suatu kebijakan tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidananya, apabila dalam mengambil atau menetapkan kebijakan tersebut tidak ada suatu kickback yang diakibatkan, berupa penyalahgunaan wewenang dan dirinya memperoleh keuntungan atau menguntungkan orang lain dan telah menimbulkan kerugian negara.

Dengan demikian, maka jelaslah tidak perlu ada kekhawatiran untuk melakukan diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan apabila dalam membuat diskresi tersebut tidak ada penyalahgunaan sebagaimana tersebut diatas.

Disamping itu upaya preventif harus terus menerus dilaksanakan oleh Kepala Daerah dengan fungsi controling pada setiap jajarannya. Upaya preventif juga dapat dilakukan dengan berbagai aktifitas yang akan mendorong setiap SDM di pemerintahan mempunyai integritas dan profesionalitas yang tinggi dalam menjalankan setiap program-program pemerinta.      (*)

Pewarta: Adi Sagaria

Editor : Amirullah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2014