Samarinda (ANTARA Kaltim) - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Timur Isal Wardhana meminta Bupati Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, Budiman Arifin agar meninjau ulang pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air di Kecamatan Peso.

"Bupati Bulungan hendaknya meninjau ulang rencana pemerintah kabupaten yang akan membangun PLTA dengan kapasitas 6.600 Mega Watt (MW) itu karena dampak kerusakan lingkungan besar sekali. Pembangunan PLTA itu juga dikhawatirkan akan menenggelamkan dua desa yaitu Desa Long Peleban dan Desa Long Leju di Kecamatan Long Peso yang dihuni sekitar 700 jiwa," ungkap Isal Wardhana dihubungi dari Samarinda, Sabtu.

Pemkab Bulungan, kata Isal Wardhana, harus menyadari bahwa pembangunan bendungan dengan skala yang besar di Indonesia selama dua dekade terakhir telah memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap lingkungan hidup serta keberlangsungan kehidupan masyarakat lokal yang berada pada bagian hulu dan hilir bendungan.

"Ratusan bahkan mungkin ribuan jiwa masyarakat termasuk perempuan dan anak-anak akan dipindahkan dan bukan tidak mungkin dipindahkan secara paksa karena mereka akan kehilangan identitas budaya, mendapat tempat tinggal yang tidak layak huni, mendiami lahan yang tak produktif, terpaksa eksodus ke kota-kota demi nafsu pemerintah kabupatendalam rangka mengadopsi model liberalisasi ekonomi dan energi," katanya.

"Bisa jadi, pemerintah menggunakan berbagai macam cara (politik, sosial dan ekonomi) untuk menekan rakyat agar menyepakati pembangunan PLTA tersebut sehingga melanggar kaidah-kaidah "Free Prior and Informed Consent" (FPIC) karena tidak memberikan informasi yang benar terhadap sebuah mega proyek sehingga masyarakat kehilangan hak untuk menyepakati atau menolak proyek tersebut dengan tanpa paksaan," ungkap Isal Wardhana.

Berdasarkan laporan yang ditemukan oleh "World Commission on Dams" (WCD) lanjut dia, bendungan besar memiliki dampak kerusakan lingkungan hidup yang besar dan tidak dapat direstorasi termasuk kelangkaan spesies, hilangnya hutan, lahan basah dan pertanian.

Dari laporan WCD itu juga kata dia, dapat menyebabkan hilangnya biodiversitas, perikanan hulu dan hilir sungai, dan dampak dari limpasan banjir hilir sungai, lahan basah dan estuary sungai dan ekosistem air yang berhubungan.

"Parahnya, dampak negatif lingkungan hidup tersebut tidak diprediksi dan usaha dalam rangka meredakan dampak tersebut selalu gagal," ujar Isal Wardhana.

Bendungan juga menurut Isal Wardhana menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akibat pembusukan dari vegetasi dan tanah yang terbanjiri dan dari materi organic yang mengalir kedalam penampungan dari 'catchment' air, sehingga sekitar 1 - 28 persen GRK dihasilkan berasal dari reservoir air dan pada beberapa kasus emisi dari penampungan air sebanding atau lebih besar dari hasil pembangkit listrik berbahan bakar batubara atau gas.

"Cukup tingginya emisi yang dihasilkan tentu saja sangat bertentangan dengan program pengurangan emisi pemerintah terkait perubahan iklim," kata Isal Wardhana.

Sementara keuntungan yang diberikan oleh investor bendungan lanjut dia secara aktual seringkali lebih rendah dari yang diperkirakan saat pembangunan bendungan dilakukan.

Kerugian tersebut kata Isal Wardaha diantaranya, energi listrik yang kurang dari yang diprediksi, persediaan air yang tidak mencapai target, bahkan terdapat kasus sampai 70 persen, irigasi hampir 50 persen tidak mencapai yang ditargetkan, meningkatkan kerentanan manusia terhadap banjir serta bendungan dengan multi tujuan khususnya tidak mencapai target.

"Hal ini belum lagi ditambah dengan faktor pembiayaan pembangunan bendungan skala besar, beban pembiayaan biasanya mengalami pembengkakan dan sangat dimungkinkan terjadi potensi korupsi dalam pengerjaannya mengingat bendungan memakan investasi yang sangat besar," katanya.

"Dari pembangunan bendungan yang ada di dunia yang tercatat di WCD, mengalami pembengkakan sampai pada 56 persen dari total nilai proyek pembangunan. Perlu juga diselidiki lebih lanjut mengenai skema pendanaannya, jika menggunakan mekanisme hutang luar negeri maka sudah bisa dipastikanakan menambah beban hutang Negara yang otomatis menambah beban hutang rakyat. Lembaga keuangan yang biasa bermain pada sektor ini di Asia Tenggara adalah World Bank (WB) dan Asian Development Bank (ADB)," ungkap Isal Wardhana.

Rencana "ground breaking" PLTA Bulungan itu diperkirakan akan dilaksanakan pada awal 2014 dengan menggandeng investor dari China dengan nilai investasi sebesar 17 juta dolar Amerika.

Pada tahap pertama pembangunan akan dilakukan dengan kapasitas 660 MW, tahap kedua 2500 MW dan pada akhirnya sampai dengan kapasitas 6.600 MW, katanya. (*)

Pewarta: Amirullah

Editor : Amirullah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2013