Samarinda (ANTARA Kaltim) - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memastikan mengubah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mulai Juli 2013, karena kurikulum lama yang dibuat 2006, tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman.

Akibat perubahan yang terkesan mendadak itu, kemudian muncul sejumlah pertanyaan dari banyak kalangan. Mengapa kurikulum harus diubah? Apa urgensinya? Apa pula maksud dan tujuannya? Apakah ganti menteri harus ganti pula kebijakan?

Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, pendapat sebagian masyarakat bahwa ganti menteri dibarengi dengan ganti kebijakan, mungkin saja ada benarnya.

Namun perubahan sekaligus pengembangan kurikulum 2013 sudah melalui proses panjang sebelumnya, bahkan telah dikaji tim ahli. Kemudian disampaikan ke publik agar mendapat masukan untuk penyempurnaan.

Perubahan kurikulum, kata menteri, memang sudah saatnya dilakukan karena selama ini kurikulumnya tidak menekankan pada pengembangan sumberdaya manusia (SDM), namun siswa lebih banyak disodori hafalan, bukan kompetensi dan sains yang sebenarnya sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Menteri juga mengaku kasihan kepada para siswa mulai SD hingga SMA dan yang sederajat jika kurikulum yang ada tetap dipertahankan, karena kurikulum yang ada sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan perubahan zaman.

Lantas, bagaimana dengan kesiapan di Provinsi Kaltim, baik kesiapan tenaga pendidik dan kependidikannya? Pasalnya, perubahan itu harus disertai dengan pelatihan para guru agar mampu menerapkan KTSP yang masih asing, sedangkan waktu untuk menguasai KTSP Baru tinggal enam bulan ke depan (Januari-Juni).

Pengamat pendidikan yang juga dosen Universitas Mulawarman Samarinda, Nanang Rijono mengatakan bahwa Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim dan daerah harus siap menghadapi perubahan kurikulum yang akan diberlakukan pada tahun pelajaran 2013.

Persiapan yang harus dilakukan dalam menghadapi perubahan kurikulum mulai jenjang TK hingga SLTA, di antaranya dengan menyiapkan para guru agar memiliki sumber daya memadai untuk mengajarkan kepada siswa.

Nanang yang juga Wakil Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kaltim ini melanjutkan, persiapan yang harus dilakukan adalah melakukan pelatihan kepada guru secara bertahap karena penerapan kurikulum juga akan dilakukan bertahap yang dimulai pada 2013.

Dia juga berharap agar Dinas Pendidikan Kaltim memiliki cukup banyak uang untuk melakukan pelatihan kepada guru terkait perubahan KTSP, karena yang akan dilatih bukan sedikit guru, namun jumlahnya mencapai ribuan orang.

Pelatihan juga dimintanya melibatkan tim perumus KTSP, terutama di tingkat pemerintah pusat sebagai narasumber utama. Tanpa narasumber utama, dinilainya pelatihan tidak akan efektif.

KTSP diubah karena disesuaikan dengan perubahan zaman, aspirasi pengamat pendidikan, dan masyarakat umum, karena KTSP yang sekarang diberlakukan tidak sesuai dengan perkembangan zaman, alias kadaluwarsa.

Sementara pada KTSP yang baru, akan ada pengurangan mata pelajaran terutama bagi siswa SD, yakni yang sebelumnya siswa SD dijejali 10 hingga 11 mata pelajaran, maka dalam KTSP yang baru hanya ada sekitar enam atau tujuh mata pelajaran.

Meskipun mata pelajarannya dikurangi, namun jam belajarnya tidak akan berkurang, bahkan jika perlu ditambah karena berkaitan dengan asah otak.

KTSP yang akan diberlakukan mulai Juli 2013 bukan langsung semua kelas mengalami perubahan, namun pada tahun pertama akan diberlakukan untuk siswa kelas 1 dan kelas 4 di tingkat SD dan yang sederajat.

Sedangkan untuk jenjang SMP dan SMA serta yang sederajat, pemberlakukan KTSP baru akan dimulai pada kelas 1, pada Juli 2014 untuk kelas 2, dan pada Juli 2015 untuk kelas tiga, atau pada 2015 semua kelas sudah memegang KTSP baru.

"Sebelum masuk KTSP yang dimulai pada Juli, maka Dinas Pendidikan Kaltim dan masing-masing kabupaten serta kota di Kaltim, memiliki waktu enam bulan sejak Januari untuk melakukan pelatihan kepada para guru dalam menghadapi KTSP baru," ujar Nanang.

Menurut dia, perubahan KTSP itu didasari atas beberapa hal. Di antaranya adalah berdasarkan pada survei oleh tim dari Global Institute, yakni Trend In International Math And Science Survey (TIMSS) yang dilakukan pada 2007.

Saat itu tim melakukan survei ke sejumlah negara di Asia, seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Hongkong, Jepang, Malaysia, Thailand, dan Indonesia sendiri tentang kemampuan siswa.

Hasilnya, ternyata hanya 5 persen siswa Indonesia yang dapat mengerjakan soal-soal dalam kategori tinggi dan memerlukan perhitungan pola pikir, sedangkan 71 persen siswa Korea sanggup mengerjakan materi yang sama.

Dalam perspektif lain, sebanyak 78 persen siswa Indonesia dapat mengerjakan soal-soal dalam katagori rendah yang hanya memerlukan hafalan, sedangkan siswa Korea hanya 10 persen yang hanya dapat mengerjakan soa-soal semacam itu.

Untuk itu, rekomendasi tim adalah agar perlu dilakukan pengembangan kurikulum yang memperkuat pengembangan pola pikir dan talenta. Itulah jawaban kurikulum yang segera dimulai Juli 2013.

Dari survei tersebut, hampir semua siswa Indonesia hanya mampu mengusai pelajaran sampai level 3, sedangkan siswa dari negara lain mampu mengusai pelajaran hingga level 4,5, bahkan ada yang mampu hingga level 6.

"Kita harus yakin bahwa setiap manusia diciptakan dengan kemampuan sama. Interprestasi dari hasil survei ini hanya satu, yakni sistem kurikulum yang diajarkan di Indonesia berbeda dengan tuntutan zaman, sehingga perlu dilakukan pengembangan kurikulum," kata Nanang. (*)

Pewarta: M Ghofar

Editor : Arief Mujayatno


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012