Tim Ranger kini masih terus memantau pergerakan dan perilakunya Orangutan Gisel yang dilepasliarkan akhir pekan lalu di Hutan Lindung Sungai Lesan (HLSL), Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, setidaknya selama tiga bulan ke depan.


“Untuk memastikan beberapa hal,” kata Direktur Center for Orangutan Protection (COP) Daniek Hendarto, Selasa.

Yang melakukan pemantauan adalah tim ranger (penjaga hutan) yang sudah diberi pelatihan khusus mengenai perilaku orangutan dan  yang sangat mengenal Hutan Lindung Sungai Lesan. Sebagian besar mereka para pemuda Kenyah yang tinggal di Kampung Merasa, kampung di tepi Sungai Kelay, lebih kurang 2 jam di hilir gerbang HLSL di Sungai Lesan.

Menurut Daniek, yang terutama sekali diamati adalah kemampuan bertahan hidup di alam bebas dari Gisel, yang ditandai dengan kemampuan memilih pakan dan keterampilan membuat sarang.

“Gisel ini juara, pembuat sarang terbaik di fasilitas rehabilitasi di Labanan,” senyum Daniek.

Di Labanan, lebih kurang 50 km barat daya Tanjung Redeb, ibukota Kabupaten Berau, COP bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur, mengelola Pusat Rehabilitasi Orangutan-Bornean Orangutan Rescue Alliance (PRO-BORA).

Namun demikian, sebelum masuk rehabilitasi, di tempat asalnya di Taman Nasional Kutai di bagian Sangatta Selatan, Kutai Timur, Gisel populer karena suka minta makan pada manusia. Bahkan orangutan 4 tahun itu biasa mengetuk pintu rumah di Dusun Karet yang berbatasan dengan TNK untuk minta makan itu.

“Kebiasaan itu sudah kita koreksi di rehabilitasi, dan kita ingatkan kembali akan kemampuannya memilih buah, daun, beragam pakan alaminya di alam,” kata Manajer Pusat Rehabilitasi Orangutan PRO-BORA Widi Nursanti.

Karena kemiripannya dengan manusia, orangutan harus belajar keterampilannya bertahan hidup dan tidak menguasainya begitu saja seperti penyu langsung bisa berenang ketika menetas. Di alam bebas pada orangutan liar, keterampilan itu diajarkan induknya. Induk mengajarkan jenis makanan, cara membuat sarang, mengenalkan hutan dan lingkunganya, termasuk bahaya yang ada, sampai nanti dia bisa mandiri.

Tanpa induknya, orangutan akan mati. Di PRO-BORA, keterampilan itu diajarkan dalam program yang disebut Sekolah Hutan oleh para instruktur manusia.

Orangutan biasa membuat sarangnya di ketinggian di dekat puncak kanopi pohon di cabang yang kuat. Rangkanya berupa cabang dan ranting, baru kemudian dialasi dengan daun-daunan.

Beberapa saat setelah sarangnya selesai, orangutan segera tidur untuk istirahat dan segera tidur begitu malam turun. Keesokan harinya, orangutan segera bangun dari sarangnya begitu hari terang.

“Di puncak pohon, hari terang lebih cepat daripada di lantai hutan. Jadi orangutan sudah bangun sekitar pukul setengah enam pagi,” tutur Daniek.

Begitu bangun, ia pun mulai menjelajah untuk mencari makan. Sarang tempat tidur malam itu pun ditinggalkan. Menurut Kepala Taman Nasional Kutai (TNK) Nur Patria Kurniawan yang menceritakan pengalaman para ranger TNK, daya jelajah orangutan di dalam hutan bisa mencapai 20-25 km dari lokasi sarang awalnya.

“Nah sejauh itu juga tim monitoring mesti mengikuti mereka,” kata Daniek.

Sore hari menjelang gelap, orangutan segera membuat sarang baru, dan cepat tidur. Setelah itu barulah tim pemantau atau monitoring tadi pulang kembali ke pos mereka, untuk segera kembali ke tempat sarang itu sebelum orangutan bangun keesokan harinya.

“Teman-teman bangun pukul 2-3 dinihari, langsung sarapan seperti orang sahur itu, dan segera berangkat,” kata Daniek lagi.  

Gisel dipasangi chip untuk memudahkan memonitor jelajahnya. (novi abdi/Antara)

Dengan luasan 11 ribu hektare lebih dan medan naik turun, memantau pergerakan orangutan adalah tantangan. Meskipun pada Gisel dipasangi chip untuk memudahkan mengetahui lokasinya, berjalan kaki mendatangi atau mendekati lokasinya adalah aktivitas fisik yang berat.

Bagi tim monitoring juga berlaku sejumlah aturan. Mereka dilarang berisik atau berbicara dengan suara keras, dilarang menyebut atau memanggil si orangutan.

Mengingat orangutan pelepasliaran pernah dekat dengan manusia, maka ada saja kemungkinan kalau mereka tahu diikuti, orangutannya turun dan minta makan.

“Ranger tidak boleh membagi makanan dengan orangutan,” tegas Daniek.

Kecepatan pergerakan, pilihan pakan, termasuk pertemuan dengan sesama orangutan atau spesies lain, jadi catatan tim monitoring. Menurut Daniek, tidak menutup kemungkinan juga tim ketemu orangutan lain yang sudah dilepasliarkan terlebih dahulu, atau bahkan orangutan asli Sungai Lesan.

“Harapan kami Gisel, juga orangutan lain, dapat hidup sejahtera dan lestari di HLSL ini, makan cukup, bisa beranakpinak, dan aman dari manusia dan predator alaminya,” kata Kepala Seksi Konservasi Wilayah 1 BKSDA Kalimantan Timur Dheny Mardiono.

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Abdul Hakim Muhiddin


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2021