Balikpapan (ANTARA Kaltim) - Dinas Pertanian, Kelautan, dan Perikanan (DPKP) Balikpapan melakukan uji sampel daging giling untuk mengantisipasi terjadinya daging sapi dicampur dengan daging babi guna pembuatan bakso seperti terjadi di sejumlah tempat.

"Kami mengambil sampel adonan bakso yang diambil dari sejumlah penggilingan daging di Balikpapan," kata Kepala DPKP Chaidar Chairulsyah di Balai Kota Balikpapan, Kamis.

Sampel-sampel tersebut kemudian dikirim ke Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (POM) di Samarinda.

"Sampel adonan bakso tersebut kami kirimkan hari ini, semoga cepat keluar hasil ujinya," kata Chaidar.

Menurut Chaidar, apa yang dilakukan DPKP ini adalah antisipasi. Selama harga daging sapi mahal karena keterbatasan stok, maka selama itu pula ada kemungkinan daging sapi dioplos.

Saat ini, harga daging sapi di pasar-pasar Balikpapan berkisar Rp90-95 ribu per kg. Harga akan dianggap murah bila berada di sekitar Rp50-60 ribu per kg.

Hampir di setiap pasar besar di Balikpapan ada usaha penggilingan daging. Masyarakat yang membutuhkan tinggal membawa daging yang sudah dibersihkan beserta bumbu yang sudah diinginkan untuk kemudian digiling dan diolah oleh petugas di penggilingan sesuai pesanan.

"Memang kebanyakan yang menggilingkan daging di sini para penjual bakso," kata Rahmat, karyawan penggilingan daging di Pasar Pandansari, Balikpapan Barat.

Bahkan, penggilingan juga menyediakan daging bakso yang sudah digiling dan tinggal direbus untuk siap dijual.

"Ada yang masih tumpukan seperti ini, ada yang sudah berbentuk pentolan," tambah Rahmat.

Di sisi lain, menurut Chaidar, memantau perusahaan penggilingan justru mudah. Pihaknya mengalami kesulitan mengawasi daging yang digiling di rumah-rumah atau daging yang digiling sendiri oleh penjual bakso di rumahnya.

"Terutama karena kami tidak memiliki data lengkap siapa saja yang berada di usaha ini," jelas Chaidar.

Balikpapan yang berpenduduk 600 ribu jiwa lebih membutuhkan 15.000 ekor sapi per tahun. Hampir seluruhnya dipenuhi dengan mendatangkan sapi dari Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

"Peternak kita hanya bisa memenuhi 1,5 persen dari jumlah 15.000 itu," kata Chaidar.

Jumlah 1,5 persen itu setara dengan 225 ekor per tahun, atau hanya 4-5 ekor per bulan dari kebutuhan 1.250 ekor per bulan. (*)

Pewarta: Novi Abdi

Editor : Arief Mujayatno


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Timur 2012